Chapter 6 Part 2
***
"......?"
"Ada apa?"
Setelah kelas usai, aku mendapati diriku membantu Iori-senpai dengan pekerjaan OSIS nya lagi.
Dan ketika aku bertanya-tanya apakah ini akan berakhir dalam waktu dekat, aku merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan, tetapi pada akhirnya aku tak tahu apa itu.
Iori-senpai memiringkan kepalanya ke arahku agak terkejut dengan penampilanku, namun, dia dengan cepat berhenti menatapku untuk berkonsentrasi pada sisa pekerjaannya.
Setelah hening sejenak, kami berdua menyelesaikan pekerjaan kami untuk hari ini.
"Fiuuu, terima kasih atas kerja kerasmu, Osamu-kun."
"Tidak, tidak, terima kasih atas kerja kerasmu, Iori-senpai."
“… Fufufu♪”
Untuk beberapa alasan, Iori-senpai tertawa bahagia saat aku mengatakan itu padanya.
Dan saat aku mengira itu adalah seseorang yang tersenyum indah, dia menatap wajahku dan mengatakan hal ini.
“Setiap kali aku memanggilmu untuk membantuku, kamu terlihat khawatir Osamu-kun, tapi begitu pekerjaan dimulai, kamu berkonsentrasi dan membantuku sampai akhir. Aku rasa hal-hal semacam itu membuatmu menjadi orang yang luar biasa.”
"… Terimakasih."
Aku merasakan panas menumpuk di pipiku saat dia mengatakan kalau aku luar biasa.
Sejujurnya, menurut apa yang dikatakan Iori-senpai, itu memang terlihat agak merepotkan bagiku, tapi aku tidak keberatan dia memercayaiku seperti itu... sebaliknya, aku senang bisa memenuhi harapannya bahkan sedikit.
(... Meskipun aku memiliki sedikit rasa superioritas.)
Banyak siswa mengagumi Iori-senpai sebagai ketua OSIS yang cantik di sekolah ini.
Tentu saja, para gadis mengaguminya dan aku juga mendengar kalau banyak para cowok yang mengaku padanya di berbagai kesempatan.
Sementara banyak orang tertarik pada Iori-senpai seperti itu, aku merasa lebih unggul dari mereka karena fakta kalau dia mempercayaiku.
"Sudah waktunya pulang."
"Okey."
Aku meninggalkan ruang OSIS bersamanya dan kami menuju ke pintu masuk sekolah.
Hari sudah mulai gelap di sekitar sini dan di dalam sekolah, hanya ada siswa dari klub yang melakukan kegiatan di halaman, begitu pula para guru masih berada di ruang staf.
Ayana dan Towa seharusnya sudah pulang sekarang, jadi hari ini aku sendirian lagi.
"Osamu-kun, karena kamu sudah bekerja keras, kenapa kita enggak bergandengan tangan?"
"… Eh?"
Apa? Sebelum aku bisa bertanya padanya, dia menarik tanganku.
Aku tidak tahan Iori-senpai menatap mataku sambil memegang tanganku, jadi aku cepat-cepat memalingkan muka, tapi dia melihatku melakukan itu dan tertawa.
Orang ini selalu seperti ini… dia menggangguku lagi dan lagi… meskipun aku tak peduli dia memperlakukanku seperti ini.
"Kamu gugup?"
“……….”
"Fufufu, Apakah itu berarti aku punya kesempatan denganmu?"
Iori-senpai selalu memberitahuku hal-hal seperti itu yang membuatku takut.
Sejujurnya, aku tak tahu mengapa dia sangat memikirkan orang sepertiku, karena aku tak bisa cocok dengannya, yang merupakan seorang gadis cantik.
Aku pernah bertanya padanya mengapa dia begitu peduli padaku dan dia menjawabku seperti ini.
“Jika kamu berkencan denganku, aku akan memberitahumu jawabannya. Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
Berkencan dengan Iori-senpai? Tentu saja, ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tertarik, tetapi dari penampilannya, aku pikir ini pasti lelucon, jadi aku ingat mengatakan kepadanya kalau aku sudah muak dengan lelucon itu.
(Tak peduli seberapa jauh aku melangkah, aku hanyalah manusia biasa… Aku hanya tidak memiliki kualitas yang unik.)
Towa akan memberitahuku untuk tidak terlalu meremehkan diri sendiri, namun, meskipun begitu, kecuali sesuatu yang sangat buruk terjadi, sepertinya aku tak bisa memperbaiki kepribadianku.
