Note: Nama Osamu itu Shuu, yakk. Maaf ya.
Chapter 3
“Heee? ada adegan seperti ini?”
Meski hari sudah gelap, pria itu bergumam sambil menuju
ke mejanya.
Di depan matanya ada monitor komputer dan yang
ditampilkan di layar adalah halaman website.
Itu adalah website yang merangkum pertimbangan dan
komentar pengembang pada game PC dewasa 18+ “Semuanya
dicuri dariku.”
“Bagaimanapun juga, ini adalah game yang memikat dunia. Ada
banyak hal yang tak kau pahami hanya dengan memainkan gamenya, jadi aku
bersyukur ada website seperti ini.”
Di atas meja terdapat kotak game “Semuanya dicuri dariku” dan fan disc yang bisa dilihat oleh semua
orang dan karena dia tinggal sendirian, sehingga dia bisa memainkan game
seperti itu tanpa banyak khawatir.
"… Apa?"
Selama beberapa menit, pria itu menjelajahi situs web
tersebut.
Apa yang dia pelajari lagi adalah bahwa Towa dan Ayana
adalah satu-satunya karakter yang ada di cerita tersebut.
Mengenai hal itu, untuk lebih memahami gamenya, dia
menemukan komentar developer yang berbunyi sebagai berikut...
“Ceritanya diceritakan dari sudut pandang Ayana, jadi fan
disc ini banyak befokus pada hubungan Towa dan Ayana, namun, menurut kami, sebenarnya
hanya ada berhubungan dengan Ayana saja. Meskipun ada teman dekat, tapi heroine
seperti Iori dan Mari tidak termasuk di dalamnya. Dan jika dia berteman
dengan mereka, Ayana akan ragu harus berbuat apa.”
Pria itu mengangguk.
Selain cerita utama, fan discnya berisi tentang sudut
pandang Ayana, sehingga Towa juga dijelaskan secara detail.
Setelah mengungkapkan masa
lalu mereka, tidak ada ruang untuk meringankan keadaan mengenai adik perempuan
Shuu, Kotone, dan ibunya, Hatsune, tapi Iori dan Mari telah terjebak dalam
balas dendam Ayana. Mengenai hal itu, sejujurnya aku hanya bisa meminta maaf.
Maaf… Tidak, itu sangat menyedihkan.
“Karena didorong oleh balas dendam, Ayana hanya menginginkan
hal itu. Dia hanya fokus pada balas dendam yang dia rencanakan untuk Towa
tetapi, dia tak peduli dengan kesedihan yang akan ditimbulkannya dan hanya mengikuti
rencananya untuk mengakhiri semuanya.”
Menyingkirkan semua rintangan demi Towa.
Untuk menghancurkan keluarga Shuu, termasuk dia, Ayana
akan menggunakan apapun, dan bahkan Iori dan Mari, yang berteman baik
dengannya, akan menjadi bagian dari perlengkapannya, yang akan mewarnai jalan
balas dendamnya.
“… Ketakutan Ayana tergambar semuanya, jika Towa
mengetahui apa yang dia lakukan, jadi jika itu terjadi, dia pasti akan menghentikannya. Semakin
sering kau memainkan fan disc, kau akan semakin memahami… bahwa Towa adalah
orang yang baik.”
Pria itu terus membaca komentar developer.
[Menurut pemahaman kami
adalah Towa tidak banyak berinteraksi dengan orang lain selain
Ayana. Paling-paling, dia bertemu orang lain dan berbicara dengan mereka
sebentar selama Ayana ada di sana… Tetapi jika Towa berteman dengan mereka di
depan Ayana, atau jika dia mengatakan bahwa dia menikmati kebersamaan dengan
mereka, Ayana pasti akan merasa kehilangan.]
Saat pria itu melihat komentar itu, dia bisa dengan mudah
membayangkan situasinya.
Fan disc adalah kisah balas dendam Ayana, tetapi, itu
juga menggambarkan konflik yang cukup untuk berempati padanya.
Sebagai pihak ketiga yang mengikuti ceritanya, entah
berapa kali harus memperhatikan Towa... Itulah mengapa si pria menyukai Ayana
dan ingin dia bahagia dalam arti sebenarnya.
[Ayana selalu mengutamakan Towa dalam segala hal dan
jatuh cinta padanya. Dia begitu murni, begitu sederhana... itulah mengapa dia
bisa berusaha begitu keras, meski hatinya akhirnya hancur. Seperti yang
telah banyak dikatakan oleh beberapa dari anda, belum ada pemikiran mengenai
cerita di masa depan… atau 'IF', jadi silakan membayangkan situasi tersebut.]
Itu menyimpulkan komentar developer game.
Karena ini merupakan pengumuman resmi, maka sudah
diputuskan tidak akan ada sekuelnya, apalagi 'IF...?', karena itulah reaksi para pemain adalah kekecewaan.
Pria itu tertegun sejenak, lalu menggerakkan mouse untuk
memulai game fan disc.
Lalu, gambar pertama yang muncul adalah Ayana mengenakan hoodie
bertudung hitam dan mata muram di bawah langit hitam pekat.
“Akhirnya aku akan melakukannya, bagaimana juga… Semakin
aku mengenal gadis ini, semakin aku ingin dia bahagia. Bahkan tanpa
melakukan apapun, dia akan bisa mencapai tujuannya, dan dia mungkin bertengkar
dengan Shuu, tapi itu bukanlah sesuatu yang tak bisa dia atasi... Ayana memilih
Towa daripada Shuu dan Towa memilih Ayana… itu saja.”
