Ads 728x90

Zombie Sekai Volume 1 Chapter 1 Part 3

Posted by Chova, Released on

Option


Aku sempat terhanyut dalam kesedihan ini, tapi aku tak bisa tetap seperti ini selamanya.

"Ayo kita siapkan baju ganti dan pergi ke kamar mandi, oke?"

Mengatakan itu, Hinata-san mengeluarkan kaos lengan panjang sederhana dan celana panjang dari lemari baju ayahnya dan menyerahkannya kepadaku. 

Setelah itu, dia segera mengambil baju ganti dari kamarnya dan turun ke kamar mandi.

Lampu di kamar mandi menyala dan airnya dipanaskan dengan baik. Tampaknya fasilitas seperti pembangkit listrik secara teori, masih berfungsi.

"Apa kamu mau mandi dulu, Senpai?"

"Itu tidak masalah bagiku, Hinata-san, tapi bagaimana kalau ada zombie yang muncul saat aku sedang mandi?"

"Itu bisa terjadi... Zombie bisa masuk ke dalam rumah dan kamu mungkin tidak menyadarinya saat sedang mandi."

“Ditambah lagi, zombie yang mendengar suara pancuran mungkin akan mendekati kita melalui jendela kamar mandi.”

"Aku tahu kalau mandi itu berisiko."

“Akan lebih baik jika kita berdekatan saat salah satu dari kita sedang mandi.”

“Agak memalukan, tapi mau bagaimana lagi. Namun, saat kamu bilang 'dekat', seberapa dekat yang kamu maksud?”

“Menunggu di lorong? Aku rasa yang ideal adalah menunggu di ruang ganti.”

“Kalau begitu di ruang ganti. Jika kamu menutup pintu ruang ganti dan pintu kamar mandi, kamu hampir tidak akan mendengar apa pun.”

“Jika kamu setuju dengan hal itu, Hinata-san, maka…”

"Aku tidak nyaman dengan hal itu, tetapi aku tidak bisa mengeluh karena situasinya... Nah sekarang, berbaliklah selagi aku bersiap-siap untuk mandi."

“Apa kamu lebih suka jika mataku ditutup?”

“Kamu tidak perlu melakukannya. Aku percaya padamu Senpai, selain itu, jika kamu melakukan itu, zombie mungkin akan datang dan menyerang kita, jadi jangan."

"Aku mengerti."

Aku berbalik melihat ke lorong segera setelah aku berpikir sesuatu yang luar biasa telah terjadi.

"... Baiklah, aku akan mulai melepas pakaianku."

Setelah mengatakan itu, aku mendengar suara pakaiannya di belakangku.

Aku menatap ke dinding lorong, mati-matian menekan keinginan untuk melihatnya.

"Sekarang aku akan melepas celana dalamku, jadi tolong jangan berbalik."

"A-aku tahu."

“… Aku baru saja melepas braku.”

"Tolong jangan katakan apa yang kamu lakukan."

“… Aku melepas celana dalamku. Jika kamu berbalik sekarang, kamu akan bisa melihatku telanjang.”

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak memberitahuku apa yang kamu lakukan?" 

"Menyenangkan bisa menggodamu, Senpai."

“Kejamnya. Kamu tidak cemas kalau aku akan melihatmu telanjang, kan?"

"Fufufu, Senpai, kamu terlihat gugup. Apa kamu benar-benar gelisah karena aku telanjang?"

"... Jika aku bilang padamu bahwa aku ingin tahu melihatmu telanjang, apa kamu akan membiarkanku melakukannya?"

"Tentu saja tidak."

“Kalau begitu, aku tidak akan penasaran.”

“Ehhh~? Tapi bukankah kamu sangat penasaran untuk melihat dadaku~?”

"Kupikir aku akan mati, jadi itulah sebabnya aku memintamu untuk menunjukkannya kepadaku..."

"Jadi, kamu benar-benar ingin melihat mereka."

"No comment."

“Mmm… Ngomong-ngomong, aku hanya ingin tahu apakah---”

“Apa kamu benar-benar berpikir kita berada dalam situasi untuk melakukan obrolan sebentar!?”

“Ini tidak akan memakan waktu lama, jadi tenanglah. Kamu benar-benar imut, Senpai."

"Kamu sangat menyebalkan. Sudahlah, cepat katakan."

"Senpai, karena kamu bisa berubah dari zombie menjadi manusia, bagaimaina soal makanan?"

"... Sekarang setelah kamu mengatakannya, aku lapar."

"Kalau begitu aku akan memasak untukmu nanti. Ini seperti berkencan di rumah. Menyenangkan sekali♪!” 

“Tak peduli bagaimana kamu ingin melihatnya, ini bukan waktunya untuk bersenang-senang. Dan juga, ini bukan waktunya untuk mengobrol saat kamu telanjang bulat.”

"Aku tahu. Senpai, kamu pikir aku benar-benar telanjang bulat, kan?"

"Kamu bercanda!?"

“Senpai mesum. Aku memutuskan untuk melepas pakaianku setelah memastikan apakah kamu akan berbalik atau tidak. Sejujurnya, aku masih mengenakan seragamku."

"… Baguslah. Aku mulai khawatir kalau kamu tidak tahu malu, Hinata-san."

“Aku senang sudah membereskan kesalahpahaman ini. Baiklah, sekarang aku akan benar-benar melepas pakaianku."

Tepat setelah mengatakan itu, aku mendengar suara pakaiannya lagi.

Kalau dipikir-pikir, itu membuat suara keras yang tidak normal. Kali ini, suara pakaiannya cukup pelan, yang membuatku percaya bahwa dia benar-benar telanjang.

Memikirkan hal itu, Hinata-san tampaknya berhenti.

"… Ini berbahaya. Terlalu memalukan melepas celana dalamku di belakangmu, Senpai." 

"Tolong berhenti mengatakan apa yang kamu lakukan karena kamu membuatku sulit untuk tidak bereaksi."

"Setelah dipikir-pikir, tidak ada aturan yang mengatakan aku harus melepas celana dalamku di ruang ganti, jadi aku akan melepasnya di kamar mandi."

