Chapter 6 -
Keputusan yang salah.
"Satsuki-senpai!"
Sepulang sekolah, aku disambut oleh suara yang biasanya di loker sepatu.
Seolah menungguku datang, Uzuki-chan tersenyum dan melambaikan tangannya, meskipun menurutku waktunya tidak tepat sekarang, namun, aku akan berusaha untuk tidak menunjukkannya di wajahku.
"Maaf Uzuki-chan. Aku sibuk hari ini."
Aku akan mengambil inisiatif dan mencegah Uzuki-chan berperilaku tak rasional.
Aku baru saja menolak ajakan Yayoi-chan, jadi aku tidak bisa bertemu Uzuki-chan sepulang sekolah.
Hari ini aku harus jelas dalam keputusanku.
"Begitu. Aku belum mengatakan apapun, tapi kamu harus berhenti menjadi senpai yang membosankan."
Dia tampaknya tidak terlalu kecewa, jadi aku lega.
“Lagi-lagi dengan wajah rumit itu? Apa yang terjadi?"
"Enggak ada yang terjadi. Ini wajahku yang biasa."
Dia dengan santainya mengatakan itu, karena aku memiliki wajah yang rumit dari apa yang terjadi beberapa saat yang lalu.
“Apa kamu seperti ini karena Onee-chan? Kelihatannya dia akan sibuk hari ini, ya. Sayang sekali."
"Sepertinya begitu."
Kurasa itu berarti dia bekerja sebagai Agen sekarang.
Aku juga tahu itu. Itu sebabnya aku menolak.
“Haa. Onee-chan adalah orang yang beruntung. Pada akhirnya, senpai memiliki banyak hal yang perlu dikhawatirkan…”
“Jangan khawatir tentang itu… Uzuki-chan?”
Aku pikir itu leluconnya yang biasa, jadi aku mencoba untuk membiarkannya, tetapi kata-kata Uzuki-chan tiba-tiba terhenti dan matanya yang besar tampak menjadi gelap.
“… Onee-chan adalah orang yang sangat enggak peka, jadi Satsuki-senpai, kamu harus mulai mendorongnya! Kamu hanya perlu memaksanya untuk pergi kencan lagi.”
Uzuki-chan mengeluarkan suara kering dan ceria sambil menatapku.
Itulah wajah Uzuki-chan yang biasa.
Tampaknya ketegangan telah mereda sesaat, tapi kurasa itu hanya imajinasiku.
"Aku enggak bisa mengajaknya dengan mudah tanpa alasan."
“Saat kencan pertamanya, kamu mengajaknya kencan di tengah kelas, kan? Apa yang membuatmu begitu malu sekarang?"
"Itu karena Uzuki-chan ingin aku menemukan Yayoi-chan yang sebenarnya…"
Uzuki-chan dengan santai mengingatkanku pada masa laluku yang memalukan, tapi bagaimana dia tahu kalau aku mengajaknya kencan di kelas?
"Fakta kalo kamu menyukainya sudah menjadi alasan yang cukup untuk mengajaknya kencan."
Dia tersenyum lebar dan menyentuh dadaku dengan jari telunjuknya.
Mendengar kata-kata 'Kamu menyukainya', dia mengalirkan arus listrik ke dadaku, lalu menusuknya.
"Hei, jangan katakan hal semacam itu!"
"Saat kencan kedua, para cewek itu mengharapkan sebuah pengakuan. Kamu akan melakukannya?"
“A-aku enggak akan mengaku! Aku enggak punya rencana untuk berkencan!”
"Sungguh?"
Wajah Uzuki-chan, yang memiringkan kepalanya sambil menatapku, memiliki senyum jahat di wajahnya.
Sanae dan Uzuki-chan, apa yang kalian ingin kulakukan?
Aku berharap mudah untuk mengajak Yayoi-chan berkencan.
"Aku bercanda. Aku tahu kalo Satsuki-senpai bukanlah cowok yang ceria. Nah, itu saja untuk hari ini… kamu sibuk, kan?"
“Itu benar, aku sibuk! Sampai jumpa!"
Aku meninggalkan sekolah tanpa mengetahui niat sebenarnya dari Uzuki-chan.
Langit yang gelap terasa sedikit tak nyaman untuk saat ini, karena rasanya seolah ditahan dari atas.