Ayana yang muncul di layar animasi tidak bergerak--- Namun,
saat aku melihatnya, anehnya, dia mulai meneteskan air mata.
Kemudian pria itu memainkan game itu lagi, seolah-olah
sedang mengingat.
Ada banyak adegan yang membuatmu tertawa terbahak-bahak
dan jika tidak memikirkan Shuu, Towa dan Ayana, mereka tidak akan pernah
berhenti tersenyum.
Meski begitu, ceritanya terus berjalan dengan banyak
perkembangan menarik… Dengan kata lain, ada banyak momen di mana Towa hampir
panik setiap kali melihat makhluk yang pasti menyiksanya.
‘Towa-kun, sini, lewat sini.’
‘Eh? Ah, oke.’
Namun, Ayana mencegah apa yang akan terjadi sebelumnya
dan memastikan bahwa Towa dapat menjalani hari-hari yang damai.
Kotone dan Hatsune yang pernah mengatakan hal-hal buruk
kepada Towa tidak pernah berhubungan dengannya dan dia juga tidak pernah
bertemu dengan ibu Ayana, yang secara tidak langsung menjelek-jelekkan dirinya.
Tidak hanya dari sudut pandang Ayana, tetapi juga dari
sudut pandang Towa, dia tidak terlalu banyak berinteraksi dengan para heroine
lainnya, jadi meskipun sesuatu terjadi pada mereka, dia tidak akan
mengetahuinya.
“… Ah, sudah berakhir, ya.”
Setelah hubungan segs romantis antara Towa dan Ayana, pria
itu terus diam-diam menyaksikan akhir di mana keduanya menuju ke arah cahaya...
lalu Ayana menghilang dan monolog Towa pun dimulai.
[Ayana ada di dalam pelukanku. Tersenyum sepanjang
waktu. Melihat senyuman itu juga membuatku bahagia, tapi… apakah ini
benar-benar bagus?]
Kata-kata itu menghilang sesaat dan kemudian muncul
kalimat berikutnya.
[Dia bertindak dengan memikirkanku. Namun, orang
yang benar-benar hancur adalah… diriku sendiri, yang tak menyadari
apapun. Mungkin akulah… yang mencuri gadis baik itu.]
Seandainya saja Towa sadar... kata-kata yang ditempatkan
di akhir game oleh tim pengembang sepertinya adalah ungkapan hati Towa.
Setelah menatap layar sejenak, pria itu menghela nafas.
Dia bersandar di sandaran kursi dan bergumam hal berikut…
“Jika aku Towa… aku tidak bisa berhenti berjuang. Bahkan
jika aku tidak mengerti apapun, aku yakin aku akan memberikan segalanya demi
Ayana. Hahaha, tak ada gunanya memikirkan hal ini, tapi yah tidak apa-apa
untuk memikirkannya. Andai saja aku bisa menunjukkan kepadanya sebuah
cerita seperti yang kupikirkan.”
Bukannya dia akan menggantikan Towa, tapi pria itu ingin
menyelamatkan Ayana hingga dia ingin mengatakan itu.
Aneh rasanya begitu terikat secara emosional dengan
karakter game, namun itu adalah bukti kecintaannya pada cerita.
wu
“Aku tidak seharusnya melakukan sesuatu yang tak biasa kulakukan. Bahuku
sedikit kaku.”
Aku bergumam sambil memijat-mijat bahuku.
Sampai saat ini, aku bekerja di ruang OSIS, tetapi,
meskipun aku sudah terbiasa sampai batas tertentu, melakukan hal-hal yang tak
biasa kulakukan cukup melelahkan.
Namun… Aku yakin ini sangat menyenangkan.
Meskipun apa yang kulakukan bukanlah sebuah game
melainkan bagian dari pekerjaanku, tetap melakukan sesuatu dengan seseorang
adalah hal yang sangat baik untuk menjadi seorang murid.
Lagipula, aku mungkin merasa seperti ini karena dia ada
di sisiku.
Saat aku tiba-tiba mengalihkan pandanganku ke samping,
aku melihat Ayana sedang menatapku dan begitu mata kami bertemu, dia terkejut
sesaat, tapi kemudian dia tersenyum.
"Ada apa?"
"Tidak, tidak ada. Aku hanya berpikir apa yang
kita lakukan beberapa waktu lalu itu menyenangkan.”
“Fufufu, Aku
juga berpikiran sama. Kita semua berkumpul secara kebetulan, tapi… itu
menyenangkan.”
“Ayana?”
Meski dia bilang itu menyenangkan, dia memasang ekspresi muram
di wajahnya.
Tapi dia segera menunjukkan senyumannya padaku agar tidak
membuatku khawatir.
Meskipun menurutku senyuman itu indah, aku tak bisa
berkata apa-apa, itu sebabnya menurutku lebih baik tidak bertanya.
Shuu pergi bersama Iori dan Mari, jadi dia tidak bersama
kami, jadi sekarang aku sendirian dengan Ayana... Aku tidak bisa berkata apapun
di sekolah, jadi sekarang aku akan sedikit serius dengannya.
“Ayana, bisakah kita bicara sebentar?”
"Tentu saja. Tidak masalah."
Dia tersenyum dan mengangguk, tapi aku masih merasa
ekspresinya agak muram.
Aku mungkin terlalu khawatir melihatnya seperti ini,
namun, aku meraih tangannya dan kami pergi ke kedai kopi terdekat.
“Selamat datang~! Apa hanya kalian berdua?”
"Iya."
“Silakan duduk di sana. Panggil saya jika anda sudah
memutuskan apa yang akan dipesan.”
"Terimakasih."
Setelah apa yang dikatakan oleh pelayan, kami menuju ke
meja yang terletak di belakang.