"Itu ide bagus."

"Ngomong-ngomong, sulit bagimu untuk mempertahankan posisi ini sampai aku keluar dari kamar mandi, bukan?" 

"Itu benar."

“Nah silakan, buat dirimu nyaman dan bersantai tanpa harus meninggalkan ruang ganti.”

Mengatakan itu, dia pergi ke kamar mandi dan menutup pintu kaca buram.

Bahkan jika dia menyuruhku untuk santai, tidak mungkin hatiku tenang dalam situasi ini...

Dengan diam-diam melihat ke belakangku, entah bagaimana, aku bisa mengerti bahwa Hinata-san telah melepas pakaian dalamnya di kamar mandi dan sekarang telanjang bulat.

Ini… erotis!!!

Kaca buram itu, adalah bahan impian, itu memiliki kekuatan magis untuk menarik dan mempertahankan pandangan pria. Secara kasar aku bisa mengetahui postur seperti apa Hinata-san di kamar mandi saat ini, dan aku memiliki ide romantis bahwa ada bagian kaca di mana aku dapat melihat dengan jelas bagian dalam kamar mandi.

Sungguh menakjubkan melihat seseorang mandi melalui kaca seperti itu bukanlah suatu kejahatan.

Sial, aku tak bisa berhenti mengingat apa yang terjadi di tepi sungai. Aku merasa bersalah, tapi aku tak bisa melupakan payudaranya.

Pada akhirnya, sekitar 5 menit terlah berlalu, aku terus membayangkan Hinata-san mandi telanjang di balik pintu kaca. Maaf, tapi kurasa beginilah sifat laki-laki.

Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit dan aku berbalik dengan tergesa-gesa.

“Senpai. Aku ingin keluar dari kamar mandi sebentar, bisakah kamu berbalik?"

“Aku tidak melihat lagi jadi jangan ragu untuk keluar dari kamar mandi."

“Jika kamu mengatakan 'Aku tidak melihat lagi' itu berarti dari tadi kamu sudah melihatku?”

“Jangan tunjukkan instingmu yang tajam.”

"Senpai cabul. Apa kamu masih ingat apa yang terjadi di tepi sungai?"

"… Maaf."

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Keingintahuanmu untuk melihatku telanjang adalah bukti bahwa kamu belum kehilangan kemanusiaanmu."

“Kamu sangat toleran… Namun, aku rasa satu-satunya orang yang tidak keberatan mengintip kamar mandi dalam situasi ini adalah para pembunuh yang kehilangan kesopanan mereka di usia yang sangat muda, jadi kumohon maafkan aku.”

"Begitu... Senpai, tolong lihat aku."

".........?"

Saat aku berbalik setelah menerima permintaan aneh itu, aku melihat sesuatu yang mengejutkan.

Hinata-san telah membuka pintu kamar mandi sedikit dan wajah serta bahu kanannya terlihat sepenuhnya.

Di balik kaca buram terdapat tubuh Hinata-san yang telanjang bulat … Siluet dari leher ke bawah tampak sangat jelas.

"... Kamu tidak bisa melihatnya, kan?"

Hinata-san menatapku cemas dengan wajahnya yang memerah.

“Jangan khawatir, aku hanya bisa melihat sesuatu yang buram.”

Aku melihat ke atas dan ke bawah beberapa kali, namun aku tidak tahu apa-apa tentang informasi yang paling penting dari semua ini.

Meskipun menurutku aku bisa menebaknya...

"Hinata-san, apa kamu memakai pakaian dalam...?"

Kecuali celana dalamnya berwarna sama dengan kulitnya, aku tidak bisa menemukan penjelasan lain untuk ini.

Aku tidak melihat tali branya...

"Aku lupa membawa handuk, jadi... sekarang aku benar-benar telanjang..."

"A-aku mengerti…"

“Aku sangat malu hingga aku bisa mati kerena seseorang melihatku telanjang melalui pintu kaca ini. Senpai, jangan berani-berani mendekat, oke?" 

“Tentu saja tidak akan.”

Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk membuka pintu untuk keluar dari sini mengetahui bahwa dia benar-benar telanjang.

Aku rasa aku tidak bisa menang melawan Hinata-san bahkan jika aku mempertaruhkan semua keberanianku.

"Ngomong-ngomong, Senpai, bisakah kamu membawakanku handuk dari mesin cuci?" 

"Te-tentu."

"Jika kamu mencoba mendekatiku saat kamu membawakanku handuk, aku akan membunuhmu."

"Aku akan mengendalikan diriku."

Dengan punggung menghadap pintu kamar mandi, aku mengulurkan handuk dengan tangan kananku.

Setelah meraih handuk, Hinata-san segera menutup pintu kamar mandi dan mulai mengeringkan seluruh tubuhnya, lalu berpakaian. Melihatnya, aku berpikir pasti sulit baginya untuk mengenakan bra jika pengaitnya ada di belakang.

Akhirnya, pintu kamar mandi terbuka dan Hinata-san melangkah keluar sambil mengeringkan rambut basahnya. Dia kini mengenakan pakaian kasual, yang terdiri dari kaos lengan pendek dan celana pendek.

Seragam sekolahnya memenag imut, tetapi pakaian rumahnya sangatlah indah.

“Yah, mulai sekarang, setiap kali salah satu dari kita mandi, yang lain harus saling dekat.”

"Itu benar."

Dunia telah menjadi tempat yang menakjubkan.

“Ngomong-ngomong, bukankah kamu merasa tak nyaman mengetahui bahwa aku berada di dekatmu saat kamu sedang mandi?”

"Tentu saja, tapi aku merasa bisa sedikit lebih santai setelah apa yang terjadi di tepi sungai."

"A-aku mengerti…"

"Baiklah, sekarang giliranmu masuk ke kamar mandi. Kamu bisa melepas pakaianmu tanpa khawatir karena aku tidak akan melihatmu.”

Dia mengatakannya dengan senyum di wajahnya.

"... Kamu akan mencoba untuk berbalik di waktu yang tepat, kan?"

