Ads 728x90

Eroge no Heroine Volume 1 Chapter 6 Part 1

Posted by Chova, Released on

Option


Chapter 6 Part 1


Aku, Ayana Otonashi, memiliki teman masa kecil yang selalu bersamaku sejak aku masih kecil.


Anak laki-laki itu bernama Osamu Sasaki dan dia selalu mengikutiku kemanapun.


Osamu-kun dan aku tidak butuh waktu lama untuk akur, sebagian karena ibu kami memiliki hubungan yang sangat baik satu sama lain.


"Ayo bermain bersama, Ayana-chan!"


"Ya, okay."


Pada saat itu, aku berpikir Osamu-kun lucu ketika dia mengikutiku dan bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki adik laki-laki.


Duniaku terdiri dari ibuku dan aku, dan Osamu-kun dan keluarganya… Di sekolah dasar, aku mulai menyadari kalau dunia ini sangat kecil.


Aku tak keberatan mengurus Osamu-kun dan jika aku tidak memiliki rencana tertentu, itu adalah hal yang normal bagiku, jadi aku tidak keberatan sama sekali----- namun, hal itu tak berlangsung selamanya.


"Mau kemana kamu? Tidak, bukan itu. Aku sudah berbicara dengan ibu Osamu dan kami sepakat kalo dia akan mengajakmu ke rumahnya, Ayana.”


"Eh? Tapi aku berjanji pada teman-temanku kalo aku akan pergi dengan mereka…”


“Lakukan lain kali. Teman masa kecilmu, Osamu, lebih penting dari mereka, bukan?"


"Tapi…"


"Apa kamu mengerti?"


"… Ya."


Karena aku tak punya rencana, aku berencana untuk bermain dengan teman-temanku.


Namun, ibuku menyuruhku untuk membatalkannya dan pergi ke rumah Osamu-kun untuk menemuinya. Pada akhirnya, aku tidak bisa menolak.


Alhasil, teman-temanku menertawakanku dengan mengatakan tidak ada yang bisa dilakukan tentang hal itu, tetapi aku benar-benar menyesali semua yang telah terjadi.


“… Apa itu teman masa kecil?”


Meskipun aku adalah seorang siswi sekolah dasar, aku bertanya pada diri sendiri pertanyaan itu.


Orang-orang di sekitarku memberitahuku banyak hal, seperti aku lebih cepat dewasa daripada anak normal, tetapi ketika aku memikirkannya sekarang, aku rasa itu mungkin benar.


Dan saat itulah aku mulai mempertanyakan keberadaan seorang teman masa kecil.


"Ayana, kamu adalah teman masa kecil Osamu, jadi kamu harus memprioritaskannya."


Tak peduli apa yang kulakukan, aku akan menghabiskan hari-hariku di rumah Osamu-kun, aku akan menghabiskan waktuku bersamanya dan adik perempuannya, dan di sore hari aku akan kembali ke rumahku.


Di hari-hari sekolah, aku akan pergi ke rumahnya untuk membangunkannya, lalu berjalan ke sekolah bersamanya.


Sekarang setelah kupikir-pikir, aku menuruti semua yang ibuku suruh tanpa memikirkannya.


"Ayana-chan datang ke sini untuk membantumu Osamu. Apakah dia akan menjadi istrimu di masa depan?"


"Lakukanlah, Ayana-onee-chan! Jadilah istri Onii-chan!"


"Hei, kalian berdua! Berhenti mengatakan hal-hal aneh!”


Dengan perasaan yang agak dingin, aku menyaksikan kehebohan yang terjadi di depanku. Aku juga melihat ibuku bergabung dengan mereka dan mereka dengan senang hati mengobrol tentang rencana masa depan.


Aku muak dengan segala hal tentang Osamu-kun dan ibuku selalu bercerita tentang dia. Melihatku menjaga Osamu-kun, ibu dan adiknya selalu memujiku tak peduli seberapa sepelenya itu, itu menjengkelkan… dan yang terpenting, aku mulai berpikir kalau Osamu-kun, yang sampai saat ini aku pikir imut, sebenarnya menyebalkan.


Ya, aku mulai berpikir kalau semua orang di sekitarku menjijikkan.


"Aku ingin tahu siapa aku... siapa aku?" 


Siapa aku? Aku ingin mengungkapkannya ke seseorang.