Kami duduk melihat-lihat menu, memesan teh dan kue untuk
saat ini dan sambil menunggu pesanan kami, kami mengobrol santai.
“Maaf, sudah membuat anda menunggu~”
Pesanan kami tiba, kami berhenti mengobrol dan menikmati
makanan.
Rasa tehnya masih sama seperti biasanya, tapi rasa kuenya
sempurna dan Ayana yang duduk di depanku juga menikmati kelezatan itu.
“Towa-kun, aku boleh minta kue coklatmu?”
"Tentu. Kalau begitu, aku boleh mencoba kue bolumu
juga?”
“Tentu saja ♪”
Kami menggunakan garpu untuk memotongnya menjadi potongan-potongan
kecil dan kemudian saling menyuapi.
Setelah kami selesai makan kue-kue kami, kami minum teh,
kami menenangkan diri dan aku mulai menatap Ayana.
“Nee, Ayana.”
"Ya, ada apa?"
“… Apa kamu mengkhawatirkan sesuatu?”
“Apa maksudmu?”
Dia menatapku dan memiringkan kepalanya.
Ekspresi apapun di wajahnya sangat cocok untuknya, tanpa
ada senyuman yang menghalangi, bahkan ekspresi yang dia miliki sekarang di
hadapanku pun cantik.
“Ayana… kamu selalu tersenyum.”
“Itu karena kamu ada di sisiku, Towa-kun. Setiap
hari yang kuhabiskan bersamamu rasanya menyenangkan dan penuh kebahagiaan... Dalam
situasi seperti ini, tidak ada ekspresi yang lebih baik daripada tersenyum. Yah,
aku juga manusia, jadi berlebihan jika dibilang aku selalu tersenyum."
“………”
Ayana menggoyangkan bahunya dan tertawa.
Sepertinya tak ada kebohongan dalam ungkapan
itu. Itu senyuman yang sama yang selalu dia tunjukkan... Seharusnya itu
adalah senyuman favoritku, tapi aku tak tahan melihat bayangan di dalam
senyumannya.
"Sungguh?"
"… Eh?"
“Ayana, apa kamu benar-benar tersenyum dari lubuk
hatimu?”
"… Hmm."
Hanya dengan mendengarkannya, dia memberitahuku bahwa aku
bisa melihat sedikit ke dalam dirinya.
Ayana sepertinya tak peduli, apalagi mengganggunya, jadi
dia meletakkan tangannya di dagunya untuk memikirkan kata-kataku dengan serius.
Mmm~ Saat dia mengerang, dia membuka mulutnya dengan
senyuman khawatir.
“Aku benar-benar tersenyum dari lubuk hatiku,
bukan? Lihat, senyumanmu saat kamu bilang senyumanku imut, sepertinya
bohong, kan?”
Mengatakan itu, Ayana tersenyum lebar.
Sejujurnya... Aku tak punya pilihan selain mengangguk
pada kata-katanya karena aku merasa senyumannya benar-benar datang dari lubuk
hatinya.
Apa aku terlalu memikirkannya? Tidak, kurasa tidak.
Melihat Ayana tersenyum dengan senyuman itu tidak hanya
membersihkan hatiku, tapi juga membuatku berpikir bahwa aku ingin melihat
senyuman itu selamanya.
“Towa-kun? Apa yang sebenarnya terjadi
padamu? Ekspresi seriusmu sangat keren, tapi aku tidak ingin kamu
menunjukkan ekspresi rumit di tempat seperti ini.”
"… Aku tahu."
Dia menggembungkan pipinya seolah-olah mengatakan; karena
kita berdua di kafetaria, tolong jangan membicarakan hal-hal yang rumit. Jadi
aku meminta maaf padanya.
Kalau terus begini, tak peduli seberapa banyak aku
bertanya padanya, dia tidak akan menjawabku, dan yang paling penting, aku
khawatir aku sebenarnya salah paham dan kehilangan kepercayaannya.
“Maaf, tapi aku mau ke toilet sebentar.”
"Ya. Silahkan."
Aku berdiri dan pergi ke toilet.
Saat aku mencuci tangan setelah menggunakan toilet, aku
melihat ke cermin dan melihat bahwa aku tidak puas karena Ayana tidak
memberikan jawaban yang memuaskan.
“… Apakah itu terlalu cepat? Bagaimana menurutmu,
Towa?”
Bahkan jika aku menanyakan pertanyaan itu, tentu saja
bayanganku di cermin takkan menjawab apapun.
Tak peduli seberapa sering aku melihatnya, tak ada yang
berubah. Setelah tersenyum masam bertanya-tanya apa yang kulakukan, aku
kembali ke Ayana.
“Aku kembali. Apa yang akan kita lakukan
sekarang? Kita pergi sekarang?"
"Okey. Kita sudah menghabiskan kue dan tehnya.”
Lalu, kami meninggalkan kafetaria setelah membayar
tagihan.
Sampai saat ini, aku masih mengamati Ayana, tetapi tidak
ada yang aneh dengan hal itu, menurutku bodoh jika mengkhawatirkannya seperti
ini.
Haa~ ... Aku tidak akan menghela nafas... masalahnya, aku
hanya khawatir Ayana yang cukup tanggap akan menyadari kekhawatiranku lagi.
“Ah, bagaimana kalau kita mengunjungi toko itu saat
liburan berikutnya? Ada beberapa aksesoris yang ingin kulihat, dan juga, aku
ingin memberi Akemi-san hadiah kecil.”
"Baiklah. Aku pastikan bebas untuk itu.”
Saat menjawab Ayana, aku mengingat apa yang terjadi
sebelumnya sehingga suasana hatiku sedikit berubah.