"Eh? Bagaimana kamu tahu?”

"Sedikit demi sedikit aku mulai mengenalmu, Hinata-san."

"Tolong hentikan. Senpai, kamu melihat dada telanjangku di tepi sungai, jadi dengan mempertimbangkan prinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi, bukankah adil bagiku untuk melihatmu telanjang?"

“… Apa kamu ingin melihatku telanjang?”

"Aku bisa melakukannya?"

“Apa bisa gadis Jepang sepertimu melakukannya?” 

Hinata-san menatapku dari atas ke bawah.

"Untuk sekarang, jangan melihatku seperti itu."

  

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku pergi ke dapur dan melihat Hinata-san sedang memasak.

"Aku tidak pandai memasak, jadi jangan berharap terlalu banyak."

Mengenakan celemek, Hinata-san membuka kulkas dan mulai memikirkan apa yang bisa dia masak dengan bahan-bahan yang ada di ujung jarinya.

"Ada yang bisa aku bantu?"

“Bantu aku mengupas wortel. Aku mau membuat daging dan kentang."

Mengatakan itu, dia memberiku wortel yang sudah dicuci dan alat pengupas.

“Saat aku memasak, aku selalu mencari resep di Tablet, karena aku bingung dengan jumlah bumbu yang harus aku gunakan… Maaf jika tidak sesuai dengan keinginanmu, oke?”

"Kenapa kamu meminta maaf? Sebaliknya, menurutku sungguh menakjubkan bahwa kamu hafal seluruh proses memasak tanpa melihat resep atau video apapun. Apa kamu biasanya sering memasak?”

"Yaaa, begitulah. Aku pada dasarnya membuat makan siangku setiap hari.”

“Hebatnya. Yah, karena aku tidak tahu cara memasak, aku akan melakukan yang terbaik untuk tidak mengacaukannya."

"Hehehe. Ini pertama kalinya aku memasak dengan orang lain selain ibuku. Aku berpikir ini akan menyenangkan. Ini akan menjadi kenangan pertama dan paling berkesan bagi kami saat bekerja bersama ♪.”

"Aku rasa pertama kali kita bekerja sama adalah saat kita mengubur manga Takuya di taman."

"Kamu benar. Ngomong-ngomong, apa kamu mau menggalinya?”

“Tidak ada gunanya melakukannya dalam situasi ini, jadi mungkin akan lebih baik melakukannya lain kali.” 

Saat kami mengobrol, Hinata-san dengan terampil menyiapkan penanak nasi, mengeluarkan daging dari kulkas, dan mencairkannya di microwave.

Setelah aku selesai mengupas wortel, aku melihat Hinata-san baru saja menggoreng daging di wajan. Semuanya sempurna, seperti scene di film.

Dia selesai memasak daging dan kentang sambil tersenyum. Dia meletakkannya di atas meja ruang makan bersama dengan salad yang telah dia siapkan sebelumnya. Sebelum aku lupa, untuk hidangan penutupnya adalah puding yang aku beli sebelumnya.

Semuanya sudah siap.

Kami duduk saling berhadapan dan setelah bersyukur atas makanannya, aku memasukkan potongan daging dan kentang ke dalam mulutku.

Hinata-san menatapku dengan agak tegang menunggu reaksiku, jadi mau tak mau aku menjadi sedikit kaku.

Aku sudah siap untuk mengetahui apa yang harus aku lakukan jika rasanya tidak enak, tapi sejujurnya kentang dan dagingnya sangat enak, jadi tidak perlu berpura-pura.

“Rasanya sangat enak. Ini setara dengan makanan di toserba." 

“Syukurlah… Masih ada lebih banyak daging dan kentang di dalam panci, jadi bilang saja kalau kamu ingin tambah.”

Setelah dia merasa lega, dia tersenyum seolah aku telah memujinya.

“Kita terlihat seperti pasangan yang baru menikah.”

Ini hebat…!!!

Situasinya sempurna, karena aku duduk di meja ruang makan sambil mengobrol dengan seorang gadis cantik.

Jika zombie tidak muncul, aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini, membuat perasaanku campur aduk...

Selesai makan, Hinata-san mulai mencuci piring.

"Aku ingin berdiskusi denganmu tentang masa depan kita."

Saat aku mengatakan itu, entah kenapa dia memalingkan muka karena malu.

“… Apakah itu berarti kamu ingin menjalin hubungan romantis denganku?”

"Bukan itu. Aku ingin berdiskusi denganmu bagaimana memastikan keamanan rumah ini dan memutuskan bagaimana kita akan bertemu jika kita terpisah."

“Kamu membuatku bingung dengan mengatakannya seperti itu!!!”

Hinata-san berteriak dan mengarahkan ujung pisau dapur yang dia cuci ke arahku, membuatku tanpa sadar mengangkat tanganku.

"Aku membuatmu bingung?"

"Tentu saja. Jika kamu mengatakan 'tentang masa depan kita', bukankah menurutmu itu terdengar seperti sebuah pengakuan?” 

"Kurasa aku mengatakannya dengan benar."

“Senpai, mulai sekarang, saat kamu berbicara dengan seorang gadis tentang masa depan, tolong jangan gunakan kata 'kita'. Para gadis pasti akan salah paham tentangmu.”

"A-aku mengerti."

Setelah menerima tegurannya, dia akhirnya meletakkan pisaunya.

“Kalau begitu mari kita bicara tentang masa depan. Pertama--- Di mana kita akan tidur malam ini?”

“Bukankah lebih baik tidur di kamarku? Lebih baik kita dekat jika terjadi keadaan darurat.”

"Kamu benar."

“Ngomong-ngomong, kamarku kecil, jadi kita akan tidur di tempat tidurku.”

"… Kamu yakin?"

"Aku percaya padamu, Senpai."

“Baiklah, kalau begitu, itu akan menjadi tempat di mana kita akan tidur. Sekarang yang harus kita diskusikan adalah apa yang harus dilakukan jika banyak zombie memasuki rumah saat kita terpisah, bagaimana kita bisa bertemu lagi?"