Aku sadar kalau aku memiliki harga diri yang rendah dan aku terlalu meremehkan diriku sendiri, tetapi aku selalu seperti itu, itulah sebabnya aku tak bisa memperbaikinya dengan mudah.
(Memang benar Iori-senpai adalah gadis yang sangat cantik… tapi aku suka Ayana. Dia selalu berada di sisiku dan itulah mengapa aku tidak bisa menjalin hubungan seperti itu dengan Iori-senpai.)
Aku juga cowok, jadi ada kalanya aku akan terbawa oleh kata-kata manis Iori-senpai, namun, meski begitu, aku tetap mencintai Ayana.
Itu sebabnya aku tidak akan pernah menyerah padanya. Mulai sekarang aku akan membuat orang yang selalu ada di sisiku bahagia… Ya! Itu benar! Aku akan membuatnya bahagia!
"Ayo cepat, Iori-senpai."
"Tunggu."
Hanya memikirkan Ayana sudah membuatku ingin bertemu dengannya.
Tiba-tiba, saat aku berpikir untuk mengunjunginya di rumahnya sebelum pergi ke rumahku, aku mendengar suara di belakangku, yang bukan suara Iori-senpai.
"Ah! Osamu-senpai!?”
"Eh? Mari?"
"Akhrinya itu kamu, Osamu-senpai!"
Orang yang memanggilku namaku dan berlari ke arahku, adalah kouhai ku, Mari.
Dibandingkan dengan Iori-senpai yang dewasa, Mari terlihat lebih muda dan cantik, meskipun menurutku akan lebih tepat untuk mengatakan kalau dia imut daripada cantik.
“Apakah kamu akan pulang senpai? Jika kamu enggak keberatan, bisakah aku menemanimu?"
"Enggak masalah bagiku. Kamu juga berpikiran sama kan, Osamu-kun?"
"Ya. Ayo kita semua pulang bersama, Mari."
"Ya!!"
Mari menanggapi dengan kegembiraan dan energik, lalu dia berdiri di sampingku, tetapi meraih lenganku seolah-olah ingin memperpendek jarak di antara kami.
Melihat itu, Iori-senpai melepaskan tanganku dan malah memeluk lenganku, semakin menutup jarak kami dari sebelumnya. Sepertinya dia bersaing dengan Mari, yang tersenyum bahagia sambil terlihat malu.
(… Betapa lembutnya.)
Sensasi kecil dan sensasi besar membuatku merasa harga diriku tumbuh.
Setidaknya aku berhasil menyembunyikannya dengan memasang ekspresi seolah-olah aku menolaknya dan yang bisa kulakukan hanyalah berpura-pura tidak mengetahui apapun secara khusus.
"Uchida-san, bukankah kamu terlalu dekat dengan Osamu-kun?"
“Bukankah kamu juga, Honjou-senpai, yang terlalu dekat dengan Osamu-senpai? Tolong menjauhlah darinya."
Tidak sulit membayangkan apa yang akan dipikirkan orang lain jika mereka melihatku dalam situasi seperti ini.
Dua gadis memelukku seolah mereka memperebutkanku.
Jika Ayana melihatku sekarang, dia akan salah paham, jadi aku senang dia tidak berada di sisiku sekarang.
"Aku ingin kalian berdua berhenti berdebat satu sama lain."
"… Aku mengerti."
"Baik."
Mengatakan itu, mereka berdua menjadi tenang.
Mereka tidak hanya berhenti berdebat satu sama lain, tetapi mereka juga melepaskan lenganku yang baru saja mereka pegang.
Aku tak tahu perasaan seperti apa yang mereka miliki untukku, tetapi aku merasa bingung apakah ini rasanya berkencan dengan seseorang.
(… Aku terlalu pemalu!)
Aku malu pada diriku sendiri karena berpikir seperti protagonis harem.
Tak peduli seberapa besar Iori-senpai dan Mari menyukaiku, bahkan jika aku tertarik pada mereka, aku masih memiliki Ayana… Jadi jangan mengharapkan perkembangan yang aneh atau terlalu berharap, Osamu Sasaki!
Tepat pada saat dia memberiku dorongan... Iori-senpai mengatakan kata-kata ini sambil menatap Mari.
"Semua ini, hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan Osamu-kun, Uchida-san?"
Aku berpikir untuk menjawabnya, tapi Mari melakukannya terlebih dahulu.
“Aku hampir selalu berlari di hari libur. Dan pada suatu hari aku bertemu Ayana-senpai. Dialah yang memperkenalkanku pada Osamu-senpai. Bagiku, yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kegiatan klub lari, aku merasa sangat senang berbicara dengan mereka berdua… Hehehe.”
"Itu benar."
Saat aku mendengarkan apa yang Mari katakan, aku teringat akan hari-hari itu.
Hari itu adalah hari biasa lainnya, jadi aku sedang bersantai di rumah, tetapi Ayana meneleponku dan bertanya apakah aku bisa bertemu dengannya saat itu.
Aku bersiap-siap dan pergi menemuinya. Setibanya di tempat yang disepakati, dia bersama Mari dan tentu saja ketika kami bertemu, kami memperkenalkan diri, tetapi percakapan menjadi agak canggung.
"Hei Osamu-kun, sudah kubilang Mari-chan adalah gadis yang baik."
Ayana, yang membuat kami lebih sering bertemu, berhasil berinteraksi dengan Mari dan dengan begitu aku bisa bergaul dengannya sedikit demi sedikit hingga saat ini.
Sejak saat itu, kami berdua lebih sering bertemu tanpa Ayana dan terkadang kami bertemu untuk jogging bersama… Tentu saja, aku tidak bisa mengimbanginya dalam hal kekuatan fisik, dan pada akhirnya aku selalu menyerah dengan cepat.
"Sungguh kebetulan sekali. Berkat Otonashi-san, kamu dan Osamu-kun bisa bertemu. Begitu juga aku, berkat Otonashi-san sekarang aku bisa bergaul dengan Osamu-kun."
"Hal yang sama juga terjadi padamu?"
"Ya."
Memang benar aku bisa bertemu Iori-senpai berkat Ayana.
Selama diskusi kelas, Ayana biasanya mengambil inisiatif untuk menyatukan semua orang untuk membuat satu keputusan bersama, dan ada saat ketika Ayana memberitahu ketua OSIS, Iori-senpai, apa yang telah diputuskan di kelas selama diskusi.
Suatu hari, Ayana memintaku untuk menemaninya ke ruang OSIS, jadi aku pergi bersamanya dan begitulah aku bertemu Iori-senpai.
(Aku bertemu Iori-senpai, tapi dia memberiku kesan kalau dia adalah orang yang dingin dan menakutkan.)
Saat itu, aku takut memikirkan hal seperti itu, namun, berkat Ayana, yang pandai berurusan dengan orang, berada di sisiku, Iori-senpai dan aku menjadi teman seperti Mari.
Karena itulah, aku menjadi dekat dengan Iori-senpai.
"Kalau dipikir-pikir, Otonashi-san adalah dewi cinta bagi kita dan Osamu-kun."
"Itu benar! ...Yah, sepertinya Osamu-senpai enggak menyadarinya sama sekali."
Aku tak ingin mereka berdua melihatku.
Tidak tahu bagaimana harus bereaksi, mereka berdua menghela nafas saat melihatku merasa malu.
"… Itu nggak benar."
"Ya, itu nggak baik."
"Apa yang aku lakukan!?"
Aku tak sengaja tsukkomi dengan keras.
Aku mengeluarkan suara yang sangat keras hingga mereka berdua segera meminta maaf, mungkin mereka melakukannya karena mereka pikir mereka terlalu berlebihan… meskipun sebenarnya itu bukan permintaan maaf.
Aku bertemu mereka berkat Ayana dan berteman dengan mereka, tetapi aku bisa dengan pasti mengatakan kalau mereka cukup penting bagiku.
(Aku tidak membenci ini, ini adalah momen favoritku.)
Hari-hari yang aku habiskan bersama Ayana dan Towa, dan hari-hari yang aku habiskan bersama Iori-senpai dan Mari, adalah saat-saat yang sangat berharga bagiku.
Yah, bagimanapun juga, tempat yang paling membuatku merasa damai adalah bersama Ayana… Mungkin?
Lalu aku menyadari kalau Iori-senpai dan Mari menatapku dengan cara yang tak terlukiskan. Mungkin buruk karena aku memikirkan Ayana.
"… Ada apa?"
"Mmm, menurutku Otonashi-san adalah musuh yang tangguh."
"Itu benar. Ayana-senpai terlalu kuat!"
Aku tidak mengerti mengapa mereka menyebut nama Ayana…
Aku merasa seolah-olah mereka telah membaca pikiranku, tetapi dalam arti tertentu, tidak ada keraguan kalau aku selalu memikirkan Ayana.
Justru karena kami sudah berteman sejak kecil, dia adalah orang yang paling mengerti aku.
Dia selalu di sisiku dengan senyuman dan senyum itu benar-benar harta terbesarku.
“… Aku suka Ayana.”
Aku bergumam pada diriku sendiri agar mereka tidak mendengarku.
Mereka mungkin menertawakanku jika aku mengatakan ini, tapi hubunganku dan Ayana telah disetujui oleh orang tua kami.
Dia telah berada di sisiku selama ini tanpa menunjukkan satu pun wajah buruknya, jadi aku yakin perasaanku akan sampai padanya… itu sebabnya aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
"Oh! Itu benar, Osamu-senpai!"
"Ada apa?"
"Sama seperti Otonashi-senpai, menurutku Yukishiro-senpai juga luar biasa!"
Aku mengangguk setuju pada kata-katanya.
Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya Mari bertanya padaku tentang Towa. Sejujurnya, pada saat itu aku berpikir kalau aku bisa menjawab apa pun yang dia tanyakan padaku, tentu saja, selama aku tahu------ namun, aku membeku mendengar kata-kata Mari selanjutnya.
“Aku punya kesempatan untuk berbicara dengannya di pagi hari, namun ada topik yang enggak bisa aku bicarakan saat itu. Yukishiro-senpai sangat hebat dalam sepak bola, kan?"
"Apa? Benarkah?"
Tidak seperti Iori-senpai, yang bereaksi dengan penuh minat, aku merasa seolah ada bayangan yang menutupi hatiku.
Towa adalah sahabatku… tapi, meskipun kami berteman baik, topik sepak bola adalah semacam tabu di antara kami.
“Aku tahu itu saat SMP, tetapi aku ingat ada rumor kalau dia benar-benar pandai dalam sepak bola. Namun, dia mengalami kecelakaan dan mengalami cedera… kemudian aku mendengar kalo pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dari sepakbola.”
Ketika Mari bertanya apakah aku tahu sesuatu tentang itu, aku tidak bisa langsung menjawabnya.
Karena kejadian itu… tidak, itu sudah berakhir sekarang.
Bahkan Towa memaafkanku, jadi itu semua sudah berakhir sekarang!
“Terkadang hal-hal ini bisa terjadi. Jangan khawatir Osamu, aku senang kamu baik-baik saja."
Soalnya, bahkan Towa mengatakan itu dalam pikiranku… jadi semuanya baik-baik saja.
Namun, meski begitu, aku memutuskan untuk tidak mengatakannya ke Mari.
“Sebenarnya, aku juga enggak tahu… sama sekali. Aku yakin jika kita membicarakannya dengannya, dia akan frustrasi, jadi sebaiknya jangan terlalu banyak mencampuri masalahnya."
Aku sampai pada kesimpulan kalau ini akan lebih baik untuk Towa.
Setelah mendengar kata-kataku, mereka berdua tidak bertanya topik itu secara mendalam, dan malah dengan cepat mengganti topik pembicaraan.
"... Fiuuu."
Aku merasa lega dari lubuk hatiku kalau topik Towa sudah berakhir.
Jadi, sambil berpura-pura tenang dan mengobrol santai dengan mereka berdua, aku berpikir kalau Towa adalah sahabatku.
Jika… Towa adalah sahabatku.
(Tapi, serius…)
Sahabatku, sahabatku yang bisa melakukan apa saja, aku… aku iri dengannya.
Aku sangat iri dengan Towa, karena dia pandai belajar, olahraga, punya banyak teman, dan bergaul baik dengan Ayana.
Aku iri dengannya karena memiliki semua yang tak kumiliki dan pada saat yang sama aku cemburu.
"… Eh?"
"Sayangnya kamu tidak akan bisa berpartisipasi dalam turnamen sepak bola, karena hal itu akan menyulitkanmu."
Aku mendengar kata-kata itu datang dari kamar rumah sakit Towa dan ketika aku melihat melalui celah kecil di pintu kalau Towa benar-benar linglung, aku berpikir dalam hati-----
‘Nah, mari kita lihat apa yang kau lakukan sekarang.'
Tapi itu bukan perasaanku yang sebenarnya, hanya kecemburuanku.
Meski begitu, aku tertawa ketika melihat Towa, yang masih terbaring di ranjang rumah sakit, diliputi oleh kenyataan yang menyakitkan.
(Pada saat itu, aku tentu saja menertawakannya saat melihatnya seperti itu dan kemudian, aku merasa ada seseorang yang berada dekat denganku.)
Mungkin pada saat itulah, seseorang memelototiku...