Ayana tampak bersenang-senang berinteraksi dengan Iori
dan Mari---
Menyenangkan juga melihat bagaimana Ayana sangat tidak nyaman
dengan tindakan Iori... sebaliknya, dia menatap lembut ke arah kouhai imutnya,
Mari, yang bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan untuk menjadi seperti
Ayana.
“Towa-kun, kenapa kamu tersenyum?”
Yah, lebih baik dia tidak melihat wajah khawatirku,
namun, dia melihat wajahku yang tersenyum, itu memalukan.
“Tidak, aku tidak memikirkan hal yang tidak senonoh, oke? Aku
hanya mengingat apa yang terjadi di ruang OSIS beberapa waktu lalu.”
"Lagi-lagi itu? Memang menyenangkan, tapi… Ah~,
aku ingat saat Iori-senpai menyentuh dadaku.”
"Huh?"
Ah… aku bereaksi sedikit.
Tidak ada pemandangan seperti itu saat aku melihat
mereka, tapi aku mengerti… itulah kenapa wajah Shuu memerah.
“Jadi kamu ingin melihatnya juga… Wajah seperti apa yang
akan kamu buat?”
"Hah!?"
“Fufufu, aku
bercanda. Selagi kita di sini, kamu mau ke tempat sepi dan menyentuh dadaku
sebentar? Aku sama sekali tidak keberatan!”
“Jangan membusungkan dadamu! Dan jangan
membicarakannya juga!”
Ngomong-ngomong, ini adalah tempat yang dilalui banyak
orang, selain kami.
Setelah Ayana dan aku saling bertatapan beberapa saat,
kami menjadi tenang karena dimana kami berada.
“… Kukuku.”
“… Fufufu.”
Kami mengangkat bahu dan tertawa sebentar, lalu
menggerakkan kaki kami yang sempat terhenti.
Kami tidak mengobrol cukup lama, namun suasananya tidak canggung
sama sekali… bahkan, keheningan itu justru sebaliknya.
Jadi, kami berdua berjalan dan tiba-tiba aku berhenti.
Ayana, yang berjalan dengan kecepatan yang sama denganku,
secara alami berhenti dan menatapku, menunggu langkahku selanjutnya.
“… Ayana, apa yang aku tanyakan padamu sebelumnya adalah
keputusanku.”
"Keputusan?"
"Ya."
Aku mengangguk dan terus berbicara.
“Melindungi senyumanmu--- melihat bagaiman kamu
bersenang-senang di ruang OSIS membuatku semakin memikirkannya.”
Kami bergerak sedikit karena ada orang di sekitar kami.
Kami pindah ke sisi jalan dan aku memutuskan untuk
menghadapinya lagi.
“Aku… aku senang melihatmu tersenyum, Ayana. Tidak
hanya di depanku, tapi seperti sebelumnya dengan Iori… tidak, aku
bertanya-tanya bagaimana kamu bisa akrab dengan kaichou dan Mari… Apakah itu
luar biasa? Kedengarannya seperti ungkapan yang populer akhir-akhir ini,
bukan?”
Ya, itulah ungkapan yang sedang populer akhir-akhir ini.
Yah, kupikir akan keren menggunakannya saat aku
mengatakannya, tapi Ayana tidak mengatakan apa pun.
Saat aku memandangnya sambil berpikir kalau sisi konyolku
telah hilang, Ayana terlihat terkejut.
Seolah-olah aku mengejutkannya, atau seolah-olah aku
mengatakan sesuatu yang tak terduga... itulah yang dapat aku perhatikan dalam
dirinya.
“Ada apa, Ayana?”
“………”
“… Ayana?”
Dia mengambil langkah menjauh dariku dan menunduk.
Aku merasa dia menolakku dan dia menghindar saat aku
hendak mengulurkan tanganku padanya. Apa yang telah kulakukan atau apa
yang telah aku katakan? … Aku menganalisa ulang percakapan yang kami lakukan
sejauh ini, tapi aku tidak dapat menemukan penyebabnya.
“Ayana---”
Aku mungkin salah… tapi aku terkejut melihat Ayana
bertingkah seolah dia menjaga jarak--- Aku merasakan sakit yang mendalam
seolah-olah ada pisau tajam yang menusuk hatiku.
“A-ah… aku…”
Ayana mendongak, tapi memasang ekspresi muram… begitu
suasana canggung itu mengalir di antara kami, dia muncul seolah ingin
menghilangkannya.
“Ossu~! Bagaimanapun juga, itu Yukishiro dan
Otonashi-san!”
Aisaka mengangkat tangannya dari kejauhan.
Dia pasti sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari
kegiatan klubnya karena dia masih mengenakan seragam sekolahnya--- dan dia
mendekati kami sambil tersenyum.
"Ada apa ini? Jarang sekali melihat kalian
bersama, mungkinkah kalian habis berkencan?”
Aku sedikit kesal karena Aisaka menyikut bahuku, tapi aku
segera melupakannya karena dia menyadari bahwa Ayana dan aku sedang berkencan,
jadi menyadari bahwa dia menghalangi, dia meminta maaf atas kemunculannya yang
tiba-tiba.
“Jika kau ingin meminta maaf, kau seharusnya dari tadi
jangan ikut campur.”
“Maaf… dengar, akhir-akhir ini aku banyak berlatih. Aku
tidak terlalu bergaul dengan teman-temanku, jadi saat aku melihat kalian
berdua, aku hanya ingin ngobrol dengan kalian sebentar.”
"Itu saja?"
"Itu… saja."
Aisaka menggaruk kepalanya mendengar pertanyaan Ayana
yang tiba-tiba.
Bagi Aisaka, Ayana adalah teman sekelasnya, namun mereka
belum banyak mengobrol, sehingga atlet ceria itu pun sedikit ragu-ragu di
hadapannya.
Meskipun, ada ketegangan di antara Ayana dan aku, dan aku
yakin kemunculan Aisaka seperti kapal feri.
"Tapi ini ada yang aneh, Aisaka. Kau bilang kalau kau
akan pulang setelah kegiatan klubmu, tapi bukankah rumahmu berlawanan arah
dengan rumah kami?"
“Mamaku memintaku untuk membeli beberapa bahan
makanan. Jika aku mengeluh lelah karena aku pulang dari latihan baseball,
dia akan membunuhku.”
“Ibu macam apa dia?”
“Itu Asura.”
Aku tidak akan menyebut ibuku sendiri seperti itu.
Begitu, itu mungkin permintaan dari ibunya... Aku rukun
dengannya, tapi aku belum pernah mengunjungi rumahnya, apalagi mengetahui seperti
apa keluarganya.
“Entah itu Asura atau bukan, sulit untuk menolak
permintaan seorang ibu.”
“Itu benar. Dia biasanya membuatkanku makan siang,
jadi aku berhutang budi padanya, dan aku telah menyebabkan banyak masalah
baginya.”
"Aku mengerti."
Sepertinya tak satu pun dari kami yang tak bisa menolah
permintaan ibu kami.
Aku belum sempat untuk membicarakan keluargaku dengan
Aisaka sampai sekarang, tetapi, meskipun kami pelajar, senang rasanya membicarakannya.
“Fufu, Aisaka-kun, kamu sangat menyayangi ibumu, ya?”
“Aku menyayanginya… memalukan untuk mengatakannya, tapi
itu tidak menggangguku.”
"Begitu. Dalam kasus Towa-kun… dia sangat
menyayangi ibunya, Akemi-san.”
“Sepertinya kamu sangat peduli dengan keluargamu,
Yukishiro.”
“Apaan dengan wajahmu itu?”
Aku dengan ringan menepuk bahu Aisaka.
Aku sangat senang dia muncul... mungkin akan terasa
canggung jika bersama Ayana dengan situasi tadi.
“Kalian berdua mau pulang?”
"Ah."
"Ya. Kami mau pulang.”
Dengan senyumannya seperti biasa, Ayana berdiri di
sampingku dan menatapnya, Aisaka menanyakan pertanyaan yang terlintas di
benaknya.
“Di kelas, aku selalu melihatmu menjaga Sasaki,
Otonashi-san… tapi aku merasa kamu terlihat lebih cocok dengan Yukishiro… kan?”
“Oh, terimakasih banyak, Aisaka-kun♪”
Aku menghela nafas saat melihat Aisaka terpesona oleh
senyum cerah Ayana.
Memang benar gadis secantik Ayana membuatmu bahagia hanya
dengan melihat senyuman indahnya, tapi aku yakin Aisaka tertarik dengan seorang
kouhai, kan?
“Aisaka, tadi kau bilang kalau kau mau belanja---”
Apakah kau baik-baik saja dengan itu? Itulah yang
ingin kutanyakan padanya, tapi...
“Lepaskan tanganku!”
Kami bertiga mendengar suara yang cukup kuat untuk
menarik perhatian kami.
Di antara kami bertiga, reaksi Ayana dan aku sangat mudah
dimengerti, jadi aku segera mengalihkan perhatianku ke arah asal suara itu... dan
tiba-tiba suara itu menjadi lebih keras.
“Tidak apa-apa kan, Onee-san, ayolah, apa kamu tidak mau bersenang-senang
denganku?”
“Uh… apa kamu tidak mengerti kata ‘lepaskan’?”
Seorang mahasiswa sedang merayu seorang wanita.
Wanita itu jelas tidak menyukai hal itu, namun dia tidak
pernah menyerah dan meskipun dia mengancamnya dengan matanya dan berbicara
dengan kasar, pria itu tersenyum seolah dia sama sekali tak peduli.
Ekspresi pria itu membuatku risih karena ternyata yang
dicarinya bukanlah sesuatu yang bermaksud baik, melainkan tubuh wanita itu.
“………”
“Bukankah dia sedang mencoba meranyunya… Otonashi-san,
Yukishiro? Apa yang terjadi?"
Tak jarang melihat pria mencoba menggoda wanita-wanita di
kota... tapi, bagiku dan Ayana, wanita itu bukan sembarang orang, selain itu,
bagiku, dia adalah orang yang sedikit menstimulasi ingatan Towa.
“… Seina-san?”
Seina Otonashi---- Ibu Ayana.
Dia mungkin seumuran dengan ibuku, mungkin sekitar 40-an.
Meski begitu, dia memiliki penampilan yang sangat awet
muda dan aura bak mahasiswi, sehingga tak aneh jika mereka mencoba menggodanya
karena kecantikannya mirip dengan Ayana.
"Permisi, Otonashi-san... aku akan kesana
sebentar."
“Aisaka?”
Dia meninggalkan barang-barangnya dan pergi ke tempat Seina-san
dan pria itu berada.
Biasanya, dalam situasi seperti ini, orang berpura-pura
tidak melihatnya dan apalagi terlibat dalam masalah, tapi tidak dalam kasus
Aisaka, karena dia tak bisa mengabaikannya karena rasa
keadilannya. Tindakannya menginspirasiku.
“Aku akan pergi juga. Ayana, memang benar ibumu
tidak menyukaiku, tapi dia tetaplah ibumu dan itu saja sudah cukup menjadi
alasan untuk membantunya--- Tolong, tunggu aku di sini.”
Bahkan jika Seina-san tidak berpikir baik tentangku, itu
bukan alasan untuk tidak membantunya... Dia adalah ibu Ayana dan cukup alasan bagiku
untuk terlibat dalam masalah ini, ditambah lagi jika aku tidak bergerak, aku
mungkin akan menyesalinya... Itulah yang aku rasakan sekarang.
Kenapa… aku tidak bisa pergi?
Saat aku mencoba pergi ke tempat Seina-san berada, kakiku
terasa berat… rasanya soalah aku terjebak di rawa dalam setinggi lututku.
(Ini… sama seperti dulu-----)
Ini sama seperti saat aku melihat Shuu dan Iori membawa
sebuah kotak besar... Pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa saat itu
dan pulang bersama Ayana.
Aku memaksakan kakiku untuk bergerak di saat hendak
berhenti.
Lalu, aku mendengar suara sesuatu yang bergema di
kepalaku dan dengan begitu, aku berhasil menyusul Aisaka.
Bukannya aku tak peduli dengan perasaanku saat ini... tapi
lebih dari itu, aku diliputi perasaan bahwa aku harus membantu Seina-san
secepat mungkin.
“Tunggu Aisaka.”
"Huh? Kau mau pergi juga, Yukishiro?”
“Yah, wanita itu adalah ibu Ayana.”
"Eh…? Hahh?"
Aisaka membelalakkan matanya karena terkejut.
Memang benar, tidak akan ada yang percaya kalau wanita
semuda dia memiliki anak perempuan yang duduk di bangku SMA... ya, aku tahu
perasaanmu, Aisaka.
Kami berdua pergi ke tempat masalahnya--- Seina-san
adalah orang pertama yang menyadari kami, tapi saat dia melihatku dan bukannya
Aisaka, dia terkejut.
“Berhenti, apa kau tidak sadar dia membencimu?”
“Jangan lakukan hal semacam ini di tempat umum seperti
ini, Onii-san.”
"… Kau tahu apa?"
Pria itu dengan jelas memperhatikan kami, tetapi karena
kami adalah dua orang, dia tampaknya sedikit menyadari situasinya dan
melepaskan tangan Seina-san, meskipun untuk sesaat--- lalu, tanpa mengabaikan
kesempatan ini, aku segera meraih tangan Seina-san dan menariknya menjauh dari
pria itu.
“Hei, kamu---”
“Tolong jangan katakan apapun dulu sekarang dan biarkan
aku membantumu.”
Meskipun aku mengatakan itu, aku merasa sangat gugup.
Bagiku, mengingat perkataan Kotone dan Hatsune-san,
menurutku tidak banyak kata yang memiliki dampak lebih besar dari itu... tapi,
bagaimanapun juga, aku tidak ingin ibu dari gadis yang kusukai. mengatakan
hal-hal kasar kepadaku, jadi, jika memungkinkan, lebih baik tidak mengatakan
apapun.
“Ini tidak ada hubungannya denganmu.”
“Aku tidak akan menjelaskan secara detail, tapi tidak
seperti yang kau katakan.”
"Cukup. Menyerah saja, menyedihkan.”
Begitu mendengar perkataan Aisaka, pria itu semakin marah
dan meraih sebuah kerucut berbentuk segitiga yang ada di dekatnya.
Melihat itu, Seina-san menjerit kecil dan aku meletakkan
tanganku di bahu Aisaka dan menariknya erat ke sisiku.
“Kau bermain bisbol dan itu berharga bagimu, kan? Akan
sangat bermasalah jika kau terluka.”
“Miski kau berkata begitu…”
“Sudah cukup, letakkan benda sialan itu!”
Namun, sisi burukku muncul tanpa memikirkan tindakan
balasan yang jelas karena aku hanya ingin melindungi mereka.
Aku lega karena aku berhasil menjauhkan Aisaka dari pria
itu dibandingkan Seina-san, tapi Seina-san, yang berada tepat di belakangku,
masih dalam bahaya.
Sudah kuduga, orang-orang di sekitarku semakin gaduh saat
aku mencapai titik ini, tetapi untuk saat ini, apakah aku bisa menahan benturan
di kepala atau punggungku?
… Eh?
“Jangan terlalu percaya diri, bodoh!!!”
Saat aku berhenti melihat ke arah pria yang mengayunkan
kerucut dengan sekuat tenaga, aku melihat Seina-san menatapku dengan mata
terbelalak dan Aisaka yang hendak berlari ke arahku lagi.
Ekspresi Seina-san sangat menyegarkan.
Yah, aku tidak tahu apakah ungkapan “menyegarkan” itu
benar karena satu-satunya kenangan yang kumiliki saat berinteraksi dengannya
adalah masa lalu Towa dan kemunculannya sangat sedikit saat aku memainkan game ini.
“………”
Aku menutup mataku dan entah bagaimana mempersiapkan diriku
untuk menerima dampaknya--- Aku hanya berharap itu tidak terlalu sakit... namun,
aku tidak merasakan sakit apapun di tubuhku.
“Jangan sakiti Towa-kunnnnn!!!”
Teriakan Ayana... menunjukkan kalau dia sedang marah.
Aku mendengar suara keras dan kemudian suara kerucut yang
jatuh ke tanah. Aku membuka mataku dan melihat pria itu sedang berjongkok
sambil memegangi selangkangannya sementara Ayana berada di antaraku dan dia, membelakangiku.
Ayana terlihat seperti seorang prajurit veteran dan itu
membuat Aisaka dan aku terus menatapnya.
“Ayana… san?”
“Otonashi… san?”
Kami ini… hanya mob, ya? Saking terkejutnya aku
melihat punggung Ayana hingga aku memikirkan hal seperti itu.
Tentu saja, bukan hanya aku dan Aisaka saja yang seperti
ini, tapi kalau aku melihat ke belakang, Seina-san juga menatap putrinya dengan
mata terbelalak. Rupanya, bahkan bagi ibunya sendiri, penampilan Ayana
merupakan hal yang aneh atau belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Bajingan sialan… Apa kau pikir kau bisa lolos dari
ini---?”
“Ya, akan kulakan… Lalu apa?”
Ayana menjawab pria yang mengangkat wajahnya.
Suaranya dipenuhi dengan perasaan mengintimidasi dan serius
hingga membuat suasana bergetar bahkan aku merasa sedikit takut
mendengarkannya.
Apa yang dilihat pria yang diremehkan itu pada ekspresi
Ayana? … Dia meninggikan suaranya seolah-olah dia takut--- lalu Ayana menatap
pria itu dan mengucapkan sepatah kata.
"Enyahlah dari hadapanku!!"
Telingaku pasti mendengar perkataannya.
Seharusnya itu adalah kata pertama yang tak akan pernah
diucapkan Ayana… Kupikir mungkin telingaku jadi gila, tapi sepertinya bukan itu
masalahnya, lalu pria itu mengangguk, berdiri dan lari, menahan rasa sakit di
selangkangannya.
Aku memiringkan kepalaku saat aku hendak memanggil Ayana,
yang sedang melihat ke arah pria yang sedang lari menjauh.
(… Aku pernah melihat… situasi ini sebelumnya?)
Kata-kata keras Ayana... 'Enyahlah dari hadapanku' atau semacamnya... Aku merasa seperti
pernah mendengarnya mengatakan itu sebelumnya... Aku merasa deja vu.
Ayana menoleh ke belakang saat pria itu menghilang dari
pandangan, tapi tentu saja, pacarku yang biasa ada di sana.
"Kamu tidak apa apa? Dan kamu, Aisaka-san?”
“A-ah, ya… Dan kamu… Yukishiro?”
“………”
Untuk saat ini, sebaiknya jangan menanyakan apapun kepada
Ayana tentang reaksi yang baru saja dia alami.
Lebih dari itu, ada penonton lain di tempat ini selain Seina-san,
yang berada di belakangku--- dan mungkin karena tempat itu sudah tenang, ibunya
berbicara.
“Ayana… Apa yang baru saja terjadi? Tidak, sebaliknya
kenapa kamu bersama bocah ini?”
Kenapa kau bersama bocah ini? Mungkin yang dia
maksud adalah aku.
Pada akhirnya, Ayana-lah yang mengurus pria itu. Aku
hampir tertawa disaat aku bertanya-tanya apakah ada yang bisa kulakukan untuk
berterima kasih padanya karena telah melindungiku.
"Ma. Kamu harus berterima kasih pada Towa-kun
dulu, oke? Dia mencoba melindungimu bahkan dengan membuat tubuhnya sendiri
dalam bahaya.”
“Terimakasih padanya? … Apa kamu
bercanda?"
Seina-san menatapku sambil menahan tawa.
Sejujurnya, kenapa dia memperlakukanku seperti ini? ...
Aku tidak tahu kenapa dia membenci Towa, tapi aku yakin Seina-san tidak akan
memberitahuku alasannya meskipun aku bertanya padanya.
Akan lebih baik jika aku bisa mengatakan sesuatu yang
akan melekat di hatinya... dan di saat aku memikirkan hal itu--- Ayana membuka
mulutnya, saat itulah rentetan senjata dengan dampak yang luar biasa
ditembakkan.
“Hal yang sama juga terjadi saat itu… meskipun akulah yang
salah, Towa-kun hanya berusaha menghiburku… Bahkan saat dia terluka karena
kecelakaan itu, Mama memperlakukannya dengan sangat buruk!!”
Kemudian dia menghela nafas dan melanjutkan berbicara
dengan bisikan lembut, seolah-olah itu adalah kebohongan yang baru saja dia
ucapkan sambil berteriak.
“Bukan hanya tidak bisa berterima kasih padanya, tapi Mama,
aku benci kalau kamu mengatakan hal-hal kejam seperti itu padanya dengan alasan
apa pun… Aku tidak percaya aku memiliki darah yang sama denganmu.”
"Eh…? Ayana…?”
Mata Seina-san membelalak seolah dia tak percaya putrinya
mengucapkan kata-kata itu.
Dia hanya menatap Ayana, seolah dia lupa bahwa Aisaka dan
aku berada di tempat yang sama.
(… Bukankah dia terlalu kasar pada ibunya?)
Aku tidak punya apapun selain kenangan buruk tentang Seina-san...
tapi meski begitu, seharusnya Ayana jangan terlalu dangkal hingga mengucapkan
kata-kata itu padanya.
Nah, apa yang harus kulakukan dengan situasi ini? ... Saat
aku memikirkannya, aku melihat tangan Seina-san tergores--- Mungkin terluka
oleh kuku pria itu saat menolaknya tadi.
“Seina… ehem, maafkan
aku, tapi tolong ulurkan tanganmu.”
“Towa-kun?”
Aku baru saja hendak memanggil Seina-san dengan namanya,
namun, untungnya aku menghentikan diriku sendiri.
Saat aku mendekatinya dalam keadaan linglung, tatapannya
hanya mengikuti wajahku, yang menunjukkan kepadaku bahwa dia benar-benar sadar…
Yah, itu wajar.
"Kamu terluka. Sayangnya aku tidak punya plester,
jadi tolong basuh dengan air segera setelah kamu sampai di rumah dan rawat
dengan benar.”
Aku membalut lukanya dengan saputangan.
Aku mengira dia akan menolakku di tengah-tengah
tindakanku, tapi hal itu tidak terjadi karena Seina-san hanya memperhatikan apa
yang kulakukan.
“Baiklah, ini sudah cukup untuk saat ini.”
Setelah penanganan sederhana, aku melepaskan tangan Seina-san.
Aku tidak tahu harus berkata apa padanya, yang sedang
menatap tangannya yang terbungkus saputangan.
“Ayo pergi, Towa-kun. Kamu juga, Aisaka-kun.”
Ayana meraih tanganku erat-erat dan mulai berjalan.
Saat itu terjadi, aku menoleh ke belakang dan melihat Seina-san
tidak mengatakan apapun kepada kami, dan dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda
mengejar kami.
“Mmm… hahaha, aku merasa seperti ada banyak hal yang
terjadi.”
Aisaka mengatakan itu sambil tersenyum masam ketika Seina-san
sudah hilang dari pandangan kami.
Dari sudut pandangnya, dia tidak tahu apa-apa tentang
situasinya, jadi dia bahkan tak terlihat bingung. Baguslah dia tertawa
seperti itu karena membuat suasananya menjadi lebih cair.
“Maafkan aku Aisaka. Ada beberapa hal yang terjadi.”
“Kalau kamu bilang begitu, berarti indera persepsimu
cukup buruk. Yah, meski begitu, bagiku sama saja, tapi aku senang tidak
ada di antara kita yang terluka parah.”
"Ya."
Aku setuju dengan sudut pandangnya.
Meskipun... jika aku harus bertanya siapa yang mencegah
seseorang terluka, itu pasti Ayana karena dia menunjukkan gerakan seolah-olah
dia seorang Amazon.
“…………”
“…………”
“A-ada apa…?”
Saat Aisaka dan aku menatapnya, Ayana terlihat tidak
nyaman.
Dia mengalahkan pria itu dengan satu pukulan kuat… Sekarang
kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak mengira dia akan sekuat itu atau melepaskan
pukulan sekuat itu… Juga, aku tidak membayangkan dia akan menggunakan kosakata kasar
yang tak cocok untuknya.
“Yah… Otonashi-san, sekarang aku melihat kamu menjadi
seperti itu saat kamu marah. Umm… kurasa kamu tidak akan membunuhku karena
menyaksikan sesuatu yang berbahaya, kan?”
“Apa aku akan membunuhmu!? Tolong jangan memperlakukan
orang seperti itu!”
"… Ahahaha."
Wajah Ayana menjadi merah padam saat mendengarkan lelucon
Aisaka.
Sementara itu, dia berbalik dengan tatapan tajam, menatap
Ayana yang bersembunyi di belakangku dan tertawa seolah dia sedang dalam
masalah, lalu menatapku dan lanjut berbicara.
“Karena aku tidak ada hubungannya dengan hal ini aku jadi
penasaran, tapi aku tidak akan bertanya apapun… Ingat, Yukishiro, kurasa kau
bukan tipe orang yang dibenci tanpa alasan. Jadi aku berdoa semoga hubunganmu dengan
wanita itu membaik atau berjalan dengan baik.”
"… Ah. Makasih, Aisaka.”
"Ehehe. Kalau begitu… aku pergi belanja dulu! Aku
benar-benar melupakannya!!”
Aisaka panik dan berlari sambil melambaikan tangannya.
Rasanya seperti badai telah berlalu hanya karena situasi
itu, tapi wajahku terasa panas hanya karena dia mengatakan itu padaku.
Ayana merangkul lenganku dan menatapku.
Karena kejadian sebelumnya… Kupikir Seina-san dan dia
akan merasa canggung jika mereka bertemu hari ini, jadi aku menyarankan agar
dia mampir ke rumahku.
“Aku tidak mau pulang dan menimbulkan masalah… Aku akan
pulang lebih awal besok pagi.”
"Aku mengerti."
Kalau begitu, besok aku harus mengantarnya pulang dan
kemudian pergi ke sekolah.
Ibu pasti sudah pulang kerja, jadi sebelum mengantar Ayana
ke rumahku, aku harus menelponnya dan memberitahunya kalau dia mau menginap.
[Halo?]
“Ma? Maaf menelponmu tiba-tiba, tapi aku mau bilang kalau
Ayana mau menginap semalam di rumah kita---“
[Oke. Begitu kalian sampai, aku akan membuatkan
makanan lagi.]
Senang rasanya memiliki seorang ibu yang menerima apa
yang dikatakan putranya tanpa menanyakan alasannya.
Ayana juga berada di dekat ponsel, jadi sepertinya dia
mendengar suara ibuku yang sedikit bocor. Lalu dia meraih tanganku dengan
lembut dan tertawa.
“Terimakasih, Towa-kun. Aku juga harus berterima
kasih pada Akemi-san.”
“Kamu seharusnya tidak perlu berterima kasih
padaku. Lebih dari itu, ini tentang ibuku… jika kamu bermalam bersamanya,
itu akan menambah emosi dan mungkin membuatmu kesal, bukan?”
"Tidak apa. Aku sudah terbiasa dengan Akemi-san
yang mabuk♪”
Itu benar... Aku tersenyum masam melihat betapa bisa diandalkannya
dia.
Saat aku terhibur dengan kegembiraan Ayana karena bisa
melihat ibuku dan berada di sisiku, aku membawanya ke rumah di mana ibuku sudah
menunggu kami.