"Mmm... Kita tidak bisa berkomunikasi lewat ponsel dan jika kita berteriak, zombie-zombie akan menemukan kita."

"Kamu harus memutuskan titik pertemuan jika itu terjadi, tapi... di mana kita akan bertemu?" 

"Kita tidak akan pernah tahu bangunan mana yang aman."

“Aku bisa pergi dan memeriksanya, tapi masalahnya adalah apa yang harus kulakukan padamu, Hinata-san. Berbahaya jika aku membawamu bersamaku dan aku takut meninggalkanmu di sini sendirian."

“Kamu terlalu protektif, Senpai. Kamu tipe laki-laki yang suka pacarnya selalu ada di sisinya, kan?"

"Aku tidak tahu karena aku belum pernah punya pacar sampai sekarang."

"Begitu ya. Ngomong-ngomong, aku tidak suka kamu bersikap terlalu protektif padaku, karna itulah aku tidak akan mencoba menjauh darimu Senpai."

“Aku benar-benar tidak bisa memahamimu, tapi tidak apa-apa lah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita berpisah… jadi jika memungkinkan, aku ingin menghabisi zombie-zombie di ruang tamu jika mereka memasuki rumah agar kamu tetap aman…”

“Bagaimana jika kamu tidak bisa menahan zombie? Aku rasa kamu tidak harus membunuh mereka, tetapi hanya melumpuhkan mereka."

"Kalau dipikir-pikir lagi, jika aku menutup mulut dan mengikat tangan mereka, aku bisa melumpuhkan mereka... tapi zombie-zombie itu sangat kuat. Seberapa kuat tali yang bisa membuat mereka tidak bisa bergerak, ya?"

"Kenapa kamu tidak mencobanya saja? Lagipula, kamu bisa menjadi zombie, kan, Senpai?"

“Ide yang bagus, Hinata-san. Kamu sangat pintar."

Karna itulah, kami memutuskan untuk menguji kekuatan zombie.

Setelah selesai mencuci piring, Hinata-san pergi mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melumpuhkan para zombie.

“Satu-satunya yang aku miliki di rumah adalah tali rami yang kami gunakan untuk taman.”

Setelah menerimanya, aku merasakan bahwa ketebalannya sama dengan kabel cas ponsel, namun saat ditarik, ternyata sangat kuat.

“Jika aku mengikatnya beberapa kali, sepertinya aku bisa mengikat mereka.”

“Kalau begitu, ayo kita uji ketahanannya dengan mengikatmu.”

"Oke. Ikat tanganku."

"Oke."

Aku meletakkan kedua tanganku ke depan dan Hinata-san mengikat tali rami di pergelangan tanganku.

Namun, hanya dengan satu putaran, aku bisa memutuskan talinya dengan kekuatan zombieku. Hal yang sama terjadi ketika Hinata-san memutarnya dua kali.

Tampaknya melumpuhkan zombie sangatlah sulit.

Tapi dengan mengikatnya lima kali aku tak bisa memutuskannya

“Sekarang aku mengerti bahwa zombie bisa dilumpuhkan dengan cara mengikatnya dengan tali. Baiklah, lepaskan ikatanku.”

Mendengar itu, mata Hinata-san berbinar dengan mencurigakan.

"Fufufu, Senpai, kamu tidak bisa melakukan apapun saat kamu seperti ini."

"Kurasa itu adalah ungkapan yang tak seharusnya diucapkan oleh para gadis dengan gembira."

"Bolehkah aku bercanda denganmu?"

"Tentu saja tidak. Kamu itu orang mesum yang dengan senang menjebak Senpainya.”

“Hehehe, bisa jadi aku cabul~ cochi, cochi, cochi~”

Dengan senyuman di wajahnya, Hinata-san meletakkan tangannya di sisi tubuhku dan mulai menggelitikku, tapi dia tidak membuatku tertawa.

“Menjadi zombie membuat kulitmu tak bisa merasakan apapun. Aku sedikit tahu saat kamu menyentuhku, tapi itu tidak menggelitikku."

"Eh? Betapa membosankannya."

"Cepat lepaskan ikatanku."

"Baiklah."

Hinata-san cemberut dan melepaskan ikatanku.

"Ngomong-ngomong, Senpai, apa kamu pernah mengikat seseorang?" 

"Tidak pernah."

“Haruskah kita berlatih sedikit? Ketika saatnya tiba, kita tidak bisa berlama-lama untuk melepaskan diri kita sendiri."

"Berlatih, maksudmu kali ini aku yang mengikatmu?"

"Yup. Aku akan menjadi kelinci percobaanmu, ini, ambil!”

Aku diberi kesempatan untuk mengikat Hinata-san yang sedang tersenyum.

Meskipun aku tak begitu setuju dengan hal ini, memang benar bahwa penting bagi kami untuk berlatih. Jadi, aku mulai dengan mendekatinya untuk mengikat kedua tangannya.

Namun, tepat setelah aku meraih pergelangan tangannya yang ramping, dia melakukan sedikit perlawanan.

"Eh? Kenapa kamu melawan?"

“Jika aku tidak melawan, kita tidak akan bisa berlatih. Para zombie akan menggila.”

"Nasuk akal juga…"

Kami melanjutkan latihan setelah semuanya menjadi jelas. Kali ini aku menggenggam erat pergelangan tangan Hinata-san agar dia tidak bisa kabur.

“Kyaa! Mesum! Tolong! Seseorang tolong aku!" 

"Zombie tidak bisa bicara, jadi berhentilah berteriak."

"Benar juga. Kalau begitu, aku akan melawan menggunakan kekuatanku.”

"Terimakasih banyak."

"Mmm! Mmmmm!”

Fufufu, Tidak ada gunanya melawan. Kamu tidak akan bisa melarikan diri tak peduli seberapa banyak kekuatan yang kamu miliki."

Sambil menggoda, aku menyatukan pergelangan tangannya dan berhasil mengikatnya.

“Haa… Kamu menangkapku…”

Setelah kehilangan kebebasan untuk menggerakkan tangannya, dia menatap wajahku.

Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi… Aku jatuh ke dalam fantasi mengendalikan Hinata-san.



"... Nah, sekarang aku akan mengikat kakimu."

"Tunggu sebentar, Senpai. Tatapanmu terlihat menjijikkan. Kamu tidak memikirkan yang aneh-aneh, kan?"

"Tidak sama sekali. Saat ini aku hanya memikirkan cara menjunakkan zombie dengan efektif."

"Beneran? Entah kenapa aku merasa ada hobi aneh yang muncul dalam dirimu."

"Jangan khawatir. Tidak mungkin aku akan membangkitkan hobi aneh mengikat Kouhai untuk kesenangan."

“Okey, tapi…”

Aku melihat pergelangan kaki Hinata-san, yang masih menatapku dengan curiga, dan menyadari bahwa dia mungkin jatuh dan melukai dirinya sendiri jika dia menolak diikat karena kedua tangannya terikat.

"Kurasa sebaiknya kita tidak berlatih mengikat pergelangan kaki."

"Tapi mungkin ada situasi di mana kita dengan pasti harus mengikat kaki zombie selain tangan, kan?"

"Yaaa, begitulah. Langkahnya adalah mengikat kedua tangannya terlebih dulu, lalu menjatuhkannya ke tanah dan mengikat kakinya---”

"Senpai, apa kamu berpikir ingin menjatuhkanku ke tanah?"

"Tidak. Akan berbahaya jika aku menjatuhkanmu ke tanah. Itu harus di tempat tidur."

"Apa kamu mau mejatuhkanku ke tempat tidur dan mengikat tangan dan kakiku?" 

"Itu bukan sesuatu yang kamu pikirkan."

“Bagaimana kalau kamu melakukan sesuatu itu? Kamu bisa menggendongku seperti seorang putri, membaringkanku dengan hati-hati di sofa dan mengikat kakiku.”

“Tapi jika kamu melakukan perlawanan saat aku menggendongmu, kamu bisa jatuh.”

"Aku tidak akan melawan. Aku akan diam."

"Jika kamu melakukannya, itu tidak akan menjadi latihan bagaimana cara melumpuhkan zombie lagi, kan?"

"Aku tak peduli tentang itu. Aku hanya ingin digendong seperti seorang putri."

"Aku tidak memahami maksudmu…"

“Jangan terlalu memikirkannya, gendong saja aku dan bawa aku ke sofa secepatnya. Selain itu, jika memungkinkan, aku ingin kamu berhenti menjadi zombie dan melakukan apa yang aku minta darimu dalam wujud manusiamu."

“Mmm… Apa aku bisa menggendongmu tanpa menggunakan kekuatan zombie---?”

"Apa kamu mau bilang aku berat?"

"Jangan bikin ribut. Aku hanya tak sepenuhnya percaya pada kekuatan manusiaku."

"Berhenti bicara dan coba gendong aku sekarang juga."

Hinata-san cemberut dan memberiku perintah, jadi aku memutuskan untuk patuh dan mengikuti instruksinya.

Tidak pernah dalam hidupku aku memiliki kesempatan untuk menggendong seorang gadis secantik dia sebagai seorang putri ...

Jadi aku kembali ke wujud manusiaku, meletakkan tangan kiriku di punggung Hinata-san dan tangan kananku di bagian belakang lututnya, lalu menggendongnya dengan satu gerakan.

Wajah cantiknya mendekat ke arahku. Kami cukup dekat untuk berciuman kapan saja.

Tepat setelah mata kami bertemu, kami membuang muka di saat yang bersamaan. Itu sangat memalukan bagi kami berdua.

Sambil menghindari menatapnya, aku dengan hati-hati membawanya ke sofa untuk mencegahnya jatuh ke lantai.

Setiap kali aku berjalan, aku bisa merasakan kehangatan dan kulit Hinata-san. Dari dadanya hingga pahanya melalui baju rumahnya yang tipis. Aku terkesan mengetahui bahwa gadis-gadis itu tidak hanya lembut di dada mereka tetapi juga di seluruh tubuh mereka.

Jika kami terus sedekat ini, dia mungkin akan melakukan tindakan sembrono, jadi aku segera membaringkannya di sofa.

“Hehehe… jantungku berdebar kencang.”

Sambil berbaring di sofa, Hinata-san mengatakan itu dengan senyum di wajahnya. Rupanya, motif tersembunyi orang ini tidak kotor. Kurasa aku seharusnya lebih menikmati sensasi manis itu sedikit lebih banyak…

“Ngomong-ngomong, apa aku berat bagimu…?”

“Aku belum pernah menggendong seseorang sebelumnya, jadi aku tidak tahu.”

"Begitu. Kalau begitu, tolong pikirkan bahwa tubuhku sangat ringan Senpai."

"O-oke."

Sejujurnya, aku khawatir payudaranya akan bersentuhan dengan tubuhku sehingga aku bahkan tak peduli dengan berat badannya.

Aku hampir lupa tujuan dari semua ini. Berlatih cara mengikat zombie.

Aku meraih kaki Hinata-san dan dengan cepat mengikatnya dengan tali.

Aku tidak tahu, tapi aku merasa sudah lebih baik dalam hal ini. 

"Jika aku mengulanginya lagi, aku rasa aku akan terbiasa mengikat tangan dan kaki dengan tali."

"Apa kamu ingin terus berlatih denganku?"

"Itu pertanyaan yang agak rumit, tapi jawabannya adalah ya."

"Oke... kalau begitu, tolong lepaskan ikatanku."

"Baiklah."

Aku mengikatnya begitu erat sehingga aku harus memotong tali dengan gunting untuk melepaskannya. Aku menggunakan lebih dari satu meter lati untuk latihan, jadi mungkin aku tak boleh berlebihan dalam hal ini---

Bamm!!!

Tiba-tiba, terdengar suara dari pintu masuk utama rumah. Kedengarannya seperti ada sesuatu yang menghantam pintu.

"... Senpai."

“Itu mungkin zombie. Aku akan pergi melihat."

Aku pergi sendirian ke pintu masuk dan melihat melalui lubang intip di pintu untuk melihat apa yang terjadi di luar, tetapi tidak ada seorang pun. 

Apakah dia pergi ke tempat lain atau karena sudut pandang lubang intip sehingga aku tidak dapat melihatnya?

Aku ingin tahu apa atau siapa yang menghasilkan suara itu, tapi akan merepotkan jika aku membuka pintu sembarangan karena zombie mungkin bisa masuk rumah---

Craaang!!!

Saat aku memutar otak di depan pintu, aku mendengar suara pecahan kaca di ruangan tempat Hinata-san berada.

“Kyaa!!!”

Hampir di saat yang bersamaan aku mendengar suara itu, dia berteriak sangat keras hingga membuatku panik.

Saat aku berlari kembali ke ruang tamu, jendela besar yang menghadap ke taman pecah dan zombie berjas masuk.

Untungnya, di tengah-tengah kejadian itu, Hinata-san berada di tempat yang jauh dari jendela dan tidak terluka.

Dan begitu aku sampai di depan zombie itu, dia di belakangku bergumam ketakutan.

"… Pa… pa."

Zombie itu adalah ayah Hinata-san.

"Uuuu... aagghhh..."

Ayahnya menatap Hinata-san dengan mata kusam dan mengeluarkan erangan yang tak bisa dimengerti.

Meskipun tenggelam dalam keputusasaan yang mendalam, aku sudah siap untuk bertarung.

--- Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa ayahnya ingin menyerang kami.

Tapi sepertinya dia tidak lagi memiliki sisi kemanusiaan yang tersisa...

"Papa…"

Hinata-san menggumamkan itu dengan sangat terkejut saat dia melangkah lebih dekat ke ayahnya.

Sementara itu, dia mengancam dengan memperlihatkan gusinya sembari air liurnya menetes dari sela-sela giginya yang tajam.

Dia tidak mendekati kami. Seluruh tubuhnya gemetar saat dia menatap Hinata-san.

Entah bagaimana, dia ragu-ragu untuk menyerang.

“Mungkin ayahmu masih memiliki sedikit kemanusiaan, bukankah begitu…? Dia berjuang melawan naluri zombinya karena dia tidak ingin menyerangmu, Hinata-san.”

Jas dan sepatu kulit yang dikenakan ayahnya berlumuran lumpur. Dia pasti kembali ke rumah karena dia mengkhawatirkan keluarganya, tapi dalam perjalanan ke sini dia tergigit zombie---

"... Terlepas dari keadaannya saat ini, bolehkah aku memeluk papaku, Senpai?" 

Dengan suara berlinang air mata, dia menanyakan hal itu padaku sambil menatap ayahnya.

“Sepertinya jika aku berbicara dengannya, dia tidak akan memahamiku, jadi aku ingin menyampaikan perasaanku padanya melalui kehangatanku. Aku ingin memberitahunya bahwa aku baik-baik saja."

“… Sepertinya dia sedang melawan sedikit sisi kemanusiaan yang tersisa melawan naluri zombienya. Kita tidak tahu bagaimana dia akan bereaksi jika kamu lebih dekat dengannya."

"Kumohon. Aku tidak bisa membiarkan papaku terus seperti ini."

“… Oke, tapi berhati-hatilah.”

"Ya…!"

Hinata-san menyeka air matanya dan mengulurkan tangannya di depan ayahnya dengan ekspresi penuh tekan di wajahnya.

Terlepas dari situasinya, dia mendekatinya, meletakkan tangannya di belakang punggung ayahnya, dan dengan malu-malu memeluknya.

"--- Uarggggg”

Di saat tubuh mereka sepenguhnya bersentuhan, mata ayahnya berkaca-kaca dan dia mencoba menggigit Hinata-san.

Jadi, aku segera meletakkan lengan kananku di depan wajah ayahnya dan membiarkannya menggigitku.

Giginya yang tajam menusuk lenganku menyebabkan darah mengalir deras. Jika aku menurunkan kekuatanku sedikit saja, aku merasa akan hancur berkeping-keping dengan gigitannya.

"Senpai!!"

"Jangan khawatirkan aku. Sebaliknya, manfaatkan momen ini untuk berbicara dengan ayahmu."

"Ya…"

Setelah itu, Hinata-san memeluk erat ayahnya.

"Aku baik-baik saja, pa. Senpai telah melindungiku sampai sekarang."

“… Uagghh…”

“Kamu pulang karena mengkhawatirkanku, kan? Terimakasih banyak pa, tapi mulai sekarang, Senpaiku akan melindungiku, jadi kamu tidak perlu khawatir lagi… aku mencintaimu, pa.”

Air mata menggenang di matanya dan jatuh di pipinya saat dia menggumamkan kata-kata itu. Saat itu, kekuatan gigitan ayahnya berkurang.

Dan dari mulutnya keluar kata-kata yang seakan-akan menghilang setiap saat.

“…Ha…ru…ka…”

Tepat setelah itu, tubuh ayahnya kehilangan kekuatan dan langsung jatuh ke lantai.

"Papa…!?"

Hinata-san berbicara kepadanya dengan takut, tetapi tidak ada respon dari ayahnya.

Matanya terpejam dan tidak bergerak.

  

Setelah aku memeriksa tubuh ayahnya, yang tergeletak di lantai, aku mengetahui bahwa jantungnya telah berhenti, suhu tubuhnya tidak ada, dan tidak bernapas.

Namun, karena kulitnya masih abu-abu, dia belum tentu mati.

Setelah berdiskusi, kami memutuskan kalau ayahnya akan tidur di kamar lantai satu.

Kami tidak tahu kapan dia akan bangun dan mungkin ketika dia bangun dia akan berubah menjadi zombie sungguhan, tapi meski begitu, aku ragu untuk melumpuhkannya, jadi aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku untuk memperhatikannya. gerakannya.

Setelah memastikan lagi bahwa ayahnya tidak merespons suara dan getaran, kami meninggalkan kamar. Segera setelah kami menutup pintu, kaki Hinata-san mulai gemetar di depanku. 