Aku ingin seseorang memberitahuku jawabannya… Aku ingin bertanya ke seseorang siapa sebenarnya Ayana Otonashi itu.


Tapi karena aku masih kecil, aku hanya bisa menyimpan apa yang kurasakan di dalam dan sebelum aku menyadarinya, aku mulai menunjukkan senyuman seperti topeng.


"Senang bersamamu, Ayana-chan!" 


"Begitu, ya. Aku juga memikirkan hal yang sama tentangmu."


"Nee, nee, Ayana-onee-chan, bermainlah denganku juga!"


"Ya, apa yang harus aku lakukan?"


“Ayana-chan, apakah kamu sedang belajar memasak? Itu mengagumkan."


"Terima kasih banyak."


Setiap kali aku berinteraksi dengan mereka, aku mulai berpikir kalau aku adalah orang lain dan itu membuatku merasa lebih baik.


Aku berasumsi kalau aku tidak ada sebagai individu dan lalu, aku bisa memainkan Ayana Otonashi yang mereka inginkan, tanpa terlalu memikirkannya.


Jika aku mengangguk pada apa yang mereka katakan dan tidak membantahnya, mereka bahkan tidak akan mengeluh. Hanya aku yang bisa memahami perasaanku yang sebenarnya. Jika aku membangun tembok yang bisa memisahkan diriku dari diri luarku, tidak ada yang bisa memasukiku... Dengan cara inilah aku berhasil melindungi duniaku.


“Aku suka manga ini!”


"Yups, benar! Ini sangat menarik!"


"Aku berharap aku punya cowok keren di sisiku!"


“Bagaimana dengan teman masa kecil? Aku rasa mereka hebat!”


Aku tak ingat judul manganya saat itu, tapi aku tahu itu adalah shojo yang sangat populer.


Itu adalah kisah cinta pahit dengan seorang anak laki-laki yang merupakan teman masa kecilnya. Seorang temanku sering mengatakan padaku kalau itu tak dapat dihindari kalau dua orang bersatu setelah melalui pengalaman yang menyakitkan.


Temanku bilang padaku kalau itu adalah drama romansa di mana dua teman masa kecil mengalami saat-saat pahit dan menyenangkan, dan setelah melalui berbagai pengalaman menyakitkan, mereka akhirnya menikah.


"Kedengarannya menarik."


"Okey! Aku akan meminjamkanmu manga lain kali!"


Pada akhirnya, aku tidak meminjam manga temanku setelah itu. Terlebih lagi, itu lebih baik bagiku------ karena aku tidak memiliki perasaan apa pun sesuai dengan apa yang ada manga itu.


"... Teman masa kecil enggak baik sama sekali."


Aku benci manga yang menggambarkan romansa teman masa kecil.


Bagiku, kisah seorang gadis yang melakukan segalanya untuk teman masa kecilnya tak lebih dari menjadi boneka tanpa kehendaknya sendiri yang melakukan tindakan yang telah ditentukan sebelumnya, selain itu, aku merasa tak nyaman dengan teman masa kecil yang keren, yang disukai semua orang.


Jika aku membaca manga seperti itu, aku mungkin berpikir mereka ingin mencuci otakku dari usia muda hingga jatuh cinta dengan teman masa kecilku.


"Apa itu teman masa kecil?"


Itu yang menjadi pertanyaanku selama ini.


Dan jika aku bisa mengatakan apapun dengan berlalunya hari-hari itu... bagiku, keberadaan seorang teman masa kecil adalah 'kutukan tersendiri'.


Namun, suatu hari ketika aku mencapai batas kesabaranku saat hari-hari itu berlalu.


"Ayana, hari ini kita akan kembali ke rumah Osamu-----"


"Tidak!! Aku tidak akan mendengarkanmu lagi ibu!!”


“Ayana!?”


Aku mencoba untuk tetap tak peduli dan berpikir kalau aku bisa membangun tembok di sekiling hatiku agar aku bisa terus hidup, tetapi, hatiku tak sekuat yang aku pikirkan, jadi untuk pertama kalinya aku memberontak melawan ibuku tanpa peduli jika dia marah padaku, lalu aku kabur dari rumah.


Alasanku kabur sambil menangis dari rumahku ke taman terdekat mungkin karena aku takut pergi terlalu jauh sendirian.


“*Ngh*… aku… tidak suka ini… aku… aku!” 


Duduk sendirian di ayunan, aku terus menangis.


Meski aku terus menangis, air mataku akan segera mengering dan aku akan kembali lagi bersama orang-orang itu------ perlawanan kecilku hanya untuk saat itu. Tepat ketika aku berpikir kalau aku menyerah dan menerima hari-hariku akan kembali seperti semula, hatiku menjadi dingin.


"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Matamu merah. Apa kamu menangis!?” 


Tapi hari itu berbeda.


Hari itu adalah titik balik dalam hidupku, karena itu mengubah segalanya. Itu adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan.


“Mmm… Apa yang harus aku lakukan dalam situasi ini?”


Cahaya yang menyilaukan memasuki duniaku, yang kupikir tidak akan pernah berubah. 


Itu benar… To… Towa-kun muncul di depanku.


“… Kamu… Ugh!”


"Aku enggak menangis! *Sniffff*…Uaaaaaaaaaa!!”


Ini adalah pertama kalinya aku dan Towa-kun bertemu, selain itu, aku yakin aku pasti telah membuatnya banyak masalah saat itu.


Dari sudut pandangnya, dia melihat kalau di taman yang sepi ada seorang gadis yang menangis, jadi dia berbicara dengannya tetapi bukannya menenangkan, gadis itu malah semakin menangis, karna hal itu pasti menjadi masalah baginya.


“Mmm… aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang!”


"... Ah."


Towa-kun dengan canggung membelai kepalaku sambil masih menangis.


Aku tak tahu harus berbuat apa, tapi aku tahu entah bagaimana dia berusaha menghiburku, karena terkejut, aku berhenti menangis.


"Apa yang telah terjadi?"


"… Aku."


Aku jujur ​​dan mengatakan kepadanya semua yang telah terjadi padaku sejauh ini.


Itu pasti cerita yang sangat sulit bagi Towa-kun. Pertama, itu sangat kejam untuk meminta nasihat dari seseorang yang seumuran denganku.


Mendengar ceritaku, dia mengerang dan menyilangkan tangannya menunjukkan kalau situasinya rumit.


"… Ini rumit."


Kalau sekarang, aku akan tersenyum kecut setelah menceritakan semuanya, tetapi pada saat itu aku masih anak-anak, jadi aku hampir menangis lagi.


Kemudian, melihatku berkaca-kaca, dia panik dan melihat sekeliling, bertanya-tanya apa yang bisa dia lakukan.


Tiba-tiba tatapannya tertuju pada sesuatu dan dia mengeluarkan suara. Itu adalah bola yang dia bawa ke taman, yang ada di bawah kakinya.


"Hei, lihat apa yang kulakukan."


"Eh?"


Towa mengatakan itu dan mulai memainkan bolanya.


Aku juga menonton di TV, jadi aku tahu apa yang dia lakukan. Itu adalah teknik untuk mengontrol bola tanpa menjatuhkannya ke tanah.


Namun, paling banyak aku hanya melihat selebriti melakukannya di TV, tetapi tak pernah melihatnya secara langsung.


"Ayo! Ini dia! Ini dia!"


"Wow! Itu luar biasa!!"


Aku tidak tahu banyak tentang sepak bola, tetapi apa yang dilakukan Towa-kun tampak hebat bagiku, selain itu, aku tahu betul kalau dia berusaha mati-matian untuk menghiburku, dan itu membuatku sangat bahagia.


Untuk beberapa saat, Towa-kun tidak membiarkan bolanya jatuh ke tanah sekali pun, lalu ketika dia selesai melakukannya dengan pose yang keren, aku bertepuk tangan.


"Hebat sekali! Itu luar biasa!!"


"Hahaha terima kasih!! Tapi dibandingkan dengan orang dewasa melakukannya, ini bukan apa-apa."


"Itu tidak benar! Itu sangat keren!!”


"… Hehehe terima kasih!"


Kalau dipikir-pikir, itu adalah pertama kalinya aku berbicara seperti itu dengan cowok selain Osamu.


Kesejukan dunia yang tak biasa menyebar di hatiku, dan sesuatu yang tak terlukiskan memenuhi hatiku.


"Aku punya beberapa tempat yang ingin aku kunjungi. Maukah kamu ikut denganku?"


"Ya! Ayo!"


Aku mengangguk pada ajakan Towa-kun saat aku berhenti memikirkan Osamu dan ibuku.


Dia memegang tanganku dan membawaku ke banyak tempat, tetapi yang paling membuatku terkesan adalah game canter.


"Ada apa Towa!"


"Apa kabar, kawan...!"


"Hei Towa, apakah dia salah satu temanmu?"


Pria yang menjalankan game center itu pasti kenalan Towa-kun, karena sejak pertama kali mereka bertemu, aku merasa mereka cukup dekat dari cara mereka bercanda.


Suasana ramah membuat mereka terlihat seperti ayah dan anak dan, melihat bagaimana mereka memperlakukan satu sama lain, aku tak bisa berhenti tertawa.


"Dia menertawakanmu karena kamu idiot."


"Mungkinkah kamu yang idiot, Towa?"


"Bukankah ibuku bilang kamu idiot?"


"Akemi-chan kejam!"


“Fufufu… Hahaha”


Itu adalah percakapan yang sangat menyenangkan.


Ketika Towa-kun mengolok-oloknya, pria itu bereaksi dan ketika aku menertawakannya, dia tersipu malu… itu sangat menyenangkan.


"… Ada banyak permainan."


Tempat yang disebut game center adalah tempat yang tidak aku kenal.


Aku pikir mungkin akan ada banyak gadis sekolah dasar karena jarang sekali mereka datang ke tempat seperti ini.


Ada banyak permainan yang aku tidak aku mengerti, tapi Towa-kun mengajariku satu-satu lalu kami bermain selama satu jam di waktu luang kami.


"... Ah."


Namun, saat-saat bahagia pun berakhir.


Aku melihat jam di dinding dan berpikir sudah waktunya bagiku untuk pulang, jadi aku memberitahu Towa-kun kalau aku harus pergi.


Kemudian dia meminta maaf karena membawaku ke sini dan akan mengantarku pulang.


"... Betapa hangatnya."


Kehangatan tangan Towa-kun yang kembali menggenggam tanganku membuatku egois tak ingin melepaskannya.


“…………”


Pada saat itulah, aku menyadari jantungku berdebar kencang karena panas yang berasal dari tangannya.


Saat aku hendak melihat rumahku, Towa-kun mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya kepadaku.


Itu adalah gantungan kunci berbentuk beruang... Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi itu adalah beruang dengan wajah yang sangat jelek. 


“Ayana-chan, aku membeli ini saat kamu sedang fokus sama permainan tadi. Jika kamu tidak menginginkannya, kamu bisa membuangnya."


"Aku tidak akan membuangnya!"


Aku mengambil gantungan kunci yang dia berikan padaku dan memegangnya di dadaku.


Itu bukan pertama kalinya aku menerima hadiah seperti itu, namun, aku bisa merasakan kehangatan dari hadiah itu lebih dari apapun yang aku terima.


"Terimakasih Towa-kun!"


Lucu melihat Towa-kun merasa malu sambil menggaruk-menggaruk pipinya. Melihatnya seperti itu membuat jantungku berdebar kencang.


Aku bertemu dengannya hari itu untuk pertama kalinya dan ketika aku berpikir kalau waktuku bersamanya akan segera berakhir, aku sangat sedih. Aku ingin waktu itu bertahan sedikit lebih lama tetapi itu tidak mungkin.


“…………”


Ibuku panik di depan rumahku.


Aku yakin dia sedang mencariku, tetapi jika dia ada di sana sekarang, dia pasti akan memarahiku… Tiba-tiba, Towa-kun meraih tanganku ketika aku bahkan tidak bisa melangkah maju.


"Semuanya baik-baik saja. Ayo."


"… Ya."


Aku mengangguk padanya, yang tersenyum padaku mengatakan itu dan bersama-sama, kami pergi ke tempat ibuku berada.


Melihatku datang, Osamu-kun dan Kotone-chan berlari ke arahku dan ibuku yang juga melihatku melakukan hal yang sama.


"Saya minta maaf. Saya tidak sengaja mengajak Ayana-chan berkeliling, meskipun saya harus mengatakan ini sangat sangat menyenangkan bermain dengannya.”


Towa-kun mengatakan itu dan menjelaskan situasinya.


Sebenarnya, semuanya seharusnya menjadi kesalahku, namun, cara Towa-kun menjelaskan, menyiratkan kalau dia lebih harus disalahkan atas semua yang terjadi, karena alasan itu, ibuku menatapnya, seolah-olah dia berpikir dialah yang harus disalahkan karena aku melarikan diri dari rumah.


“Tidak, tidak------”


Towa-kun menghentikanku saat aku hendak mengatakan dengan lantang kalau mereka salah.


Dia kembali berbisik di telingaku kalau semuanya baik-baik saja, jadi dia menatap langsung ke ibuku, yang sudah dewasa jauh lebih besar darinya.


Seperti yang diharapkan, ibuku tak bermaksud memarahinya, karena dia masih siswa sekolah dasar, jadi dia tidak mengatakan apa-apa saat itu, tetapi setelah kami memasuki rumahku, dia menyuruhku agar aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, apalagi bermain dengannya.


"Towa-kun... itu sangat keren."


Aku berpikir itu keren ketika dia melindungiku di depan ibuku.


Ketika aku menyentuh gantungan kunci yang dia berikan kepadaku, aku ingat bagaimana kami bertemu dan bagaimana aku mengakhiri hari itu dengan perasaan yang berbeda dari biasanya.


Osamu-kun dan Kotone-chan sepertinya mengatakan sesuatu, tapi hatiku tidak tenang.


"Towa-kun, kapan kita bisa bertemu lagi?"


Aku terpisah darinya tidak tahu bagaimana menemukannya atau di mana harus bertemu lagi.


Aku pikir mungkin aku tidak akan pernah melihatnya lagi, namun, itu adalah kekhawatiran yang tak berdasar.


"Eh? Ayana-chan?"


“Towa-kun!?”


Aku dan dia bersekolah di sekolah dasar yang sama.


Ya, ceritaku dengan Towa-kun dimulai dari sana dan terus berlanjut.


Osamu-kun kemudian bergabung dengan kami dan kami adalah kelompok yang terdiri dari tiga orang.


***


Ayana bercerita tentang masa lalunya, yang aku benar-benar tidak tahu.


Baginya, dunia tempat yang dia habiskan bersama Osamu dan keluarganya sejak dia masih kecil terasa kecil dan bahkan ibunya memaksanya untuk menerimanya.


"Aku minta maaf. Seolah, aku berbicara banyak tentang masa lalu. Terlebih lagi, sampai batas tertentu kamu mengetahuinya."


"Ya, itu benar."


Anehnya, aku tidak terkejut dengan apapun yang dia katakan padaku.


Meskipun ceritanya mengejutkanku, entah mengapa kepalaku dengan patuh menerimanya dan memproses informasinya.


Seolah-olah hatiku yakin kalau semua ini benar dan aku sudah mengetahuinya sejak lama.


(……….? Ituu…)


Aku mendengarkan cerita Ayana dan setelah menyelesaikannya, aku memeluknya saat ingatan tertentu muncul di benakku.


Itu tentang apa yang dia katakan padaku baru-baru ini, ingatan yang jelas tentang pertama kali kami bertemu.


"… Ah, iya. Itu benar."


Itu muncul tiba-tiba dalam ingatanku, tetapi seolah-olah itu adalah pengalaman nyata dalam hidupku.


Itu pasti ingatan orang lain, namun mesku begitu, itu masih menjadi ingatanku sampai pada titik di mana aku benar-benar yakin kalau itu adalah ingatanku selama ini.


"Ada apa, Towa-kun?"


Aku tahu ini aku, tetapi seperti yang aku katakan sebelumnya, aku benar-benar merasa terhubung dengan Towa.


Mungkin itu sebabnya aku merasa ingin melindungi Ayana lebih dari sebelumnya.


Dari lubuk hatiku, aku ingin terus melihatnya dari dekat dan memiliki senyum di wajahnya seperti sekarang selamanya.


"Ayana."


Aku meletakkan tanganku di pipinya.


Aku tak tahu mengapa aku memutuskan untuk melakukannya, tetapi ketika dia melihat tanganku menyentuh pipinya, matanya berair seolah dia mengharapkan sesuatu.


"… Aku."


"Eh?"


Sejujurnya, aku hanya menganggapnya sebagai karakter dari game… tidak, dengan kata lain, dia juga manusia.


Aku bukan satu-satunya yang bergerak dengan niatan seperti ini. Semua manusia yang hidup di dunia ini tidak berbeda denganku.


“… Ayana kamu…”


"Ya?"


"Kamu sangat cantik."


"… Ehh!?"


Dia terlihat sangat cantik karena dia mengubah ekspresinya berulang kali.


Tentu saja, dia adalah karakter favoritku ketika aku memainkan game ini, jadi ketika aku melihat Ayana Otonashi lagi, kesan itu muncul di benakku.


(... Saat ini aku tidak mencari alasan kenapa aku bereinkarnasi di dunia ini. Saat ini, hanya ada satu hal yang ingin kulakukan...Aku tidak ingin membuat Ayana menangis.)


Kurasa aku selalu berpikir tentang alasan mengapa aku bereinkarnasi di dunia ini.


Saat melakukannya, aku yakin jika terus seperti ini, endingnya akan sama persis seperti di dalam game, jadi aku memutuskan untuk mengubahnya dan mengarahkannya ke akhir yang bahagia.


(Aku Towa Yukishiro… tapi aku adalah karakter yang mempengaruhi dunia ini, jadi aku bisa melakukan apa yang aku inginkan. Aku ingin melindungi keberadaan Ayana dengan tanganku. Aku ingin dia tetap tersenyum seperti sekarang.)


Dan ada hal lain yang ingin aku katakan meski terdengar egois… Aku ingin berada di samping gadis ini.


"… Sebenarnya."


Sekarang setelah kupikir-pikir, ini mungkin pertama kalinya aku ingin berada di samping gadis ini dengan penuh semangat seperti ini.


Tentu saja, ada juga fakta kalau kesadaran Towa telah mempengaruhiku sampai batas tertentu, tetapi untuk pertama kalinya, aku sangat ingin berada di sisi Ayana atas kehendakku sendiri.


Setelah melihatnya sebentar, aku memutuskan untuk pergi ke kulkas untuk minum agar sedikit tenang.


"… Ano."


Namun, sepertinya berada di posisi yang sama selama ini dan menghadapi perasaanku sendiri, membuatku kehilangan akal.


Aku mencoba untuk berdiri, tetapi aku sangat bodoh hingga aku kehilangan keseimbangan dengan menahan lutut dan akhirnya mendorong Ayana ke bawah.


“Woah, maafkan aku, Ayana… eh!?”


Aku segera meminta maaf dan menatapnya untuk melihat apakah aku telah membuatnya terluka, namun, pikiranku berhenti ketika aku merasakan sesuatu dengan telapak tangan kananku.


Perasaan di telapak tanganku begitu lembut dan hangat… ya, tangan kananku berada di payudara kiri Ayana yang menggairahkan.


“… Towa-kun.”


“…………”


Aku mencoba menarik tanganku, tapi tak mau lepas dari dada Ayana.


Saat aku menyentuhnya seperti itu, aku bisa merasakan jantungnya berdetak melalui telapak tanganku.


Mungkin aneh memikirkan hal itu pada saat seperti ini, tetapi aku memastikan kalau dia masih hidup.


"Aku mencintaimu, Ayana."


Aku merasa lega setelah mengucapkan kata-kata itu.


Aku pikir itu adalah ungkapan yang seharusnya tidak aku katakan setelah mendorongnya ke bawah karena kecelakaan, namun, aku mencoba untuk memperbaiki apa yang aku katakan dengan mengatakan padanya kalau itu bukan apa yang ingin aku katakan dan menjauh darinya, tapi… Aku masih ingin seperti itu.


Ayana tersipu dan terlihat berbeda dari biasanya sampai sekarang, tetapi ketika dia mendengar kata-kataku, dia menggunakan tangan dan kakinya untuk memelukku.


“Enggak apa-apa Towa-kun. Sekarang cintai saja aku tanpa memikirkan hal lain."


Ekspresinya saat mengatakan itu sangat seksi.


Tak diragukan lagi, kalau ekspresinya membangkitkan nafsu seorang pria, namun pada saat yang sama, dia sangat lembut dan di dalamnya ada kekuatan yang seakan-akan menyelimutunya.


Aku mendekatkan bibirku ke bibirnya saat dia menatapku dan kemudian aku mencium bibir lembut Ayana.


“… *chuuu* … *mwah*”


Aku tak ingat apakah aku berciuman seperti ini di kehidupanku sebelumnya, tetapi aku bisa dengan pasti mengatakan kalau ini adalah ciuman pertamaku.


Sampai beberapa waktu yang lalu, Ayana selalu menangis, karena itu aku merasakan sedikit rasa asin bersamaan dengan kelembutan bibirnya.


"Apa bibirmu terasa sedikit asin karena kamu menangis?"


“Ah… itu terjadi karena kamu membuatku menangis, Towa-kun, jadi tolong bertanggung jawab♪”


Dia tersenyum padaku dengan sinis saat dia memblokir jalan kaburku yang menyuruhku untuk bertanggung jawab.


Sejujurnya, masih banyak hal yang perlu aku ketahui, dan yang terpenting, masih banyak hal yang tersembunyi antara aku dan Ayana.


Namun, saat ini, aku hanya ingin mencintai gadis di depanku.


Oleh karena itu, didorong oleh rasa cinta untuk Ayana yang meluap dari hatiku dan mengikuti keinginanku untuk melindunginya, aku menempatkan tubuhku di atas tubuhnya.


Dan kemudian setelah beberapa saat, tentu saja, kami pada akhirnya telanjang, saling berpelukan.


“… Fufufu.”


"Ada apa?"


"Enggak ada, aku hanya berpikir aku suka melakukan ini."


Aku membelai kepalanya saat dia tersenyum.


Melihatnya berbaring begitu nyaman, dia memberiku kesan kalau dia seperti kucing.


"Kamu terlihat seperti kucing, Ayana."


"Seekor kucing? *Meoww*~ ♪”


“…………”


"Ah! Apa kamu menyukainya? Aku rasa kamu menemukan fetish baru.”


"Tolong, jangan katakan seperti itu."


Kegembiaraan Ayana si kucing begitu besar. Yah, akupun juga sama, lalu aku tersenyum masam.


"Akemi-san belum pulang."


“Dia bilang padaku kalo dia akan sedikit terlambat. Mungkin dalam satu jam atau lebih."


"Benarkah? Lalu kita bisa tetap seperti ini sedikit lebih lama.”


Mengatakan itu, Ayana membenamkan wajahnya ke dadaku lagi.


Tapi… sekali lagi, melihat Ayana yang telanjang, aku bisa dengan jujur ​​mengatakan kalau dia terlihat sangat cantik dan seksi di saat yang bersamaan.


Setelah itu, kami berpelukan sebentar, namun, kami memutuskan untuk berpakaian menunggu ibuku, yang akan kembali sebentar lagi.


"Towa-kun."


"Ya."


Saat kami sedang bersantai, Ayana tiba-tiba menanyakan pertanyaan.


"Bisakah kamu memanggilku dengan nama sebanyak mungkin?"


"Eh? ... Oke."


Meskipun aku terkejut dengan pertanyaan itu, yang sejujurnya aku tak mengerti apa artinya, aku mendengarkannya dan menyebutnya dengan cara yang berbeda.


“Ayana… Ayana-san… Ayana-chan… Sayang!?”


“… Fufufu!”


"Jangan tertawa!!"


Aku terlalu banyak berpikir untuk memanggilmu 'Sayang'! Jadi jangan tertawa!


Dia mengatakan padaku dia merasakannya, tetapi bahunya gemetar, jadi sepertinya kata-kataku tepat sasaran.


Dia menertawakanku lebih dari yang aku harapkan dan ketika aku hampir dalam suasana hati yang buruk, Ayana meraih tanganku dan berkata…


“Kamu sudah lama seperti ini, Towa-kun. Kamu enggak akan pernah memanggilku seperti itu, kan? Aku mungkin berpikir kalo kamu terlalu pemalu, tetapi aku senang merasa kalo kamu menjagaku bahkan ketika kamu hanya menyebut namaku.”


"Ah~... enggak, hanya saja enggak mungkin memanggil seorang gadis seperti itu, bukan?"


Aku tak tahu apakah kami benar-benar memiliki hubungan yang sangat baik, tetapi tidak mungkin bagiku untuk mengatakan 'Sayang' ke seorang gadis yang dekat denganku seperti Ayana.


“Aku pernah menanyakan hal yang sama beberapa waktu lalu… Fufufu, meskipun bagaimanapun juga, kamu enggak pernah berubah Towa-kun. Kamu selalu baik… dan karna itu, aku akan selalu mencintaimu Towa-kun, karena kamu sangat baik.”


Dia mengatakan itu padaku dan memberiku ciuman di pipi.


Aku tak berpikir ada makna yang mendalam dalam pertanyaan yang baru saja dia tanyakan padaku, tapi tetap saja, aku senang Ayana mengatakan itu sebagai jawabanku sendiri.


Aku akan membenamkan diri dalam cahaya ini untuk sementara waktu selama aku merasakan kehadirannya dekatku.



*** 

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset