Aku sempat terhanyut dalam kesedihan
ini, tapi aku tak bisa tetap seperti ini selamanya.
"Ayo kita siapkan baju ganti
dan pergi ke kamar mandi, oke?"
Mengatakan itu, Hinata-san
mengeluarkan kaos lengan panjang sederhana dan celana panjang dari lemari baju
ayahnya dan menyerahkannya kepadaku.
Setelah itu, dia segera mengambil
baju ganti dari kamarnya dan turun ke kamar mandi.
Lampu di kamar mandi menyala dan
airnya dipanaskan dengan baik. Tampaknya fasilitas seperti pembangkit
listrik secara teori, masih berfungsi.
"Apa kamu mau mandi dulu,
Senpai?"
"Itu tidak masalah bagiku, Hinata-san,
tapi bagaimana kalau ada zombie yang muncul saat aku sedang mandi?"
"Itu bisa terjadi... Zombie
bisa masuk ke dalam rumah dan kamu mungkin tidak menyadarinya saat sedang mandi."
“Ditambah lagi, zombie yang
mendengar suara pancuran mungkin akan mendekati kita melalui jendela kamar
mandi.”
"Aku tahu kalau mandi itu
berisiko."
“Akan lebih baik jika kita berdekatan
saat salah satu dari kita sedang mandi.”
“Agak memalukan, tapi mau
bagaimana lagi. Namun, saat kamu bilang 'dekat', seberapa dekat yang kamu
maksud?”
“Menunggu di lorong? Aku rasa
yang ideal adalah menunggu di ruang ganti.”
“Kalau begitu di ruang
ganti. Jika kamu menutup pintu ruang ganti dan pintu kamar mandi, kamu
hampir tidak akan mendengar apa pun.”
“Jika kamu setuju dengan hal itu,
Hinata-san, maka…”
"Aku tidak nyaman dengan hal
itu, tetapi aku tidak bisa mengeluh karena situasinya... Nah sekarang,
berbaliklah selagi aku bersiap-siap untuk mandi."
“Apa kamu lebih suka jika mataku
ditutup?”
“Kamu tidak perlu
melakukannya. Aku percaya padamu Senpai, selain itu, jika kamu melakukan
itu, zombie mungkin akan datang dan menyerang kita, jadi jangan."
"Aku mengerti."
Aku berbalik melihat ke lorong segera
setelah aku berpikir sesuatu yang luar biasa telah terjadi.
"... Baiklah, aku akan mulai
melepas pakaianku."
Setelah mengatakan itu, aku
mendengar suara pakaiannya di belakangku.
Aku menatap ke dinding lorong,
mati-matian menekan keinginan untuk melihatnya.
"Sekarang aku akan melepas
celana dalamku, jadi tolong jangan berbalik."
"A-aku tahu."
“… Aku baru saja melepas braku.”
"Tolong jangan katakan apa
yang kamu lakukan."
“… Aku melepas celana
dalamku. Jika kamu berbalik sekarang, kamu akan bisa melihatku telanjang.”
"Bukankah sudah kubilang
untuk tidak memberitahuku apa yang kamu lakukan?"
"Menyenangkan bisa menggodamu,
Senpai."
“Kejamnya. Kamu tidak cemas
kalau aku akan melihatmu telanjang, kan?"
"Fufufu, Senpai,
kamu terlihat gugup. Apa kamu benar-benar gelisah karena aku telanjang?"
"... Jika aku bilang padamu
bahwa aku ingin tahu melihatmu telanjang, apa kamu akan membiarkanku
melakukannya?"
"Tentu saja tidak."
“Kalau begitu, aku tidak akan penasaran.”
“Ehhh~? Tapi bukankah kamu
sangat penasaran untuk melihat dadaku~?”
"Kupikir aku akan mati, jadi
itulah sebabnya aku memintamu untuk menunjukkannya kepadaku..."
"Jadi, kamu benar-benar
ingin melihat mereka."
"No comment."
“Mmm… Ngomong-ngomong, aku hanya
ingin tahu apakah---”
“Apa kamu benar-benar berpikir
kita berada dalam situasi untuk melakukan obrolan sebentar!?”
“Ini tidak akan memakan waktu
lama, jadi tenanglah. Kamu benar-benar imut, Senpai."
"Kamu sangat
menyebalkan. Sudahlah, cepat katakan."
"Senpai, karena kamu bisa
berubah dari zombie menjadi manusia, bagaimaina soal makanan?"
"... Sekarang setelah kamu mengatakannya,
aku lapar."
"Kalau begitu aku akan
memasak untukmu nanti. Ini seperti berkencan di rumah. Menyenangkan
sekali♪!”
“Tak peduli bagaimana kamu ingin
melihatnya, ini bukan waktunya untuk bersenang-senang. Dan juga, ini bukan
waktunya untuk mengobrol saat kamu telanjang bulat.”
"Aku tahu. Senpai, kamu
pikir aku benar-benar telanjang bulat, kan?"
"Kamu bercanda!?"
“Senpai mesum. Aku
memutuskan untuk melepas pakaianku setelah memastikan apakah kamu akan berbalik
atau tidak. Sejujurnya, aku masih mengenakan seragamku."
"… Baguslah. Aku mulai khawatir
kalau kamu tidak tahu malu, Hinata-san."
“Aku senang sudah membereskan
kesalahpahaman ini. Baiklah, sekarang aku akan benar-benar melepas
pakaianku."
Tepat setelah mengatakan itu, aku
mendengar suara pakaiannya lagi.
Kalau dipikir-pikir, itu membuat
suara keras yang tidak normal. Kali ini, suara pakaiannya cukup pelan,
yang membuatku percaya bahwa dia benar-benar telanjang.
Memikirkan hal itu, Hinata-san tampaknya
berhenti.
"… Ini
berbahaya. Terlalu memalukan melepas celana dalamku di belakangmu,
Senpai."
"Tolong berhenti mengatakan
apa yang kamu lakukan karena kamu membuatku sulit untuk tidak bereaksi."
"Setelah dipikir-pikir,
tidak ada aturan yang mengatakan aku harus melepas celana dalamku di ruang
ganti, jadi aku akan melepasnya di kamar mandi."
"Itu ide bagus."
"Ngomong-ngomong, sulit
bagimu untuk mempertahankan posisi ini sampai aku keluar dari kamar mandi, bukan?"
"Itu benar."
“Nah silakan, buat dirimu nyaman
dan bersantai tanpa harus meninggalkan ruang ganti.”
Mengatakan itu, dia pergi ke
kamar mandi dan menutup pintu kaca buram.
Bahkan jika dia menyuruhku untuk
santai, tidak mungkin hatiku tenang dalam situasi ini...
Dengan diam-diam melihat ke
belakangku, entah bagaimana, aku bisa mengerti bahwa Hinata-san telah melepas
pakaian dalamnya di kamar mandi dan sekarang telanjang bulat.
Ini… erotis!!!
Kaca buram itu, adalah bahan
impian, itu memiliki kekuatan magis untuk menarik dan mempertahankan pandangan
pria. Secara kasar aku bisa mengetahui postur seperti apa Hinata-san di
kamar mandi saat ini, dan aku memiliki ide romantis bahwa ada bagian kaca di
mana aku dapat melihat dengan jelas bagian dalam kamar mandi.
Sungguh menakjubkan melihat
seseorang mandi melalui kaca seperti itu bukanlah suatu kejahatan.
Sial, aku tak bisa berhenti
mengingat apa yang terjadi di tepi sungai. Aku merasa bersalah, tapi aku tak
bisa melupakan payudaranya.
Pada akhirnya, sekitar 5 menit terlah
berlalu, aku terus membayangkan Hinata-san mandi telanjang di balik pintu
kaca. Maaf, tapi kurasa beginilah sifat laki-laki.
Tiba-tiba, pintu terbuka sedikit
dan aku berbalik dengan tergesa-gesa.
“Senpai. Aku ingin keluar
dari kamar mandi sebentar, bisakah kamu berbalik?"
“Aku tidak melihat lagi jadi
jangan ragu untuk keluar dari kamar mandi."
“Jika kamu mengatakan 'Aku tidak
melihat lagi' itu berarti dari tadi kamu sudah melihatku?”
“Jangan tunjukkan instingmu yang
tajam.”
"Senpai cabul. Apa kamu
masih ingat apa yang terjadi di tepi sungai?"
"… Maaf."
"Kamu tidak perlu meminta
maaf. Keingintahuanmu untuk melihatku telanjang adalah bukti bahwa kamu
belum kehilangan kemanusiaanmu."
“Kamu sangat toleran… Namun, aku
rasa satu-satunya orang yang tidak keberatan mengintip kamar mandi dalam
situasi ini adalah para pembunuh yang kehilangan kesopanan mereka di usia yang
sangat muda, jadi kumohon maafkan aku.”
"Begitu... Senpai, tolong
lihat aku."
".........?"
Saat aku berbalik setelah
menerima permintaan aneh itu, aku melihat sesuatu yang mengejutkan.
Hinata-san telah membuka pintu
kamar mandi sedikit dan wajah serta bahu kanannya terlihat sepenuhnya.
Di balik kaca buram terdapat
tubuh Hinata-san yang telanjang bulat … Siluet dari leher ke bawah tampak sangat
jelas.
"... Kamu tidak bisa
melihatnya, kan?"
Hinata-san menatapku cemas dengan
wajahnya yang memerah.
“Jangan khawatir, aku hanya bisa
melihat sesuatu yang buram.”
Aku melihat ke atas dan ke bawah
beberapa kali, namun aku tidak tahu apa-apa tentang informasi yang paling
penting dari semua ini.
Meskipun menurutku aku bisa
menebaknya...
"Hinata-san, apa kamu
memakai pakaian dalam...?"
Kecuali celana dalamnya berwarna
sama dengan kulitnya, aku tidak bisa menemukan penjelasan lain untuk ini.
Aku tidak melihat tali branya...
"Aku lupa membawa handuk,
jadi... sekarang aku benar-benar telanjang..."
"A-aku mengerti…"
“Aku sangat malu hingga aku bisa
mati kerena seseorang melihatku telanjang melalui pintu kaca ini. Senpai,
jangan berani-berani mendekat, oke?"
“Tentu saja tidak akan.”
Aku bahkan tidak memiliki
keberanian untuk membuka pintu untuk keluar dari sini mengetahui bahwa dia
benar-benar telanjang.
Aku rasa aku tidak bisa menang
melawan Hinata-san bahkan jika aku mempertaruhkan semua keberanianku.
"Ngomong-ngomong, Senpai,
bisakah kamu membawakanku handuk dari mesin cuci?"
"Te-tentu."
"Jika kamu mencoba mendekatiku
saat kamu membawakanku handuk, aku akan membunuhmu."
"Aku akan mengendalikan
diriku."
Dengan punggung menghadap pintu
kamar mandi, aku mengulurkan handuk dengan tangan kananku.
Setelah meraih handuk, Hinata-san
segera menutup pintu kamar mandi dan mulai mengeringkan seluruh tubuhnya, lalu
berpakaian. Melihatnya, aku berpikir pasti sulit baginya untuk mengenakan
bra jika pengaitnya ada di belakang.
Akhirnya, pintu kamar mandi
terbuka dan Hinata-san melangkah keluar sambil mengeringkan rambut
basahnya. Dia kini mengenakan pakaian kasual, yang terdiri dari kaos
lengan pendek dan celana pendek.
Seragam sekolahnya memenag imut,
tetapi pakaian rumahnya sangatlah indah.
“Yah, mulai sekarang, setiap kali
salah satu dari kita mandi, yang lain harus saling dekat.”
"Itu benar."
Dunia telah menjadi tempat yang
menakjubkan.
“Ngomong-ngomong, bukankah kamu
merasa tak nyaman mengetahui bahwa aku berada di dekatmu saat kamu sedang
mandi?”
"Tentu saja, tapi aku merasa
bisa sedikit lebih santai setelah apa yang terjadi di tepi sungai."
"A-aku mengerti…"
"Baiklah, sekarang giliranmu
masuk ke kamar mandi. Kamu bisa melepas pakaianmu tanpa khawatir karena
aku tidak akan melihatmu.”
Dia mengatakannya dengan senyum
di wajahnya.
"... Kamu akan mencoba untuk
berbalik di waktu yang tepat, kan?"
"Eh? Bagaimana kamu
tahu?”
"Sedikit demi sedikit aku mulai
mengenalmu, Hinata-san."
"Tolong
hentikan. Senpai, kamu melihat dada telanjangku di tepi sungai, jadi dengan
mempertimbangkan prinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi, bukankah adil
bagiku untuk melihatmu telanjang?"
“… Apa kamu ingin melihatku telanjang?”
"Aku bisa melakukannya?"
“Apa bisa gadis Jepang sepertimu
melakukannya?”
Hinata-san menatapku dari atas ke
bawah.
"Untuk sekarang, jangan melihatku
seperti itu."
Setelah mandi dan berganti
pakaian, aku pergi ke dapur dan melihat Hinata-san sedang memasak.
"Aku tidak pandai memasak,
jadi jangan berharap terlalu banyak."
Mengenakan celemek, Hinata-san
membuka kulkas dan mulai memikirkan apa yang bisa dia masak dengan bahan-bahan yang
ada di ujung jarinya.
"Ada yang bisa aku
bantu?"
“Bantu aku mengupas
wortel. Aku mau membuat daging dan kentang."
Mengatakan itu, dia memberiku
wortel yang sudah dicuci dan alat pengupas.
“Saat aku memasak, aku selalu
mencari resep di Tablet, karena aku bingung dengan jumlah bumbu yang harus aku
gunakan… Maaf jika tidak sesuai dengan keinginanmu, oke?”
"Kenapa kamu meminta
maaf? Sebaliknya, menurutku sungguh menakjubkan bahwa kamu hafal seluruh
proses memasak tanpa melihat resep atau video apapun. Apa kamu biasanya sering
memasak?”
"Yaaa, begitulah. Aku pada
dasarnya membuat makan siangku setiap hari.”
“Hebatnya. Yah, karena aku
tidak tahu cara memasak, aku akan melakukan yang terbaik untuk tidak
mengacaukannya."
"Hehehe. Ini pertama
kalinya aku memasak dengan orang lain selain ibuku. Aku berpikir ini akan
menyenangkan. Ini akan menjadi kenangan pertama dan paling berkesan bagi kami
saat bekerja bersama ♪.”
"Aku rasa pertama kali kita
bekerja sama adalah saat kita mengubur manga Takuya di taman."
"Kamu
benar. Ngomong-ngomong, apa kamu mau menggalinya?”
“Tidak ada gunanya melakukannya
dalam situasi ini, jadi mungkin akan lebih baik melakukannya lain kali.”
Saat kami mengobrol, Hinata-san
dengan terampil menyiapkan penanak nasi, mengeluarkan daging dari kulkas, dan
mencairkannya di microwave.
Setelah aku selesai mengupas
wortel, aku melihat Hinata-san baru saja menggoreng daging di
wajan. Semuanya sempurna, seperti scene di film.
Dia selesai memasak daging dan
kentang sambil tersenyum. Dia meletakkannya di atas meja ruang makan
bersama dengan salad yang telah dia siapkan sebelumnya. Sebelum aku lupa,
untuk hidangan penutupnya adalah puding yang aku beli sebelumnya.
Semuanya sudah siap.
Kami duduk saling berhadapan dan
setelah bersyukur atas makanannya, aku memasukkan potongan daging dan kentang
ke dalam mulutku.
Hinata-san menatapku dengan agak
tegang menunggu reaksiku, jadi mau tak mau aku menjadi sedikit kaku.
Aku sudah siap untuk mengetahui
apa yang harus aku lakukan jika rasanya tidak enak, tapi sejujurnya kentang dan
dagingnya sangat enak, jadi tidak perlu berpura-pura.
“Rasanya sangat enak. Ini setara
dengan makanan di toserba."
“Syukurlah… Masih ada lebih
banyak daging dan kentang di dalam panci, jadi bilang saja kalau kamu ingin tambah.”
Setelah dia merasa lega, dia
tersenyum seolah aku telah memujinya.
“Kita terlihat seperti pasangan
yang baru menikah.”
Ini hebat…!!!
Situasinya sempurna, karena aku
duduk di meja ruang makan sambil mengobrol dengan seorang gadis cantik.
Jika zombie tidak muncul, aku
tidak akan berada dalam situasi seperti ini, membuat perasaanku campur aduk...
Selesai makan, Hinata-san mulai
mencuci piring.
"Aku ingin berdiskusi
denganmu tentang masa depan kita."
Saat aku mengatakan itu, entah
kenapa dia memalingkan muka karena malu.
“… Apakah itu berarti kamu ingin
menjalin hubungan romantis denganku?”
"Bukan itu. Aku ingin
berdiskusi denganmu bagaimana memastikan keamanan rumah ini dan memutuskan
bagaimana kita akan bertemu jika kita terpisah."
“Kamu membuatku bingung dengan
mengatakannya seperti itu!!!”
Hinata-san berteriak dan
mengarahkan ujung pisau dapur yang dia cuci ke arahku, membuatku tanpa sadar
mengangkat tanganku.
"Aku membuatmu
bingung?"
"Tentu saja. Jika kamu
mengatakan 'tentang masa depan kita', bukankah menurutmu itu terdengar seperti
sebuah pengakuan?”
"Kurasa aku mengatakannya
dengan benar."
“Senpai, mulai sekarang, saat
kamu berbicara dengan seorang gadis tentang masa depan, tolong jangan gunakan
kata 'kita'. Para gadis pasti akan salah paham tentangmu.”
"A-aku mengerti."
Setelah menerima tegurannya, dia
akhirnya meletakkan pisaunya.
“Kalau begitu mari kita bicara tentang
masa depan. Pertama--- Di mana kita akan tidur malam ini?”
“Bukankah lebih baik tidur di
kamarku? Lebih baik kita dekat jika terjadi keadaan darurat.”
"Kamu benar."
“Ngomong-ngomong, kamarku kecil,
jadi kita akan tidur di tempat tidurku.”
"… Kamu yakin?"
"Aku percaya padamu,
Senpai."
“Baiklah, kalau begitu, itu akan
menjadi tempat di mana kita akan tidur. Sekarang yang harus kita
diskusikan adalah apa yang harus dilakukan jika banyak zombie memasuki rumah
saat kita terpisah, bagaimana kita bisa bertemu lagi?"
"Mmm... Kita tidak bisa
berkomunikasi lewat ponsel dan jika kita berteriak, zombie-zombie akan
menemukan kita."
"Kamu harus memutuskan titik
pertemuan jika itu terjadi, tapi... di mana kita akan bertemu?"
"Kita tidak akan pernah tahu
bangunan mana yang aman."
“Aku bisa pergi dan memeriksanya,
tapi masalahnya adalah apa yang harus kulakukan padamu,
Hinata-san. Berbahaya jika aku membawamu bersamaku dan aku takut
meninggalkanmu di sini sendirian."
“Kamu terlalu protektif,
Senpai. Kamu tipe laki-laki yang suka pacarnya selalu ada di sisinya,
kan?"
"Aku tidak tahu karena aku
belum pernah punya pacar sampai sekarang."
"Begitu ya. Ngomong-ngomong,
aku tidak suka kamu bersikap terlalu protektif padaku, karna itulah aku tidak
akan mencoba menjauh darimu Senpai."
“Aku benar-benar tidak bisa
memahamimu, tapi tidak apa-apa lah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
jika kita berpisah… jadi jika memungkinkan, aku ingin menghabisi zombie-zombie
di ruang tamu jika mereka memasuki rumah agar kamu tetap aman…”
“Bagaimana jika kamu tidak bisa
menahan zombie? Aku rasa kamu tidak harus membunuh mereka, tetapi hanya
melumpuhkan mereka."
"Kalau dipikir-pikir lagi,
jika aku menutup mulut dan mengikat tangan mereka, aku bisa melumpuhkan mereka...
tapi zombie-zombie itu sangat kuat. Seberapa kuat tali yang bisa membuat mereka
tidak bisa bergerak, ya?"
"Kenapa kamu tidak
mencobanya saja? Lagipula, kamu bisa menjadi zombie, kan, Senpai?"
“Ide yang bagus, Hinata-san. Kamu
sangat pintar."
Karna itulah, kami memutuskan
untuk menguji kekuatan zombie.
Setelah selesai mencuci piring,
Hinata-san pergi mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melumpuhkan para
zombie.
“Satu-satunya yang aku miliki di
rumah adalah tali rami yang kami gunakan untuk taman.”
Setelah menerimanya, aku merasakan
bahwa ketebalannya sama dengan kabel cas ponsel, namun saat ditarik, ternyata
sangat kuat.
“Jika aku mengikatnya beberapa
kali, sepertinya aku bisa mengikat mereka.”
“Kalau begitu, ayo kita uji ketahanannya
dengan mengikatmu.”
"Oke. Ikat
tanganku."
"Oke."
Aku meletakkan kedua tanganku ke
depan dan Hinata-san mengikat tali rami di pergelangan tanganku.
Namun, hanya dengan satu putaran,
aku bisa memutuskan talinya dengan kekuatan zombieku. Hal yang sama
terjadi ketika Hinata-san memutarnya dua kali.
Tampaknya melumpuhkan zombie
sangatlah sulit.
Tapi dengan mengikatnya lima kali
aku tak bisa memutuskannya
“Sekarang aku mengerti bahwa
zombie bisa dilumpuhkan dengan cara mengikatnya dengan tali. Baiklah,
lepaskan ikatanku.”
Mendengar itu, mata Hinata-san
berbinar dengan mencurigakan.
"Fufufu, Senpai,
kamu tidak bisa melakukan apapun saat kamu seperti ini."
"Kurasa itu adalah ungkapan
yang tak seharusnya diucapkan oleh para gadis dengan gembira."
"Bolehkah aku bercanda
denganmu?"
"Tentu saja tidak. Kamu
itu orang mesum yang dengan senang menjebak Senpainya.”
“Hehehe, bisa jadi aku cabul~
cochi, cochi, cochi~”
Dengan senyuman di wajahnya,
Hinata-san meletakkan tangannya di sisi tubuhku dan mulai menggelitikku, tapi
dia tidak membuatku tertawa.
“Menjadi zombie membuat kulitmu
tak bisa merasakan apapun. Aku sedikit tahu saat kamu menyentuhku, tapi
itu tidak menggelitikku."
"Eh? Betapa membosankannya."
"Cepat lepaskan
ikatanku."
"Baiklah."
Hinata-san cemberut dan
melepaskan ikatanku.
"Ngomong-ngomong, Senpai, apa
kamu pernah mengikat seseorang?"
"Tidak pernah."
“Haruskah kita berlatih
sedikit? Ketika saatnya tiba, kita tidak bisa berlama-lama untuk
melepaskan diri kita sendiri."
"Berlatih, maksudmu kali ini
aku yang mengikatmu?"
"Yup. Aku akan menjadi
kelinci percobaanmu, ini, ambil!”
Aku diberi kesempatan untuk
mengikat Hinata-san yang sedang tersenyum.
Meskipun aku tak begitu setuju
dengan hal ini, memang benar bahwa penting bagi kami untuk berlatih. Jadi,
aku mulai dengan mendekatinya untuk mengikat kedua tangannya.
Namun, tepat setelah aku meraih
pergelangan tangannya yang ramping, dia melakukan sedikit perlawanan.
"Eh? Kenapa kamu melawan?"
“Jika aku tidak melawan, kita
tidak akan bisa berlatih. Para zombie akan menggila.”
"Nasuk akal juga…"
Kami melanjutkan latihan setelah
semuanya menjadi jelas. Kali ini aku menggenggam erat pergelangan tangan
Hinata-san agar dia tidak bisa kabur.
“Kyaa! Mesum! Tolong! Seseorang
tolong aku!"
"Zombie tidak bisa bicara,
jadi berhentilah berteriak."
"Benar juga. Kalau
begitu, aku akan melawan menggunakan kekuatanku.”
"Terimakasih banyak."
"Mmm! Mmmmm!”
“Fufufu, Tidak ada
gunanya melawan. Kamu tidak akan bisa melarikan diri tak peduli seberapa banyak
kekuatan yang kamu miliki."
Sambil menggoda, aku menyatukan
pergelangan tangannya dan berhasil mengikatnya.
“Haa… Kamu menangkapku…”
Setelah kehilangan kebebasan
untuk menggerakkan tangannya, dia menatap wajahku.
Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi… Aku jatuh ke dalam fantasi mengendalikan Hinata-san.
"... Nah, sekarang aku akan
mengikat kakimu."
"Tunggu sebentar,
Senpai. Tatapanmu terlihat menjijikkan. Kamu tidak memikirkan yang
aneh-aneh, kan?"
"Tidak sama
sekali. Saat ini aku hanya memikirkan cara menjunakkan zombie dengan
efektif."
"Beneran? Entah kenapa
aku merasa ada hobi aneh yang muncul dalam dirimu."
"Jangan khawatir. Tidak
mungkin aku akan membangkitkan hobi aneh mengikat Kouhai untuk
kesenangan."
“Okey, tapi…”
Aku melihat pergelangan kaki
Hinata-san, yang masih menatapku dengan curiga, dan menyadari bahwa dia mungkin
jatuh dan melukai dirinya sendiri jika dia menolak diikat karena kedua
tangannya terikat.
"Kurasa sebaiknya kita tidak
berlatih mengikat pergelangan kaki."
"Tapi mungkin ada situasi di
mana kita dengan pasti harus mengikat kaki zombie selain tangan, kan?"
"Yaaa, begitulah. Langkahnya
adalah mengikat kedua tangannya terlebih dulu, lalu menjatuhkannya ke tanah dan
mengikat kakinya---”
"Senpai, apa kamu berpikir ingin
menjatuhkanku ke tanah?"
"Tidak. Akan berbahaya
jika aku menjatuhkanmu ke tanah. Itu harus di tempat tidur."
"Apa kamu mau mejatuhkanku
ke tempat tidur dan mengikat tangan dan kakiku?"
"Itu bukan sesuatu yang kamu
pikirkan."
“Bagaimana kalau kamu melakukan sesuatu
itu? Kamu bisa menggendongku seperti seorang putri, membaringkanku dengan
hati-hati di sofa dan mengikat kakiku.”
“Tapi jika kamu melakukan
perlawanan saat aku menggendongmu, kamu bisa jatuh.”
"Aku tidak akan
melawan. Aku akan diam."
"Jika kamu melakukannya, itu
tidak akan menjadi latihan bagaimana cara melumpuhkan zombie lagi, kan?"
"Aku tak peduli tentang
itu. Aku hanya ingin digendong seperti seorang putri."
"Aku tidak memahami maksudmu…"
“Jangan terlalu memikirkannya, gendong
saja aku dan bawa aku ke sofa secepatnya. Selain itu, jika memungkinkan, aku
ingin kamu berhenti menjadi zombie dan melakukan apa yang aku minta darimu dalam
wujud manusiamu."
“Mmm… Apa aku bisa menggendongmu
tanpa menggunakan kekuatan zombie---?”
"Apa kamu mau bilang aku
berat?"
"Jangan bikin ribut. Aku
hanya tak sepenuhnya percaya pada kekuatan manusiaku."
"Berhenti bicara dan coba
gendong aku sekarang juga."
Hinata-san cemberut dan memberiku
perintah, jadi aku memutuskan untuk patuh dan mengikuti instruksinya.
Tidak pernah dalam hidupku aku
memiliki kesempatan untuk menggendong seorang gadis secantik dia sebagai
seorang putri ...
Jadi aku kembali ke wujud
manusiaku, meletakkan tangan kiriku di punggung Hinata-san dan tangan kananku
di bagian belakang lututnya, lalu menggendongnya dengan satu gerakan.
Wajah cantiknya mendekat ke
arahku. Kami cukup dekat untuk berciuman kapan saja.
Tepat setelah mata kami bertemu,
kami membuang muka di saat yang bersamaan. Itu sangat memalukan bagi kami
berdua.
Sambil menghindari menatapnya, aku
dengan hati-hati membawanya ke sofa untuk mencegahnya jatuh ke lantai.
Setiap kali aku berjalan, aku
bisa merasakan kehangatan dan kulit Hinata-san. Dari dadanya hingga
pahanya melalui baju rumahnya yang tipis. Aku terkesan mengetahui bahwa
gadis-gadis itu tidak hanya lembut di dada mereka tetapi juga di seluruh tubuh
mereka.
Jika kami terus sedekat ini, dia
mungkin akan melakukan tindakan sembrono, jadi aku segera membaringkannya di
sofa.
“Hehehe… jantungku berdebar
kencang.”
Sambil berbaring di sofa,
Hinata-san mengatakan itu dengan senyum di wajahnya. Rupanya, motif
tersembunyi orang ini tidak kotor. Kurasa aku seharusnya lebih menikmati
sensasi manis itu sedikit lebih banyak…
“Ngomong-ngomong, apa aku berat bagimu…?”
“Aku belum pernah menggendong
seseorang sebelumnya, jadi aku tidak tahu.”
"Begitu. Kalau begitu,
tolong pikirkan bahwa tubuhku sangat ringan Senpai."
"O-oke."
Sejujurnya, aku khawatir
payudaranya akan bersentuhan dengan tubuhku sehingga aku bahkan tak peduli
dengan berat badannya.
Aku hampir lupa tujuan dari semua
ini. Berlatih cara mengikat zombie.
Aku meraih kaki Hinata-san dan
dengan cepat mengikatnya dengan tali.
Aku tidak tahu, tapi aku merasa
sudah lebih baik dalam hal ini.
"Jika aku mengulanginya lagi,
aku rasa aku akan terbiasa mengikat tangan dan kaki dengan tali."
"Apa kamu ingin terus
berlatih denganku?"
"Itu pertanyaan yang agak
rumit, tapi jawabannya adalah ya."
"Oke... kalau begitu, tolong
lepaskan ikatanku."
"Baiklah."
Aku mengikatnya begitu erat
sehingga aku harus memotong tali dengan gunting untuk melepaskannya. Aku
menggunakan lebih dari satu meter lati untuk latihan, jadi mungkin aku tak
boleh berlebihan dalam hal ini---
Bamm!!!
Tiba-tiba, terdengar suara dari
pintu masuk utama rumah. Kedengarannya seperti ada sesuatu yang menghantam
pintu.
"... Senpai."
“Itu mungkin zombie. Aku
akan pergi melihat."
Aku pergi sendirian ke pintu
masuk dan melihat melalui lubang intip di pintu untuk melihat apa yang terjadi
di luar, tetapi tidak ada seorang pun.
Apakah dia pergi ke tempat lain
atau karena sudut pandang lubang intip sehingga aku tidak dapat melihatnya?
Aku ingin tahu apa atau siapa
yang menghasilkan suara itu, tapi akan merepotkan jika aku membuka pintu
sembarangan karena zombie mungkin bisa masuk rumah---
Craaang!!!
Saat aku memutar otak di depan
pintu, aku mendengar suara pecahan kaca di ruangan tempat Hinata-san berada.
“Kyaa!!!”
Hampir di saat yang bersamaan aku
mendengar suara itu, dia berteriak sangat keras hingga membuatku panik.
Saat aku berlari kembali ke ruang
tamu, jendela besar yang menghadap ke taman pecah dan zombie berjas masuk.
Untungnya, di tengah-tengah
kejadian itu, Hinata-san berada di tempat yang jauh dari jendela dan tidak
terluka.
Dan begitu aku sampai di depan
zombie itu, dia di belakangku bergumam ketakutan.
"… Pa… pa."
Zombie itu adalah ayah
Hinata-san.
"Uuuu... aagghhh..."
Ayahnya menatap Hinata-san dengan
mata kusam dan mengeluarkan erangan yang tak bisa dimengerti.
Meskipun tenggelam dalam
keputusasaan yang mendalam, aku sudah siap untuk bertarung.
--- Namun, tidak ada tanda-tanda
bahwa ayahnya ingin menyerang kami.
Tapi sepertinya dia tidak lagi
memiliki sisi kemanusiaan yang tersisa...
"Papa…"
Hinata-san menggumamkan itu
dengan sangat terkejut saat dia melangkah lebih dekat ke ayahnya.
Sementara itu, dia mengancam dengan
memperlihatkan gusinya sembari air liurnya menetes dari sela-sela giginya yang
tajam.
Dia tidak mendekati kami. Seluruh
tubuhnya gemetar saat dia menatap Hinata-san.
Entah bagaimana, dia ragu-ragu
untuk menyerang.
“Mungkin ayahmu masih memiliki
sedikit kemanusiaan, bukankah begitu…? Dia berjuang melawan naluri
zombinya karena dia tidak ingin menyerangmu, Hinata-san.”
Jas dan sepatu kulit yang
dikenakan ayahnya berlumuran lumpur. Dia pasti kembali ke rumah karena dia
mengkhawatirkan keluarganya, tapi dalam perjalanan ke sini dia tergigit
zombie---
"... Terlepas dari
keadaannya saat ini, bolehkah aku memeluk papaku, Senpai?"
Dengan suara berlinang air mata,
dia menanyakan hal itu padaku sambil menatap ayahnya.
“Sepertinya jika aku berbicara
dengannya, dia tidak akan memahamiku, jadi aku ingin menyampaikan perasaanku
padanya melalui kehangatanku. Aku ingin memberitahunya bahwa aku baik-baik
saja."
“… Sepertinya dia sedang melawan
sedikit sisi kemanusiaan yang tersisa melawan naluri zombienya. Kita tidak
tahu bagaimana dia akan bereaksi jika kamu lebih dekat dengannya."
"Kumohon. Aku tidak
bisa membiarkan papaku terus seperti ini."
“… Oke, tapi berhati-hatilah.”
"Ya…!"
Hinata-san menyeka air matanya
dan mengulurkan tangannya di depan ayahnya dengan ekspresi penuh tekan di
wajahnya.
Terlepas dari situasinya, dia
mendekatinya, meletakkan tangannya di belakang punggung ayahnya, dan dengan
malu-malu memeluknya.
"--- Uarggggg”
Di saat tubuh mereka sepenguhnya bersentuhan,
mata ayahnya berkaca-kaca dan dia mencoba menggigit Hinata-san.
Jadi, aku segera meletakkan lengan
kananku di depan wajah ayahnya dan membiarkannya menggigitku.
Giginya yang tajam menusuk
lenganku menyebabkan darah mengalir deras. Jika aku menurunkan kekuatanku
sedikit saja, aku merasa akan hancur berkeping-keping dengan gigitannya.
"Senpai!!"
"Jangan khawatirkan
aku. Sebaliknya, manfaatkan momen ini untuk berbicara dengan ayahmu."
"Ya…"
Setelah itu, Hinata-san memeluk
erat ayahnya.
"Aku baik-baik saja, pa. Senpai
telah melindungiku sampai sekarang."
“… Uagghh…”
“Kamu pulang karena
mengkhawatirkanku, kan? Terimakasih banyak pa, tapi mulai sekarang, Senpaiku
akan melindungiku, jadi kamu tidak perlu khawatir lagi… aku mencintaimu, pa.”
Air mata menggenang di matanya
dan jatuh di pipinya saat dia menggumamkan kata-kata itu. Saat itu,
kekuatan gigitan ayahnya berkurang.
Dan dari mulutnya keluar kata-kata
yang seakan-akan menghilang setiap saat.
“…Ha…ru…ka…”
Tepat setelah itu, tubuh ayahnya
kehilangan kekuatan dan langsung jatuh ke lantai.
"Papa…!?"
Hinata-san berbicara kepadanya
dengan takut, tetapi tidak ada respon dari ayahnya.
Matanya terpejam dan tidak
bergerak.
Setelah aku memeriksa tubuh
ayahnya, yang tergeletak di lantai, aku mengetahui bahwa jantungnya telah
berhenti, suhu tubuhnya tidak ada, dan tidak bernapas.
Namun, karena kulitnya masih
abu-abu, dia belum tentu mati.
Setelah berdiskusi, kami
memutuskan kalau ayahnya akan tidur di kamar lantai satu.
Kami tidak tahu kapan dia akan
bangun dan mungkin ketika dia bangun dia akan berubah menjadi zombie sungguhan,
tapi meski begitu, aku ragu untuk melumpuhkannya, jadi aku memutuskan untuk
menghabiskan waktuku untuk memperhatikannya. gerakannya.
Setelah memastikan lagi bahwa
ayahnya tidak merespons suara dan getaran, kami meninggalkan kamar. Segera
setelah kami menutup pintu, kaki Hinata-san mulai gemetar di depanku.
"Kamu baik-baik saja,
Hinata-san?"
"Maaf senpai... aku hanya
sedikit lelah."
“Itu wajar, karena jika ayahku
menjadi zombie…”
"Aku tahu... tapi itu bukan
berarti dia sudah sepenuhnya berubah menjadi zombie, kan...?"
Dia menatapku dengan mata yang
seolah meminta bantuanku.
"Mungkin suatu hari nanti
dia akan bangun dan berbicara sepertimu, Senpai..."
"... Ya."
Bahkan, hal itu sangat mungkin
terjadi. Jelas ayahnya berbeda dari zombie lainnya.
“Jangan pesimis, oke? Papa
suka bersikap positif, jadi jika kita menikmati hidup, dia bisa mendengar tawa kita
dan bangun…”
“…………”
Aku tidak ingin memberinya terlalu
banyak harapan, namun aku memutuskan untuk berbagi hipotesisku dengannya.
"Beberapa saat yang lalu,
saat kita sedang berjalan melewati kawasan pemukiman, ada zombie yang melompat
dari teras kondominium itu, kan?"
“--- Eh? … Ah, iya.”
“Ada zombie-zombie lain di
teras. Beberapa dari mereka hanya melihat ke arah kita dan tidak
melompat. Jadi, kemungkinan, setiap zombie bisa bertindak secara berbeda
tergantung tujuannya. Jika ada zombie yang ingin menyerang manusia dengan
segala cara, akan ada juga yang tidak ingin. Ayahmu pasti salah satu dari
yang terakhir, bukan? Meskipun dia kehilangan kendali, sepertinya dia
memiliki tujuan yang jauh lebih penting daripada menyerang manusia.”
“Tujuan yang jauh lebih penting…”
“Mungkin, saat ayahmu menjadi
zombie, dia pasti berharap: ‘Aku ingin melihat keluargaku'. Jadi dengan
memiliki tujuan yang sangat penting, dia membedakan dirinya dari zombie biasa
dan mungkin, karena mencapai tujuannya, ayahmu merasa puas dan berhenti
bergerak.”
"Begitu... Kuharap setelah
zombie mencapai tujuan mereka, mereka akan mendapatkan kembali kemanusiaan
mereka sepertimu, Senpai..."
Hinata-san menggumamkan itu tanpa
paksaan. Bisa dibilang dia terlalu lelah.
"Bukankah sebaiknya kamu
istirahat, Hinata-san?"
"Tapi kalau kita tidak
membersihkan pecahan kaca yang berserakan di ruangan ini, itu bisa
berbahaya..."
“Sayangnya, jika zombie
memecahkan kaca dan masuk ke dalam rumah, kita tidak akan bisa menetap di
sini. Kita harus pindah ke tempat yang lebih aman.”
“Aku mengerti… Kalau begitu kita
harus cepat.”
“Tidak, ini sudah hampir gelap
dan akan berbahaya jika bergerak dalam kegelapan. Kita akan melakukannya
besok pagi, istirahatlah sebanyak yang kamu bisa Hinata-san.”
"Terimakasih banyak... oke,
aku akan percaya dengan kata-katamu, tapi bagaimana denganmu, Senpai...?"
"Aku baik-baik saja. Mungkin
karena aku sudah menjadi zombie, aku tidak merasa lelah. Aku akan
menjagamu dari lantai satu, jadi istirahatlah seperti bayi."
"Baiklah... aku akan istirahat
dulu, tapi jika terjadi sesuatu, jangan ragu untuk membangunkanku."
Dia mengatakan itu dan dengan
sedikit lega dia perlahan menaiki tangga.
Setelah melihat bahwa dia telah
pergi untuk beristirahat, aku pergi ke ruang tamu, menyingkirkan pecahan kaca,
memotong tali rami secukupnya dan memutuskan untuk menjaga rumah.
5 jam telah berlalu. Saat ini
sudah jam 11 malam.
Rumah itu gelap, ketika
Hinata-san bangun dan menuruni tangga karena ketakutan, jadi aku bangkit dari
sofa dan pergi menemuinya.
“… Fakta bahwa kamu ada di
rumahku berarti apa yang terjadi pagi ini bukanlah mimpi.”
Hinata-san menggumamkan kata-kata
itu dengan ekspresi rumit di wajahnya.
“Itu benar. Sayangnya dunia
diserang zombie. Itulah kenyataan pahit."
“Entah kenapa, aku teringat hari
kematian Onii-chan. Tak peduli seberapa banyak mereka menjelaskannya
kepadaku, aku tidak percaya dia sudah meninggal. Aku pingsan dan ketika
aku bangun keesokan paginya aku sudah tenang, tapi Onii-chan sudah meninggalkan
dunia ini dan aku tidak punya pilihan selain menerima kenyataan itu… Maaf sudah
memberitahumu sesuatu yang sangat mengganggu, Senpai. Kamu digigit zombie,
kamu belum bisa melihat keluargamu sampai sekarang dan di sini aku menceritakan
tentang diriku…”
"Jangan khawatir, apa tidurmu
nyenyak?"
“Ya, dan itu semua berkat kamu. Apa
kamu tidak mau istirahat, Senpai? Apa kamu tidak lelah jika kamu tidak istirahat?"
"Sekarang setelah kamu mengatakannya,
aku mulai merasa sedikit mengantuk."
"Kalau begitu
istirahatlah. Aku sudah bangun, jadi aku akan menjaga rumah dan jika
terjadi sesuatu aku akan membangunkanmu."
Dia mengatakan itu sambil
mengangkat tangannya untuk memamerkan otot bisepnya. Senang mendengarnya merasa
sedikit lebih baik.
"Yah, jika kamu berjanji
akan melakukan itu, aku akan istirahat."
"Ya. Ayo, ikuti
aku."
Saat aku mengikutinya, dia
membawaku ke kamarnya.
Ruangan itu gelap, itu hanya
diterangi cahaya bulan.
"Silakan tidur di tempat
tidurku."
"… Kamu yakin?"
"Huh? Apa kamu punya
masalah dengan itu?"
“Yahh, kan aku laki-laki dan kamu
perempuan dan…”
“Tapi aku tidak punya tempat
tidur lain untukmu beristirahat, Senpai. Papa sedang tidur di kamar lantai
satu dan aku sudah lama tidak menggunakan tempat tidur Onii-chan, ditambah lagi
aku tidak suka jika ada orang lain selain dia yang menggunakannya…”
“Baiklah, kuharap ini tidak mengganggumu,
Hinata-san.”
“………? Apa kamu membenciku,
Senpai?"
"Bukan gitu. Dengar,
wajar kalau perempuan tidak ingin orang lain menggunakan tempat tidurnya,
kan?"
"Itu benar, tapi tidak ada
masalah jika kamu menggunakannya, Senpai."
Dia mengatakannya dengan senyum
yang jelas. Sepertinya dia tidak keberatan kalau aku tidur di tempat
tidurnya.
"Sana, berbaring dan
istirahat."
Karena aku mendapat izinnya, aku
berbaring di tempat tidurnya.
Dari bantal dan seprai, aroma
manis Hinata-san tercium. Anehnya aku gugup...
Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk berhenti memikirkan hal-hal seperti itu dan menutup mata.
Hanya suara nafas kami yang
terdengar di tengah kegelapan. Jika aku terus seperti ini, aku mungkin
tertidur kapan saja.
… Tapi saat aku terdiam, meskipun
aku tidak menyukainya, aku mengingat hal-hal yang terjadi hari ini. Semua
teman sekelasku digigit zombie dan sesampainya di rumah, bahkan ibu dan kakek nenekku
pun mengalami hal yang sama... Aku tidak tahu bagaimana keadaan ayah dan
kerabatku yang lain, tapi lebih baik aku tidak terlalu berharap... karena akupun
tidak tahu kapan aku akan benar-benar berubah menjadi zombie…
Karena tak bisa menahan rasa
takut, aku membuka mataku dan bertemu mata Hinata-san.
"Oh, maaf. Apa kamu sulit
tidur karena mengetahui bahwa kamu sedang diawasi?"
“…Tidak, bukan itu…”
Hinata-san, mengira aku tak tahu
harus berkata apa.
"Aku memahamimu. Aku
juga tidak bisa berhenti memikirkan keluargaku..."
"... Ya. Meskipun aku tahu
tidak ada gunanya memikirkannya..."
Saat aku mengatakan itu sambil
melihat ke langit-langit, dia dengan malu-malu menanyakanku sebuah pertanyaan.
"... Mmm, Senpai, apa aku
menjadi beban bagimu?"
"… Eh?"
“Sebenarnya, kamu ingin pergi dan
melihat keluargamu, kan? Jika kamu sendirian, kamu bisa pergi menemui
mereka tanpa masalah, tapi karena kamu harus melindungiku, kamu tidak bisa
bertindak bebas---”
"Kamu salah!"
Aku secara naluriah duduk di
tempat tidur dan menyangkalnya dengan sekuat tenaga.
“Memang benar aku merasa khawatir
pada mereka, tapi berkatmu bersamaku, aku aman. Aku ingin kamu memahami
bahwa kamu bukan beban bagiku. Pertama-tama, berkatmu aku belum sepenuhnya
berubah menjadi zombie. Saat aku hampir menjadi salah satu dari mereka,
aku berpikir keras: 'Aku harus melindungi
Hinata-san'. Jadi… tolong jangan pernah berpikir bahwa kamu adalah
beban bagiku.”
"Terimakasih banyak... Senpai..."
Hinata-san merasa lega dan
matanya berkaca-kaca.
“Jangan memikirkan hal-hal
negatif. Aku tahu sulit untuk tidak merasa cemas di dunia seperti
ini. Namun, jika kamu tetap memikirkan sesuatu, lebih baik hal-hal yang
membantu kita bertahan hidup. Misalnya, apa yang harus kita lakukan besok
pagi? Kamu bisa mulai dengan itu."
“Kamu benar, aku akan mengurusnya…
Mmm, apa yang akan aku masak besok? Di kulkas masih ada sayuran."
"Nah begitu. Setelah
kita makan, aku harus pergi mencari stok makanan lebih banyak."
"Aku tidak bisa menemanimu,
kan?"
“Ya, itu yang terbaik… Aku ingin
kamu menungguku di tempat yang aman, tapi di mana…?”
"Aku rasa tidak ada rumah
lain yang seperti ini, kan?"
“Itu benar. Setidaknya di dalam
sebuah bangunan yang dikelilingi oleh tembok atau pagar besar.”
“Bagaimana kalau di asrama
Sekolah Perempuan? Aku pergi ke tempat itu hanya sekali, tapi seingatku
tempat itu dikelilingi oleh pagar besar yang dipasang untuk mencegah orang yang
mencurigakan masuk.”
"Oke, ayo pergi ke sana
dulu."
“Apakah ada hal lain yang harus
kita lakukan selain itu?”
“Aku sedang berpikir tentang cara
melawan zombie dan aku sampai pada kesimpulan bahwa kita membutuhkan peralatan pertahanan. Untuk
berjaga-jaga, aku ingin menyiapkan baju besi untukmu, Hinata-san---”
"Tapi baju besi itu berat,
dan kurasa aku tidak bisa kabur jika memakainya."
"Iya juga. Lalu
bagaimana kalau kamu memakai sesuatu seperti sepasang sarung tangan?"
"Sarung tangan?"
“Itu adalah pelindung logam yang
menutupi dari ujung jari hingga siku. Jika lenganmu terlindungi, kamu akan
mampu memukul mundur zombie jika mereka menyerangmu, kan?"
“Aku mengerti, tapi di mana kita
bisa mendapatkannya?”
"… Tidak tahu."
Karena aku tidak pernah
membutuhkannya, aku sama sekali tidak tahu di mana mendapatkannya. Aku
bahkan tidak bisa mencari toko di ponselku...
“Entah bagaimana caranya, kita
akan mendapatkannya.”
Berbicara dengan Hinata-san
seperti ini, aku merasa semua perasaan negatif yang menekan dadaku
perlahan-lahan hilang.
Tak peduli seberapa besar kami menyesali
situasi saat ini, dunia tidak akan berbaik hati kepada kami, jadi kami harus berjuang
dan bertahan.
… Yah, karena aku zombie, aku tidak tahu apakah aku masih hidup.