"Kamu baik-baik saja, Hinata-san?"

"Maaf senpai... aku hanya sedikit lelah."

“Itu wajar, karena jika ayahku menjadi zombie…”

"Aku tahu... tapi itu bukan berarti dia sudah sepenuhnya berubah menjadi zombie, kan...?"

Dia menatapku dengan mata yang seolah meminta bantuanku.

"Mungkin suatu hari nanti dia akan bangun dan berbicara sepertimu, Senpai..."

"... Ya."

Bahkan, hal itu sangat mungkin terjadi. Jelas ayahnya berbeda dari zombie lainnya.

“Jangan pesimis, oke? Papa suka bersikap positif, jadi jika kita menikmati hidup, dia bisa mendengar tawa kita dan bangun…”

“…………”

Aku tidak ingin memberinya terlalu banyak harapan, namun aku memutuskan untuk berbagi hipotesisku dengannya.

"Beberapa saat yang lalu, saat kita sedang berjalan melewati kawasan pemukiman, ada zombie yang melompat dari teras kondominium itu, kan?"

“--- Eh? … Ah, iya.”

“Ada zombie-zombie lain di teras. Beberapa dari mereka hanya melihat ke arah kita dan tidak melompat. Jadi, kemungkinan, setiap zombie bisa bertindak secara berbeda tergantung tujuannya. Jika ada zombie yang ingin menyerang manusia dengan segala cara, akan ada juga yang tidak ingin. Ayahmu pasti salah satu dari yang terakhir, bukan? Meskipun dia kehilangan kendali, sepertinya dia memiliki tujuan yang jauh lebih penting daripada menyerang manusia.”

“Tujuan yang jauh lebih penting…”

“Mungkin, saat ayahmu menjadi zombie, dia pasti berharap: ‘Aku ingin melihat keluargaku'. Jadi dengan memiliki tujuan yang sangat penting, dia membedakan dirinya dari zombie biasa dan mungkin, karena mencapai tujuannya, ayahmu merasa puas dan berhenti bergerak.”

"Begitu... Kuharap setelah zombie mencapai tujuan mereka, mereka akan mendapatkan kembali kemanusiaan mereka sepertimu, Senpai..."

Hinata-san menggumamkan itu tanpa paksaan. Bisa dibilang dia terlalu lelah.

"Bukankah sebaiknya kamu istirahat, Hinata-san?"

"Tapi kalau kita tidak membersihkan pecahan kaca yang berserakan di ruangan ini, itu bisa berbahaya..."

“Sayangnya, jika zombie memecahkan kaca dan masuk ke dalam rumah, kita tidak akan bisa menetap di sini. Kita harus pindah ke tempat yang lebih aman.”

“Aku mengerti… Kalau begitu kita harus cepat.”

“Tidak, ini sudah hampir gelap dan akan berbahaya jika bergerak dalam kegelapan. Kita akan melakukannya besok pagi, istirahatlah sebanyak yang kamu bisa Hinata-san.”

"Terimakasih banyak... oke, aku akan percaya dengan kata-katamu, tapi bagaimana denganmu, Senpai...?"

"Aku baik-baik saja. Mungkin karena aku sudah menjadi zombie, aku tidak merasa lelah. Aku akan menjagamu dari lantai satu, jadi istirahatlah seperti bayi."

"Baiklah... aku akan istirahat dulu, tapi jika terjadi sesuatu, jangan ragu untuk membangunkanku."

Dia mengatakan itu dan dengan sedikit lega dia perlahan menaiki tangga.

Setelah melihat bahwa dia telah pergi untuk beristirahat, aku pergi ke ruang tamu, menyingkirkan pecahan kaca, memotong tali rami secukupnya dan memutuskan untuk menjaga rumah.

  

5 jam telah berlalu. Saat ini sudah jam 11 malam.

Rumah itu gelap, ketika Hinata-san bangun dan menuruni tangga karena ketakutan, jadi aku bangkit dari sofa dan pergi menemuinya.

“… Fakta bahwa kamu ada di rumahku berarti apa yang terjadi pagi ini bukanlah mimpi.”

Hinata-san menggumamkan kata-kata itu dengan ekspresi rumit di wajahnya.

“Itu benar. Sayangnya dunia diserang zombie. Itulah kenyataan pahit."

“Entah kenapa, aku teringat hari kematian Onii-chan. Tak peduli seberapa banyak mereka menjelaskannya kepadaku, aku tidak percaya dia sudah meninggal. Aku pingsan dan ketika aku bangun keesokan paginya aku sudah tenang, tapi Onii-chan sudah meninggalkan dunia ini dan aku tidak punya pilihan selain menerima kenyataan itu… Maaf sudah memberitahumu sesuatu yang sangat mengganggu, Senpai. Kamu digigit zombie, kamu belum bisa melihat keluargamu sampai sekarang dan di sini aku menceritakan tentang diriku…”

"Jangan khawatir, apa tidurmu nyenyak?"

“Ya, dan itu semua berkat kamu. Apa kamu tidak mau istirahat, Senpai? Apa kamu tidak lelah jika kamu tidak istirahat?" 

"Sekarang setelah kamu mengatakannya, aku mulai merasa sedikit mengantuk."

"Kalau begitu istirahatlah. Aku sudah bangun, jadi aku akan menjaga rumah dan jika terjadi sesuatu aku akan membangunkanmu."

Dia mengatakan itu sambil mengangkat tangannya untuk memamerkan otot bisepnya. Senang mendengarnya merasa sedikit lebih baik.

"Yah, jika kamu berjanji akan melakukan itu, aku akan istirahat."

"Ya. Ayo, ikuti aku."

Saat aku mengikutinya, dia membawaku ke kamarnya.

Ruangan itu gelap, itu hanya diterangi cahaya bulan.

"Silakan tidur di tempat tidurku."

"… Kamu yakin?"

"Huh? Apa kamu punya masalah dengan itu?"

“Yahh, kan aku laki-laki dan kamu perempuan dan…”

“Tapi aku tidak punya tempat tidur lain untukmu beristirahat, Senpai. Papa sedang tidur di kamar lantai satu dan aku sudah lama tidak menggunakan tempat tidur Onii-chan, ditambah lagi aku tidak suka jika ada orang lain selain dia yang menggunakannya…”

“Baiklah, kuharap ini tidak mengganggumu, Hinata-san.”

“………? Apa kamu membenciku, Senpai?"

"Bukan gitu. Dengar, wajar kalau perempuan tidak ingin orang lain menggunakan tempat tidurnya, kan?"

"Itu benar, tapi tidak ada masalah jika kamu menggunakannya, Senpai." 

Dia mengatakannya dengan senyum yang jelas. Sepertinya dia tidak keberatan kalau aku tidur di tempat tidurnya.

"Sana, berbaring dan istirahat."

Karena aku mendapat izinnya, aku berbaring di tempat tidurnya.

Dari bantal dan seprai, aroma manis Hinata-san tercium. Anehnya aku gugup...

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti memikirkan hal-hal seperti itu dan menutup mata.

Hanya suara nafas kami yang terdengar di tengah kegelapan. Jika aku terus seperti ini, aku mungkin tertidur kapan saja.

… Tapi saat aku terdiam, meskipun aku tidak menyukainya, aku mengingat hal-hal yang terjadi hari ini. Semua teman sekelasku digigit zombie dan sesampainya di rumah, bahkan ibu dan kakek nenekku pun mengalami hal yang sama... Aku tidak tahu bagaimana keadaan ayah dan kerabatku yang lain, tapi lebih baik aku tidak terlalu berharap... karena akupun tidak tahu kapan aku akan benar-benar berubah menjadi zombie…

Karena tak bisa menahan rasa takut, aku membuka mataku dan bertemu mata Hinata-san.

"Oh, maaf. Apa kamu sulit tidur karena mengetahui bahwa kamu sedang diawasi?"

“…Tidak, bukan itu…”

Hinata-san, mengira aku tak tahu harus berkata apa.

"Aku memahamimu. Aku juga tidak bisa berhenti memikirkan keluargaku..."

"... Ya. Meskipun aku tahu tidak ada gunanya memikirkannya..."

Saat aku mengatakan itu sambil melihat ke langit-langit, dia dengan malu-malu menanyakanku sebuah pertanyaan.

"... Mmm, Senpai, apa aku menjadi beban bagimu?"

"… Eh?"

“Sebenarnya, kamu ingin pergi dan melihat keluargamu, kan? Jika kamu sendirian, kamu bisa pergi menemui mereka tanpa masalah, tapi karena kamu harus melindungiku, kamu tidak bisa bertindak bebas---”

"Kamu salah!"

Aku secara naluriah duduk di tempat tidur dan menyangkalnya dengan sekuat tenaga.

“Memang benar aku merasa khawatir pada mereka, tapi berkatmu bersamaku, aku aman. Aku ingin kamu memahami bahwa kamu bukan beban bagiku. Pertama-tama, berkatmu aku belum sepenuhnya berubah menjadi zombie. Saat aku hampir menjadi salah satu dari mereka, aku berpikir keras: 'Aku harus melindungi Hinata-san'. Jadi… tolong jangan pernah berpikir bahwa kamu adalah beban bagiku.”

"Terimakasih banyak... Senpai..."

Hinata-san merasa lega dan matanya berkaca-kaca.

“Jangan memikirkan hal-hal negatif. Aku tahu sulit untuk tidak merasa cemas di dunia seperti ini. Namun, jika kamu tetap memikirkan sesuatu, lebih baik hal-hal yang membantu kita bertahan hidup. Misalnya, apa yang harus kita lakukan besok pagi? Kamu bisa mulai dengan itu."

“Kamu benar, aku akan mengurusnya… Mmm, apa yang akan aku masak besok? Di kulkas masih ada sayuran."

"Nah begitu. Setelah kita makan, aku harus pergi mencari stok makanan lebih banyak."

"Aku tidak bisa menemanimu, kan?"

“Ya, itu yang terbaik… Aku ingin kamu menungguku di tempat yang aman, tapi di mana…?”

"Aku rasa tidak ada rumah lain yang seperti ini, kan?"

“Itu benar. Setidaknya di dalam sebuah bangunan yang dikelilingi oleh tembok atau pagar besar.”

“Bagaimana kalau di asrama Sekolah Perempuan? Aku pergi ke tempat itu hanya sekali, tapi seingatku tempat itu dikelilingi oleh pagar besar yang dipasang untuk mencegah orang yang mencurigakan masuk.”

"Oke, ayo pergi ke sana dulu."

“Apakah ada hal lain yang harus kita lakukan selain itu?”

“Aku sedang berpikir tentang cara melawan zombie dan aku sampai pada kesimpulan bahwa kita membutuhkan peralatan pertahanan. Untuk berjaga-jaga, aku ingin menyiapkan baju besi untukmu, Hinata-san---”

"Tapi baju besi itu berat, dan kurasa aku tidak bisa kabur jika memakainya."

"Iya juga. Lalu bagaimana kalau kamu memakai sesuatu seperti sepasang sarung tangan?"

"Sarung tangan?"

“Itu adalah pelindung logam yang menutupi dari ujung jari hingga siku. Jika lenganmu terlindungi, kamu akan mampu memukul mundur zombie jika mereka menyerangmu, kan?"

“Aku mengerti, tapi di mana kita bisa mendapatkannya?”

"… Tidak tahu."

Karena aku tidak pernah membutuhkannya, aku sama sekali tidak tahu di mana mendapatkannya. Aku bahkan tidak bisa mencari toko di ponselku...

“Entah bagaimana caranya, kita akan mendapatkannya.”

Berbicara dengan Hinata-san seperti ini, aku merasa semua perasaan negatif yang menekan dadaku perlahan-lahan hilang.

Tak peduli seberapa besar kami menyesali situasi saat ini, dunia tidak akan berbaik hati kepada kami, jadi kami harus berjuang dan bertahan.

… Yah, karena aku zombie, aku tidak tahu apakah aku masih hidup. 

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset