Saat aku bangun, ruangan masih gelap dan hari masih sangat
pagi. Setelah beberapa saat linglung, aku teringat bahwa ini bukan tempat
tidurku.
Aku segera duduk di tempat tidur dan menatap mata Hinata-san, yang
berada di dekatku, sedang duduk berlutut.
“Selamat pagi, Senpai.”
“… Jadi bukan mimpi ya kalau kamu ada di sini, Hinata-san.”
“Itu reaksi pertamamu saat bangun tidur?”
“Yah, tiba-tiba dunia menjadi tempat yang gila sehingga…”
Jika memungkinkan, aku ingin semua ini hanya mimpi, tapi keluarga dan teman-temanku
telah berubah menjadi zombie…
--- Tidak, tidak, tidak, ini tidak benar. Tadi malam kami
memutuskan untuk tidak berpikiran negatif.
“Berapa lama aku tidur?”
“Sekitar 5 jam. Kalau kamu masih ngantuk, kamu bisa tidur lagi,
oke?”
“Tidak, aku sudah baik-baik saja sekarang. Berkat bisa beristirahat
setidaknya sekali, pikiranku menjadi jernih.”
"Baguslah. Aku akan memberitahumu bahwa papaku masih
tidur. Sejauh ini zombie belum memasuki rumah dan masih belum ada jaringan.”
"Aku mengerti. Setidaknya situasinya tidak bertambah buruk,
jadi bisa kukatakan itu hal yang bagus…”
Setelah menerima kenyataan, kami turun ke lantai satu dan aku meminta
Hinata-san menyiapkan sarapan.
“Apa kamu mau sarapan ala Barat, Senpai? Atau ala Jepang?”
“Di rumah, aku sarapan ala Jepang. Aku benar-benar ingin makan
roti saja…”
“Tidak, kamu harus sarapan dengan benar. Sup miso sangat
dianjurkan karena penuh dengan nutrisi. Selain itu, kamu juga harus mengkonsumsi
makanan fermentasi seperti natto dan yogurt.”
“Kamu terlihat seperti ibuku.”
“Mulai hari ini aku akan menjaga kesehatanmu, Senpai. Jadi jangan mengkhawatirkan
apapun.”
Setelah dengan bangga membusungkan dadanya, Hinata-san mulai menyiapkan
sarapan. Dia memotong daun bawang dan tahu dengan sangat terampil, lalu
merebusnya dalam panci.
Sedangkan aku, aku menggunakan beberapa lembar karton yang disiapkan
Hinata-san untuk menutupi bagian jendela yang pecah. Meskipun kami akan
segera pergi dari sini, aku merasa terganggung meninggalkan rumah ini tanpa memperbaikinya.
Setelah aku selesai menutup celahnya, Hinata-san mulai meletakkan
beberapa piring di atas meja. Itu adalah nasi, natto, sup miso dengan
banyak bahan, salmon panggang, telur goreng dengan bacon, dan bayam rebus
dengan mustard Jepang. Banyak sekali makanan yang tidak dapat aku
bayangkan untuk dilihat di zaman bertahan hidup ini.
“Aku mencoba menggunakan semua bahan makanan yang ada di kulkas. Karena
telurnya banyak, aku berpikir untuk membuat tamagoyaki untuk makan siang kita.
Kamu lebih suka yang manis atau tidak?”
“Yang manis.”
Sambil mengagumi keterampilan Hinata-san dalam pekerjaan rumah, aku
mulai menikmati sarapan lezat yang dia siapkan untukku.
Akhirnya setelah selesai sarapan dan merasa puas, kami memutuskan untuk
bersiap menuju asrama Sekolah Perempuan.
Hinata-san mengganti pakaian rumahnya menjadi seragam sekolahnya agar
mereka tahu kalau dia adalah seorang murid SMA. Dia juga mulai menulis
surat untuk memberitahu mereka bagaimana keadaannya jika ibunya kembali ke
rumah.
Di sisi lain, aku membawa makanan kaleng dan cemilan yang ada di rumah ke
dalam tas agar aku bisa naik gunung tempat tujuan kami berada.
“Kita pergi ke asrama dengan mobil, kan?”
Hinata-san secara alami menanyakan pertanyaan itu, setelah selesai
menulis surat.
Aku merasa tidak enak mengemudi tanpa SIM, namun ada benarnya juga bahwa
tidak ada cara yang lebih aman untuk bepergian selain menggunakan mobil.
“Hinata-san, apa kamu tahu cara mengendarai mobil?”
"Kurasa bisa. Aku selalu memperhatikan ayah dan kakekku saat mereka
menyetir dari kursi penumpang.”
“Kalau bisa, maka aku ingin kamu yang menyetir, karena aku tidak tahu
bagaimana cara melakukannya…”
"Okey."
Setelah semuanya diputuskan, kami mulai memuat semua barang yang
diperlukan, seperti makanan dan pakaian, ke dalam bagasi dan kursi belakang
mobil.
Saat kami hendak pergi, Hinata-san bilang padaku bahwa dia ingin
bertemu ayahnya, jadi kami pergi menemui ayahnya. Dia masih tertidur di
kamar tempat kami meninggalkannya.
Hinata-san duduk, meraih seprai dan menutupi ayahnya dengan itu, lalu
meraih tangannya.
“… Aku akan segera kembali, Pa.”
Mendengar suara menyakitkan itu, aku duduk di sebelahnya.
“Pak, saya berjanji kepada anda bahwa saya akan melindungi
Haruka-san. Kami berdua akan kembali ke rumah untuk memeriksa keadaan anda. Anda
bisa yakin akan hal itu.”
Hinata-san melebarkan matanya dan tersenyum malu.
“Rasanya seperti aku akan menikah denganmu, Senpai.”
“Aku tidak ingin kamu membuat kekacauan saat ayahmu sedang tidur di
sini.”
"Tidak apa. Hanya saja, jika dia bisa mendengarkanmu, aku yakin
dia akan menerimanya karena mengetahui bahwa aku akan pergi bersamamu, Senpai.”
"Seriusan…? Aku rasa tidak ada ayah yang merasa tenang saat mengetahui
bahwa putrinya akrab dengan laki-laki hingga dia mau pergi bersamanya..."
“Yah, kalau kita terus menggoda, papa mungkin akan
bangun. Ngomong-ngomong, aku sangat terkejut saat pertama kali kamu
memanggilku dengan namaku, jadi mulai sekarang, tolong panggil aku 'Haruka'.”
“Kita tidak benar-benar menggoda.”
Sepertinya Hinata-san perlahan memulihkan suasana hatinya. Itu
melegakanku.
Aku tidak tahu bagaimana keadaan ayahnya sekarang, tapi jika suatu saat
dia berhasil hidup sepertiku...
"Baiklah. Sekarang ayo pergi."
Hinata-san berdiri dan segera pergi ke pintu masuk rumah.
Aku keluar dulu untuk melihat sekeliling dan karena tidak ada sesuatu, aku
mengizinkan dia keluar. Lalu, kami masuk ke dalam mobil. Hinata-san
duduk di kursi pengemudi dan menyalakannya.
“Beruntungnya, masih ada lebih dari separuh bensin.”
“Kamu tahu cara membaca pengukur bahan bakar?”
“Aku mempelajarinya dari kakekku. Nahh, sekarang, ayo kita menuju
ke asrama."
“Tolong mengemudi dengan hati-hati.”
“Kamu terlalu khawatir, Senpai. Meskipun aku tidak tahu kenapa
kamu melakukannya, meskipun kita mengalami kecelakaan, kamu tidak akan mati
karena kamu zombie, kan.”
“Tentu saja aku tidak peduli apa yang terjadi padaku, tapi jika sesuatu
terjadi padamu, aku akan mendapat masalah.”
“Jangan mengatakan hal-hal keren seperti itu.”
“Aku berjanji pada ayahmu bahwa aku akan selalu melindungimu,
Hinata-san.”
“Yah, kamu mengatakan dengan tepat. 'Saya pasti akan melindungi
Haruka-san' … Jadi, panggil aku dengan namaku.”
"Eh? Apa kamu ingin aku memanggilmu seperti itu?”
“Bukankah itu sudah jelas? Kita tidak akan pergi sampai kamu memanggilku
dengan namaku.”
"Itu masalahnya."
“Sudah kubilang padamu kalau kita tidak akan pergi jika kamu tidak memanggilku
'Haruka' sesegera mungkin. Mobil ini tidak akan bergerak satu incipun
sampai kamu melakukannya.”
“… Haruka.”
“Hehehe, makasih banyak, Senpai. Sekarang, ayo pergi. Tunggu,
sebelum aku lupa, aku akan memberitahumu jika kamu memanggilku dengan nama
belakangku, kemungkinan besar mobil ini akan berhenti tiba-tiba, jadi
berhati-hatilah♪.”
Hinata-san--- Maksudku, Haruka tertawa seperti gadis nakal saat dia
menginjak pedal gas dan mobil mulai bergerak perlahan.
Sungguh mengerikan duduk di kursi penumpang mobil yang dibawa oleh
seorang kouhai SMA.
Namun secara perlahan, Haruka berhasil keluar dari garasi dengan
ekspresi serius di wajahnya.
“Sungguh menakjubkan saat kamu memutar setir dan mobil berbelok ke arah
yang benar…!”
Haruka mengatakan hal berikut degan penuh semangat saat para zombie
mendekati kami karena suara mesin.
“Ini seperti sebuah permainan. Menyenangkan sekali~”
“Kamu tidak pandai mengemudi, kan? Apa ini pertama kalinya kamu
melakukannya?”
“Ini sangat mudah. Senpai, cobalah nanti.”
Haruka mengatakan itu dengan gembira lalu meninggalkan jalan dan
memasuki jalan utama.
Pemandangannya sangat buruk. Ada mobil-mobil yang hancur dan
hangus di mana-mana saat zombie berkeliaran.
Tiba-tiba, saat melihat kami, semua zombie mulai mendekati kami, jadi
kami mengabaikan peraturan lalu lintas dan menyeberang ke jalur berlawanan ke
arah yang berlawanan.
Namun, ada banyak tempat yang jalanannya benar-benar diblokir akibat
tabrakan mobil.
Jadi setiap kali situasi itu muncul, kami mengambil jalan memutar atau aku
keluar dari mobil untuk menyingkirkan hambatan itu.
Selalu seperti itu sepanjang waktu, hingga sulit untuk bergerak maju,
bahkan beberapa ratus meter.
Butuh waktu lama, tapi kami sampai sangat dekat dengan Sekolah
Perempuan tempat Haruka belajar.
Karena suara mesin akan menarik perhatian zombie, kami memutuskan untuk
memarkir mobil agak jauh dari sekolah dan mulai berjalan menuju asrama.
Saat kami menuju ke asrama, aku menangkap dan menyingkirkan zombie yang
kami temukan di sepanjang jalan.
Kami sampai di sekolah dan melihat banyak zombie di halaman, apa mereka
temannya...?
Setelah berjalan beberapa menit, asrama sekolah muncul di hadapan
kami. Bangunan itu dikelilingi pagar besi hitam yang kuat dan
kokoh. Kami tidak menemukan zombie di sekitarnya. Hal ini membuatku
lega sebelum waktunya, tapi kami tidak bisa masuk karena pintu depan terkunci
dan tidak bisa dibuka tanpa kunci.
“Bagaimana kita bisa masuk?”
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri dan melihat ke pagar besi
lagi. Tingginya sekitar 2 meter lebih, tapi tidak ada tempat untuk
pinjakan kakiku disana. Jika aku sendirian, aku bisa saja berubah menjadi
zombie, memperkuat lenganku dan memanjatnya, tapi…
“Bagaimana kalau kita membawa mobil ke sini dan menggunakannya sebagai
pijakan?”
“Tapi kalau kita melakukan itu, para zombie juga bisa menggunakannya
untuk memanjat pagar seperti kita, kan?”
“Benar juga… Akan lebih baik jika kita punya tangga, tapi sama saja sama
mobil…”
"Kita tidak bisa membuang waktu lagi. Bagaimana kalau kamu menggendongku
di pundakmu?"
“… Itu lebih baik. Tentu saja akan kulakukan.”
“Itu sudah jelas, tapi kenapa kamu terlihat sangat senang?”
Haruka menatapku dengan curiga. Sepertinya dia telah menyadari bahwa
aku bisa melihat daleman roknya.
"Kamu salah. Aku tidak senang."
“Yah, akan kuberitahu kalau aku pakai celana pendek jadi kamu tidak
bisa melihat daleman rokku.”
"Lalu?"
“Apa kamu kecewa?”
“Tidak, lebih tepatnya aku merasa lega.”
“Senpai, jika kamu ingin melihatnya, aku bisa melepas celana pendekku,
oke?”
“Ja-jangan, aku tidak menginginkan itu…”
“Kamu berbohong dan itu menggangguku.”
“… Yah, naiklah ke pundakku.”
Aku berpura-pura tenang dan berjongkok di dekat pagar.
“… Maaf jika aku merepotkanmu.”
Haruka mengatakan hal itu dengan sedikit malu dan meletakkan kaki kanan
dan kirinya di pundakku, sehingga menunjukkan kepadaku bahwa dia memercayaiku
dengan tubuhnya.
Kepalaku terjebak di antara pahanya dan bagian belakang leherku ditekan
oleh roknya. Ini situasi yang buruk.
Indra penglihatan dan sentuhanku sangat terangsang, tapi ini bukan
waktunya untuk tenggelam akan kebahagiaan ini.
Aku membuang pikiran buruk itu dan mencoba berdiri, tapi karena ini
pertama kalinya aku melakukan ini, aku kehilangan sedikit keseimbangan.
“--- Wahhhh!”
Haruka mencoba memegang pundakku, jadi sesuatu yang lembut menekan
bagian atas kepalaku. Pahanya memiliki kelembutan yang lain.
… Selain itu, aku juga menyentuh bagian bawah payudaranya…
Sementara aku senang dengan apa yang telah terjadi, aku segera berdiri
dan berpegangan pada pagar.
“Apa aku bisa naik, Senpai?”
"Yup. Akan mudah bagimu untuk sampai ke puncak pagar.”
Setelah mengatakan itu, pahanya yang putih bersih mulai bergerak ke
atas sambil mengusap pipiku.
Haruka mencoba berdiri di atasku dan saat berikutnya, ujung roknya
muncul di depan mataku. Sesuatu yang lembut menyentuh bagian atas kepalaku
lagi.
“--- Ah!”
Haruka mengeluarkan suara gugup dan langsung melompat ke pagar, namun
karena lengannya lemah dan kurus, sulit baginya untuk mengangkat tubuhnya.
“Senpai, bisakah kamu mendorong tubuhku ke atas?”
"Dimenherti."
Aku meraih sepatunya yang ada di udara dan mendorongnya ke atas di saat
yang bersamaan.
Tubuh bagian atas Haruka sudah naik di atas pagar, jadi sepertinya dia
bisa turun ke sisi yang lain.
Ngomong-ngomong, dari sudut ini, aku bisa sepenuhnya melihat bawah roknya. Meski
mengenakan celana pendek, pemandangan itu tetap indah.
Secara tak sengaja, pantatnya mengenai bagian atas kepalaku.
Sambil memikirkan hal-hal mesum, Haruka jatuh ke tanah dengan
selamat. Sekarang giliranku untuk memanjat pagar.
“--- Jangan bergerak!”
Tiba-tiba, suara bernada tinggi terdengar di dekatku, jadi aku berhenti
bergerak.
Beberapa detik kemudian, seorang perempuan mengenakan hakama muncul dari dalam gedung sambil mengarahkan busur dan anak panah ke arahku.
“Maaf, tapi untuk menghindari masalah, anak laki-laki dilarang masuk
asrama ini. Dia bisa masuk, tapi kamu tidak bisa.”
Seorang perempuan dengan rambut pirang panjang sepinggang mengatakan
itu sambil menatap mataku. Jika aku mencoba bergerak mencurigakan, aku
yakin dia akan langsung melepaskan anak panahnya.
Untuk saat ini, aku memutuskan untuk angkat tangan dan mencoba
bernegosiasi dengannya.
“Aku tidak punya senjata apapun dan aku juga tidak punya niat menyerangmu. Karena
kamu berhasil melihatku bersama orang yang selamat, bisakah kita bekerja
sama…?”
"Maaf, tapi tidak."
“Kami membawa makanan dan persediaan pokok.”
“Aku tidak tahu apakah yang kamu katakan itu benar, jadi aku tidak bisa
bernegosiasi denganmu.”
“Kalau begitu, apa kamu percaya padaku jika aku benar-benar membawa
makanan?”
“Ada persediaan makanan di asrama. Selama aku tidak mengetahui
sifat aslimu, kamu tidak akan bisa masuk ke sini.”
Perempuan itu terus menolak tawaranku sambil terus menarik
busurnya. Aku rasa dia sangat berhati-hati karena aku laki-laki. Di
sisi lain, karena polisi sudah tidak ada saat ini, aku tidak bisa melakukan apapun
yang bertentangan dengan apa yang mereka katakan padaku...
Namun, berlawanan dengan nada bicaranya yang kasar, aku bisa merasakan
keraguan dalam ekspresinya. Sepertinya dia merasa bersalah karena
membuatku berbalik dan menjauh dari tempat itu.
Jika itu masalahnya, bukankah lebih baik melakukan percakapan daripada
terus menahan diri dan memberi kesan buruk?
"Oke. Aku menyerah. Aku tidak akan memasuki
gedung. Sebaliknya, aku hanya ingin memeriksa satu hal. Tidak ada
masalah bagi Haruka untuk tetap tinggal di dalam gedung, kan?”
"Tentu saja. Sepertinya gadis itu adalah murid sekolah kami,
jadi aku bisa mempercayainya.”
"Oke…"
Itu adalah situasi yang tak terduga namun tak sepenuhnya
buruk. Jika aku meninggalkan Haruka di sini, aku bisa mendapatkan beberapa
persediaan sendiri.
Namun, saat aku memikirkan hal itu, mataku bertemu dengan mata Haruka.
“Senpai. Kuharap dugaanku itu salah, tapi kamu tidak berniat
meninggalkanku di tempat ini, kan?”
“Aku akan menjemputmu saat aku menemukan tempat yang
aman. Sementara itu, aku akan datang sehari sekali untuk mengantarkan persediaan
yang kamu butuhkan---”
“Aku tidak akan menerimanya.”
Haruka mengatakannya dengan nada yang tidak memungkinkan hal itu.
“Jika kamu tidak bisa tinggal bersamaku di tempat ini. Kalau
begitu aku akan pergi bersamamu, Senpai.”
“… Aku khawatir membawamu ke tempat yang aku tidak tahu apakah itu
aman, jadi aku akan pergi sendiri terlebih dulu.”
“Bukankah lebih baik jika kamu melindungiku?”
"Jangan egois. Aku berjanji pada ayahmu bahwa aku akan
melindungimu apapun yang terjadi."
"Aku tahu kamu berjanji padanya, jadi tolong jangan menyerah. Apa
yang akan terjadi jika beberapa zombie memasuki tempat ini?"
“--- Ah. Itu mungkin…"
Aku benar-benar takut meninggalkan Haruka di asrama tanpa memastikan
apakah gedung itu aman.
Kemudian, perempuan yang mendengarkan percakapan kami menurunkan busur
dan anak panahnya dan menanyakan hal ini kepada Haruka.
"Apa yang akan kamu lakukan? Jika kamu ingin pergi, aku akan
membukakan gerbangnya untukmu.”
“Aku tidak ingin sendirian. Tolong biarkan aku keluar dari sini.”
"Oke. Aku akan membuka gerbangnya, tapi jangan mencoba
menyelinap. Jika kamu melakukan gerakan aneh, aku akan menembakmu di
tempat.”
Perempuan itu mengarahkan panahnya ke arahku lagi dengan ekspresi
skeptis.
“Aku tidak akan melakukan itu… ah, sebelum aku lupa, apakah ada yang
kamu butuhkan? Entahlah, mungkin kamu memerlukan kebutuhan sehari-hari? Aku
mau pergi ke toserba nanti dan mungkin akan membawakannya untukmu.”
“--- Eh?”
Perempuan itu terkejut dengan perkataanku karena sesaat matanya terbuka
lebar.
“Kenapa kamu menawarkan itu padaku?”
“…………? Kamu butuh makanan, kan?”
“Tidak terlalu, tapi… Kenapa kamu menawarkan itu kepada seseorang yang
baru saja menolakmu…?”
Perempuan itu kesal dan menanyakan hal itu kepadaku. Sepertinya dia
tak mengerti maksud tawaranku.
… Sebenarnya. Aku kebal terhadap zombie, jadi wajar kalau aku
membantunya, tapi menurutku tidak baik bagiku untuk memberitahunya bahwa...
“Uuoohhh.”
Tiba-tiba, aku mendengar erangan zombie di belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat zombie-zombie itu mengenakan
seragam yang sama dengan Haruka. Mereka mungkin mendekati kami karena
kebisingan yang kami buat saat kami berbicara.
“--- Sini cepat!”
Perempuan itu dengan cepat mengeluarkan kuncinya dan berteriak sambil
membuka gerbang.
“Cepat masuk!”
“Tidak, laki-laki dilarang masuk, jadi aku tidak bisa melakukannya.”
Saat aku mengatakan itu, aku mengambil batu terdekat seukuran kepalan
tanganku dan memasukkannya ke dalam mulut zombie SMA yang hendak menggigitku.
Lalu aku berdiri di belakangnya dan mengikat tangannya.
Namun, saat sedang mengikatnya, batu yang dimasukkan ke dalam mulutnya
terjatuh. Zombie itu menggerakkan tubuhnya dengan kuat mencoba menggigitku
dengan berbagai cara.
Zombie ini cukup ganas.
Melumpuhkan anggota tubuhnya mungkin tidak cukup. Akan lebih baik
jika aku bisa menahannya di suatu tempat yang akan melumpuhkannya meskipun dia menggila---
Aku melihat sekeliling dan melihat tiang listrik. Jika aku
mengikatnya di sana, dia tidak akan bisa kabur tak peduli seberapa keras dia
mencoba menyerangku.
Akan menyeramkan jika aku mengikatnya di dekat asrama, jadi aku
menyeretnya sekitar 10 meter dan mengikat leher dan lengan zombie itu dengan
kuat menggunakan tali rami ke tiang listrik.
Si zombie, yang gerakannya terhalang, menunjukkan giginya ke arahku dan
mencoba menggigitku. Aku memperhatikannya beberapa saat, tapi sepertinya
dia tidak memiliki kemampuan untuk bisa melepaskan tali dari leher dan tangannya.
Setelah memastikan hal itu, aku berbalik dan kembali ke
gedung. Lalu aku menemukan perempuan yang memakai hakama berdiri di pagar
dengan mulut setengah terbuka.
“… Apa kamu tidak takut sama zombie?”
Dia menanyakan pertanyaan itu kepadaku dan jawabannya tersangkut di
tenggorokanku. Aku bisa memberitahunya bahwa tidak akan terjadi apa-apa
padaku jika ada zombie yang menggigitku, tapi mungkin di masa depan aku bisa
mempercayakan dia untuk menjaga Haruka di gedung ini, jadi aku memutuskan untuk
menyembunyikan fakta darinya bahwa aku adalah zombie.
“Aku takut zombie, tapi aku lebih takut digigit mereka.”
Aku yakin itulah yang dirasakan orang biasa ketika harus menghadapi
zombie. Kurasa.
“… Satu pertanyaan lagi, kenapa kamu tidak membunuh zombie
itu? Kemungkinan kecil untuk menggigitmu jika kamu menghancurkan
tengkoraknya daripada mengikatnya.”
“Karena mungkin ada cara bagi mereka untuk berhenti menjadi zombie di
kemudian hari. Aku tidak ingin menyesal ketika mereka menemukan cara untuk
berubah menjadi manusia lagi."
Aku hanya tidak punya keberanian untuk membunuh zombie, ditambah lagi
aku ingin terlihat sedikit keren di hadapannya.
Kemudian perempuan itu menunjukkan tekad di wajahnya dan membuka gerbang.
“Aku minta maaf atas sikapku yang tidak sopan. Silakan tinggal di
asrama kami.”
“--- Eh? Tapi bukankah anak laki-laki tidak diizinkan untuk
memasukinya?”
“Alasanku menolakmu masuk adalah karena aku belum dewasa dan aku tidak
tahu apakah kamu akan menimbulkan masalah. Aku mempunyai kewajiban untuk
melindungi gadis-gadis di asrama ini, jadi aku berpikir untuk selalu
menunjukkan diriku sebagai perempuan berhati iblis, namun, kamu tulus dan aku
merasa semuanya akan baik-baik saja. Tentu saja aku tahu bahwa rasionya
tidak mungkin nol, tapi melihat keberanian yang kamu tunjukkan saat menghadapi
zombie itu, aku memutuskan akan lebih menguntungkan jika kamu tetap bersama
kami... Kami berusaha untuk tidak terlihat lemah, tapi kami tidak punya cara
untuk mendapatkan makanan. Bahkan jika kami terus terisolasi di tempat
ini, kami pada akhirnya akan mati kelaparan di masa depan karena kekurangan
makanan… Namun, jika kamu benar-benar membawakan kami makanan, kami akan bisa
bertahan hidup.”
Perempuan itu menatap lurus ke mataku dan mengatakan itu dengan
ekspresi penuh harapan di wajahnya.
“Maaf aku tidak memperkenalkan diri lebih awal. Namaku, Mai
Tsukishiro, siswi SMA tahun ketiga. Mai Tsukishiro dari cahaya bulan dan
tarian Jepang.”
“Yah, aku Yuma Kousaka, siswa SMA tahun kedua. Yuma Kousaka yang
lembut dan jujur.”
Saat kami memperkenalkan diri, Haruka secara alami berdiri di antara
kami.
“Aku Haruka Hinata, siswi SMA tahun pertama. Haruka Hinata dari
sinar matahari dan musim panas yang cerah. Ngomong-ngomong, Senpai sangat
mencintaiku sehingga aku tidak perlu khawatir pada godaan gadis-gadis lain,
kan, Senpai?”
Haruka sedikit memiringkan kepalanya dan menanyakan hal itu padaku
dengan nada polos, tapi matanya tidak ceria.
“Te-tentu.”
“Itulah mengapa aku bertanggung jawab untuk menjaganya. Aku akan
menjaganya 24 jam sehari, dari orang pertama yang mengucapkan selamat pagi
hingga orang terakhir yang mengucapkan selamat malam, jadi jangan mengkhawatirkan
dia.”
Tsukishiro-san tersenyum kecut saat Haruka mengatakan itu sambil membusungkan
dada montoknya.
"Aku mengerti. Kousaka-san, Hinata-san, aku berharap dapat
bekerja sama dengan kalian mulai hari ini."