Psikis, rahasia, kebohongan, rasa bersalah------ Saat ini, aku terikat dengan terlalu banyak hal.
Saat perjalanan pulang, kereta berhenti di Stasiun Gion Shinbashi, lalu menyeberangi Sungai Ota dan berbelok tajam ke kiri. Aku memejamkan mata melihat pemandangan yang bergerak perlahan dari jendela kereta dan mengistirahatkan tubuhku dengan bersandar di kursi.
Itu adalah pertama kalinya aku tahu kalau jatuh cinta dengan seseorang membuatku merasa sangat cemas.
Aku tahu rahasianya, aku jatuh cinta padanya, aku tidak ingin dia membenciku dan aku merasa bersalah menyembunyikan rahasiaku; semua itu membuatku merasa tidak nyaman, selain itu, aku menolak ajakan Yayoi-chan.
Sejujurnya, aku ingin berbicara lebih banyak dan bersamanya.
Aku ingin mengajarinya bermain piano.
Aku ingin dia datang ke rumahku.
Seperti yang dikatakan Uzuki-chan sebelumnya, aku ingin mengajakmu kencan.
Aku tahu seharusnya aku tidak menahan diri, tetapi keegoisanku menghalangi Yayoi-chan.
Sekarang dia mencoba menjadi Agen dan gadis SMA, aku rasa tidak tepat baginya untuk melepaskan pekerjaan Agennya untuk datang ke rumahku. Meski begitu, tingkat perhatian di sekolah meningkat, yang membuat pekerjaannya semakin sulit…
Aku khawatir karena aku tahu segalanya.
Apa yang harus kulakukan untuk Yayoi-chan?
Alangkah indahnya jika aku bisa melupakan semua informasi yang aku dapatkan dengan tangan kiri ini. Betapa indahnya jika aku bisa bertemu Yayoi-chan lagi dari awal dan jatuh cinta tanpa mengetahui apa-apa atau terikat oleh rahasia satu sama lain.
Begitu kau melihat rantai yang mengikat hatimuu, mereka tak akan pernah pergi.
Aku turun dari kereta dan pulang.
Aku ingin membayangkan Yayoi-chan ada di sampingku, tapi ilusi biasa itu tidak terlintas di benakku.
Sebaliknya, aku ingat apa yang pernah dikatakan Uzuki-chan padaku.
"Gadis-gadis di usia ini berubah-ubah."
Aku mengabaikannya pada saat itu, tetapi kalo dipikir-pikir, itu ada benarnya.
Tidak ada jaminan kalau Yayoi-chan akan selalu menganggapku keren.
Jika seseorang selain aku muncul, dan pandai bermain piano, dia mungkin mencoba mengajarinya cara bermain.
Faktanya, di SMA, sekelompok pengawal yang tak sopan mengikuti Yayoi-chan dengan tujuan untuk memiliki kesempatan bersamanya, terlebih lagi, dari apa yang aku dengar, siswa tahun ketiga juga menunjukkan ketertarikan pada fakta kalau aura 'Jangan mendekatiku' telah menghilang.
Bahkan di luar sekolah, kau tak pernah tahu kapan dia akan didekati oleh orang mesum, dan disisi lain, jika dia sedang berjalan di sekitar Hatchobori, dia mungkin akan didekati oleh cowok-cowok pampan.
Itu benar, Yayoi-chan cantik!
Tidak mungkin dia akan selalu mencintai pria sepertiku, yang cenderung negatif dan rumit!
“Ahhhhhhh! Apa yang harus kulakukan!”
Terlalu banyak hal negatif yang menumpuk di benakku, hingga aku tak bisa menahan diri untuk berteriak di tengah lalu lintas sore hari.
Akulah orang yang menarik hati Yayoi-chan saat bermain piano di Festival Budaya tahun lalu, Meskipun aku gagal?
Aku sangat trauma dengan pertunjukan hebat yang aku tampilkan di Festival Budaya hingga aku akhirnya tak bisa bermain piano lagi.
Bagaimana orang yang tak berguna seperti ini bisa begitu sombong!?
Mungkinkah karena aku tenggelam dalam rasa keunggulan?
Sekarang itu hanya cinta tak berbalas!
Belum ada yang dimulai, kan? Kapan aku mencetak gol? Apakah aku mendengar peluit itu dimulai?
Tidak ada yang akan terjadi jika aku hanya menunggu, meskipun satu-satunya hal yang akan terjadi hanyalah waktu yang akan berlalu.
Jika ini hanya tentang waktu, tidak masalah, tetapi hal-hal penting mungkin akan terlewatkan dari perhatianku.
“Ahhhh, aku bingung…”
Pikiran negatif membanjiri kepalaku seperti ombak yang mengamuk.
Itu dan itu menimpaku tanpa ampun.
Aku tanpa sadar merasa pusing dan lelah, yang menyebabkan diriku bersandar ke dinding.
Ada istilah piano yang disebut: 'Ma semper ben marcato it tema'. Itu tanda yang artinya: 'Selalu mainkan semua tema dengan cukup jelas'.
Saat ini, semua masalah selalu samar-samar dan aku tidak yakin apa yang ingin kulakukan.
Tentang Yayoi-chan, tentang diriku, tentang psikis…
Dinding yang aku sentuh dengan tangan kiriku dingin dan tidak mengatakan apa-apa padaku.
Lagipula, aku tidak punya pilihan selain memercayai psikisku…
"… Apa yang kamu lakukan?"
Saat aku menundukkan kepalaku, aku mendengar suara familiar yang dingin di belakangku.
Seolah-olah ada hantu yang tiba-tiba muncul menyebabkan tubuhmu membeku.
"Akan merepotkan jika kamu pingsan di tempat seperti ini, jadi ayo segera pulang!"
Dia meraih lenganku.
Di sana ada Sanae yang dalam perjalanan pulang dari sekolahnya.
"Sanae..."
"Aku malu karna orang-orang mengira aku punya hubungan kerabat denganmu, jadi bisakah kamu enggak memanggilku dengan nama depanku?"
“… Apa kamu selelu mengawasiku selama ini?”
“Aku baru saja melihatmu keluar dari stasiun dengan wajah pucat, dan tiba-tiba kamu mulai berteriak, 'Ahhhhh! Apa yang harus kulakukan!' Lalu kamu bersandar ke dinding, dihancurkan oleh keputusasaan!”
Dia melihatku terus menerus! Dari sudut ke sudut!
"Ayo, bangun."
Apa yang baru saja adikku lihat?
Akhir-akhir ini status kakakku telah runtuh.
“Kamu sudah cukup dewasa untuk berteriak di depan umum. Jika aku orang lain, aku pasti sudah melaporkanmu sekarang."
"Maaf…"
Beberapa waktu yang lalu, aku teringat akan kenyataan yang kejam, hanya untuk berakhir kecewa dan kesal.
"Ayo pulang!"
Aku mengikuti Sanae, yang dengan cepat membawa tasnya dan mendahuluiku.
"Apa yang terjadi? Yayoi-san menolakmu?"
"Ah, dia enggak menolakku!"
Sanae memasukkan jarinya pada luka itu.
"Jadi kamu mereasa tertekan karna memikirkan hal negatif tentang kemungkinan Yayoi-san akan meninggalkanmu, kan?"
"Eh…"
Aku tak bisa berkata apa-apa.
Aku selalu berpikir gadis ini pintar, tunggu, apakah dia juga menggunakan psikis?
“Onii-chan, berhentilah melakukan hal semacam itu. Kamu selalu berpikir terlalu banyak dan itulah mengapa kamu akhirnya membuat keputusan yang salah."
Dia menoleh ke belakang untuk menatapku dan kemudian menyipitkan matanya seolah mengejekku.
“… Seperti apa keputusan yang salah?”
Tetapi hal ini tak bisa diabaikan, jadi aku bergumam menaggapinya dengan sebuah pertanyaan.
"Seperti apa? Yah, saat aku merusak piano di kelas mama."
Sanae tiba-tiba berhenti dan mengatakan hal seperti itu.
Dia berhenti berjalan dan segera mulai mengingat suatu kejadian.
"Itu... Saat itu aku bahkan belum mulai bermain piano..."
“Saat kamu masih kelas satu SD.”
Sanae juga tidak menunggu jawabanku dan mulai berjalan sambil terus membicarakan kenangannya.
“Aku pergi ke les piano mama dan melihat Onii-chan berlatih piano. Kamu melakukannya dengan sangat baik hingga ibu dan murid lainnya memujimu.”
Dia melanjutkan ceritanya dengan perlahan.
Aku bukan murid piano resmi.
Sebagai anak guru, aku diperbolehkan untuk bermain sedikit di akhir pelajaran, bahkan diberi pujian dari para murid yang melihatku melakukannya.
Itu adalah saat ketika mereka memberitahuku kalau aku adalah anak guru, yang membuatku terbawa suasana.
Bagiku, mungkin saat itulah diriku yang paling menikmati bermain piano. Aku baru saja mulai bermain dan belum menyadari kurangnya bakatku. Saat itulah aku menjadi orang bodoh yang sombong dan yang tak memiliki kekhawatiran.
Namun, apa yang dikatakan Sanae bukanlah tentang kenangan indahku.
Aku menatap ke langit bertanya-tanya apakah aku harus membiarkan semuanya berlanjut seperti ini. Tidak ada tanda-tanda awan cerah sama sekali, dan aku ingat cuaca hari itu seperti hari ini.
"Hari itu…"
Sanae tidak sabar dan terus berjalan ke depan sambil mencari kenangan akan keputusan yang salah.
“Aku merasa iri saat melihat Onii-chan pada waktu itu. Ketika onii-chan dan mama meninggalkan ruangan, aku berpikir untuk mencoba bermain piano juga. Pada saat itulah, ketika aku mencoba bermain piano untuk pertama kalinya…”
Karena itu, Sanae berhenti.
Sesampainya di jembatan, kami meletakkan tangan di pembatas, dan melihat ke arah sungai. Dua ekor burung putih sedang mandi di sungai Ota, yang tak memiliki banyak air.
“Aku enggak tahu apa yang harus kulakukan, jadi aku menekan tuts dengan sekuat tenaga. Aku terkejut ketika mendengar suara yang menakutkan seperti hantaman karena aku adalah satu-satunya orang di ruangan itu pada saat itu, ditambah lagi ruangan itu kedap suara, jadi enggak ada yang bisa mendengarku.”
Itu adalah kenangan pertama Sanae dengan piano, yang tak terlalu menyenangkan.
Tentu saja, aku tidak benar-benar melihat kejadian itu. aku tidak melihatnya...
"Sanae..."
Aku kehilangan kata-kata.
Aku mengerti maksud Sanae, arti dari keputusan yang salah.
“Onii-chan bermain dengan sangat bagus, tetapi saat aku memainkannya, suara yang menakutkan keluar dan aku takut. Aku ingat memegang tangan Onii-chan saat pulang hari itu karena aku merasa telah melakukan sesuatu yang salah, tetapi pada akhirnya, masalahnya adalah karena pianonya enggak selaras."
Wajah Sanae penuh nostalgia dan kesedihan; Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan ini.
Melihat itu, aku mengambil alih kenangan kami.
“Ada keributan tentang siapa orang terakhir yang bermain piano sehari sebelumnya. Ibu kita sangat marah ke murid-murid, berkata kalo seseorang yang memainkan alat musik dengan kasar enggak berhak bermain piano.”
"Wajar jika mama akan marah."
Itu seperti tamparan di wajah, tetapi dengan nada yang menunjukkan penyesalan.
“Awalnya ada kelembutan saat penyetelan. Itulah satu-satunya alasan Sanae…”
“Aku enggak bisa mengatakan apa-apa ke mama, jadi aku hanya diam. Namun, Onii-chan berkata: 'Aku melakukannya', kan?"
Aku tidak menjawab.
Namun mengetahui kalau diam itu berarti memperjelas.
"Onii-chan kamu menyadarinya dan melindungiku."
"... Yah, hanya saja mencari pelakunya ternyata lebih merepotkan."
Aku berpura-pura kalau itu adalah masalah orang lain, tetapi memang benar aku melakukannya untuk melindungi Sanae.
Dalam perjalanan pulang hari itu, Sanae terlihat mau menangis setiap saat karena tangannya selalu gemetar.
“Aku membuat suara yang menakutkan. Aku takut…"
Saat itulah aku mengingat semuanya.
Aku telah menggunakan psikis ke Sanae.
“Aku pertama kali mengetahui tentang apa yang kamu lakukan, setelah mereka memberitahuku tentang hal itu. Itu keputusan yang salah, Onii-chan."
"Kurasa aku enggak melakukan kesalahan."
"Itu nggak benar. Itu masih membuatku merasa bersalah."
Menanggapi kata bersalah, lubuk hatiku bergetar hebat.
Saat aku menoleh ke samping, Sanae menatapku.
"... Aku minta maaf atas hal itu."
"Enggak apa-apa. Sekarang sedikit lebih mudah karna kita bisa bicara."
Sanae mengangguk dengan ekspresi lebih dewasa.
Keputusan yang salah------
Tentu saja, aku memiliki niat baik saat aku melindungi Sanae saat itu. Baginya, yang belum pernah bermain piano, itu tak terduga, ditambah lagi dia masih kelas satu sekolah dasar.
Jika ibu kami memarahinya karena itu, dia mungkin tidak akan pernah bermain piano dan mungkin akan membencinya. Bukan itu yang aku inginkan terjadi.
Sampai sekarang, aku berpikir kalau aku telah membuat keputusan yang tepat, tetapi tidak begitu bagi Sanae…
Apakah aku akan mengulangi hal yang sama lagi?
Apakah salah jika aku menolak memikirkan Yayoi-chan?
Aku bertanya-tanya berdasarkan kenangan yang dikatakan Sanae.
“Kamu membuat wajah rumit itu lagi! Aku enggak mengatakan itu untuk membuatmu khawatir Onii-chan!"
Sanae mengarahkan jari telunjuknya ke depan wajahku.
Aku mencoba memaksakan sudut mulutku ke atas, tetapi aku hanya tersenyum bengkok.
"Yah, apa kamu mengatakan kalo aku membuat keputusan yang salah lagi?"
"Menurutmu gimana? Jika kamu membelikanku donat, aku bisa memberimu beberapa saran.”
Ada toko donat di dekat sini, sekarang, Sanae menjulurkan lidahnya ke arahku.
"... Mau bagaimana lagi."
"Yey!! Lets go!"
Itu hukuman karena melindungi Sanae di masa lalu.
Melihatnya sangat bahagia, aku merasa seperti sedikit mengurangi beban di pundakku.
Di saat yang sama, aku menyadari kalau apa yang kulakukan untuk Yayoi-chan mungkin sebenarnya membuatnya merasa bersalah.
“Misalnya aja…”
Donat ini sudah menjadi makanan wajib saat aku berbicara dengan Sanae.
Aku adalah kakak yang tidak layak yang masih tidak bisa jujur.
"Ini sangat menyenangkan."
Sanae perlahan melambai padaku sambil mengisi mulutnya dengan donat. Ada banyak gula bubuk di ujung jarinya.
Donat yang dibeli dalam jumlah besar di toko donat berserakan di meja. Di sisi lain, dia tak peduli apakah itu hadiah dariku, tapi aku tidak tahu apakah dia bisa makan malam karena dia sudah makan cukup banyak.
"Duduk tegak."
"Hah?"
"Kamu nggak mau aku memberimu saran?"
"Aku membelikanmu donat!"
“Aku enggak semurah itu. Jumlah ini sama seperti saat aku memberimu saran gratis beberapa hari yang lalu.”
Dia menjilat krim kocok putih yang ada di bibirnya.
Jika kau tidak pandai dalam hal ini, maka jujurlah, tidak ada adik perempuan yang lebih baik daripada kakak laki-laki!
“Kuh…!”
Nasihat Sanae telah membantuku di masa lalu, jadi sebaiknya aku santai saja.
Aku berlutut di bantal dan duduk tegak seperti yang dia katakan padaku.
“Onii-chan, kuharap kamu selalu jujur. Baiklah, mulailah bertanya padaku!"
Sanae bersandar dengan puas.
Ini juga karena hubunganku dengan Yayoi-chan. Pada saat ini, aku akan mengesampingkan semua situasi aneh meminta nasihat adikku tentang cinta!
"Apa maksudmu aku membuat keputusan yang salah?"
Aku meletakkan tanganku di atas lutut dalam posisi seiza, dan kemudian mulai berbicara sambil mencondongkan tubuh ke depan.
“Yayoi-san yang cantik itu sepertinya menyukaimu, tapi belum ada kemajuan, kan? Itulah jawaban dari semua masalahmu, Onii-chan."
Dia mengatakannya seolah-olah itu adalah hal yang biasa sementara tangannya terlihat ragu-ragu di depan donat yang banyak. Setelah ragu-ragu, dia memilih donat double coklat sebagai donat keduanya.
"Kamu enggak tahu bagaimana perasaan Yayoi-chan, selain itu keputusanku nggak ada hubungannya dengan itu."
“Kamu mengkhawatirkan hal-hal negatif seperti: 'Lagipula, aku enggak cocok dengan Yayoi-san. Apa yang harus kulakukan jika dia meninggalkanku?’ Kurang ajar sekali bagimu berpikir seperti itu, padahal kamu bahkan belum mulai berpacaran."
Suara jantungku yang berdebar akan segera keluar dan tanpa sadar aku menahan napas.
Aku tidak bisa menerimanya sebagai seorang kakak aku bisa menyimpulkan sesuatu yang telah lama menggangguku.
"Aku nggak akan mengatakan itu negatif, karena itu normal untuk bertanya pada diri sendiri apakah kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mencintai seseorang, bukan begitu?"
Meskipun aku penuh dengan hal negatif sampai sekarang, aku semakin kuat.
“Jika kamu memenuhi syarat? Onii-chan, apa menurutmu cinta setara dengan menjadi dokter atau pengacara? Apakah kamu seorang siswa yang sedang mempersiapkan ujian masuk universitas di malam hari?”
Sanae menatapku melalui lubang donat, terlihat seperti alien.
“Ada beberapa orang yang berpikir seperti itu dan jatuh cinta pada orang lain. Maksudku, seperti Onii-chan."
Aku meletakkan tanganku di paha dan menghela napas lega.
“Apakah kamu idiot yang mengira dia akan meninggalkanmu, meskipun kamu bahkan enggak berkencan dengannya? Itu buang-buang waktu."
Sanae hari ini terlalu agresif, aku merasa dirinya akan memukulku.
"Tetapi…"
Meskipun aku mengatakan kalau aku akan meminta nasihat darinya, pada akhirnya aku tidak bisa mengungkap akar masalahku, jadi aku terjebak. Sanae bisa mengatakan padaku dengan jujur, tapi ada kalanya aku tidak bisa mengatakannya.
Seperti psikis, Agen...
Aku khawatir karena ada rahasia yang tidak bisa aku ceritakan kepada siapapun, jadi jika aku bisa berbicara dengan seseorang dan menyelesaikannya, aku tidak akan sekhawatir sekarang.
Seharusnya aku bisa jatuh cinta dengan lebih jujur, seperti yang kuinginkan.
“Lagi-lagi kamu tenggelam dalam pikiranmu. Cinta enggak membutuhkan buku referensi atau ujian, cinta adalah hal yang membahagiakan yang membuat siapapun bahagia. Sangat mudah, bukan?"
Sanae, begitu juga Uzuki-chan, mengatakannya dengan mudah.
"Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan..."
"Itu mudah. Onii-chan, kamu suka Yayoi-san, kan? Kamu berkencan dan bermain piano, kan? Kamu bahkan mengajaknya untuk datang mengunjungi kami di rumah, kan?"
“Kenapa kamu tahu semua itu…?”
Sumber informasinya sudah pasti Uzuki-chan.
Kalau dipikir-pikir, mereka berdua pasti bertukar akun LINE tempo hari, bukankah semua informasi yang berhubungan denganku bocor?
“Jalan cinta Onii-chan sudah menjadi jalan lurus dengan pemandangan yang indah, jadi nggak ada tempat bagimu untuk tersesat. Meskipun nggak ada yang bisa kamu khawatirkan, apakah kamu enggak lelah menggali lubang, mengambil jalan memutar, dan menunggu hujan turun? Itulah keputusan yang salah yang kumaksudkan.”
Dia menjilati gula di jarinya dan memberikan pendapat yang agak pahit.
"Aku enggak berpura-pura sedang mengalami masa-masa sulit."
“Bahkan di SMA, sikap Onii-chan terhadap Yayoi-san masih canggung. Uzuki-san memberitahuku, okay? Kami para gadis peka terhadap hal semacam itu, jadi berhati-hatilah."
Bagaimanapun juga, informasinya bocor… Di mana privasiku?
“Oleh karna itu, Onii-chan, jangan terlalu banyak berpikir, percaya diri saja, karena nggak seburuk yang kamu pikirkan.”
Meskipun dia telah mengatakan kalau aku adalah cowok yang malang dan menyedihkan sampai sekarang, dia benar-benar pandai berubah pikiran.
"Nggak hanya senang saat kamu mengatakan itu padaku."
“Kalau begitu lakukan yang terbaik untuk membuat Yayoi-san mengaku padamu! Ini bukan waktunya untuk berbicara dengan adikmu tentang romansa!”
Sanae memberiku senyum kaku saat dia menyentuh bahuku untuk menyemangati.
Ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku membicarakan hal semacam ini dengan gadis ini. Aku tak tahu apa yang akan dia tanyakan selanjutnya, aku khawatir pertanyaannya akan sulit ditangani, karena dia selalu mendapatkan terlalu banyak hal yang benar, yang membuat pikiranku lelah.
“Kalo kamu hanya mau jatuh cinta, maka khawatirkan saja di dalam mimpimu. Sebaliknya, cinta sejati itu menyenangkan karena memiliki pasangan, bukan begitu?”
Dengan wajah serius, Sanae menatapku dengan postur berjongkok dan membungkuk.
"Ya, itu benar..."
Bahkan dengan adik perempuan yang nakal, ada sesuatu yang beresonansi denganku saat dia mengatakannya di depanku seperti itu.
Cinta itu dua.
Yang kurang dariku adalah kepercayaan diri.
Apakah kurangnya rasa percaya diri itu membuatku membuat keputusan yang salah dalam cinta?
Apakah aku terlalu banyak berpikir untuk mencoba menjaga jarak dari Yayoi-chan?
Bukan itu, tetapi aku tentu saja tidak boleh menghalangi jalannya sebagai Agen. Jika itu masalahnya, apa yang menyebabkan kekhawatiranku saat ini adalah…
Menyembunyikan psikisku darinya-------
Aku meremas tangan kiriku dengan kuat di lututku, yang harus disalahkan atas semua masalahku.
Aku tahu bagaimana menghilangkan rasa bersalah ini untuk bergerak maju tanpa menahan diri dan terus terang.
Aku tahu jawabannya.
Tapi itu juga jalan yang paling sulit.
“Nah, sarannya sudah selesai! Saatnya berlatih piano!”
Setelah makan lima donat, Sanae berdiri lalu membetulkan roknya.
Apakah gadis ini benar-benar siswi SMP?
Bukankah nasihat cinta dadakan semacam ini diberikan oleh seorang pekerja kantoran berusia 30an yang telah mengatasi kekecewaan dan kegembiraan dalam cinta?
"Kapan kamu mulai mengatakan hal-hal seperti ini seolah kamu seorang guru cinta?"
Aku bertanya padanya sebelum pergi ke kamarku sementara Sanae sedang mencari partiturnya untuk latihan piano.
Mustahil untuk berpikir kalau dia memiliki pengetahuan yang luas dalam hal cinta, kecuali dia telah mengalaminya berkali-kali, bukan begitu?
"Aku jauh lebih jatuh cinta daripada Onii-chan."
"Apa ... kamu serius?"
Aku secara tak sengaja menjawab dengan pertanyaan lain.
Aku selalu menganggapnya sebagai adik perempuanku, tetapi apakah dia memberitahuku kalau dia berada di depanku dalam hal cinta?
"Bukankah ini tentang pacar...?"
"Enggak ada hal seperti itu, tapi ada orang yang menyukaiku."
Wajah Sanae memerah.
“Se-sebenarnya…”
Jika dia membuat pernyataan yang begitu jelas, aku tidak akan bisa mendengarkannya lagi.
Aku tidak ingin masuk terlalu jauh ke dalam urusan cinta adikku.
"Aku ingin menjadi gadis SMA yang ceria seperti Uzuki-san, yang terus membuat segala macam lelucon yang berhubungan dengan cinta."
Kisah cinta seorang gadis adalah zona terlarang yang diinginkan dan tidak ingin didengar orang.
Perutku sakit hanya membayangkan hal-hal apa yang akan mereka bicarakan tentangku di belakangku.
"Jangan katakan hal-hal yang enggak perlu ke Uzuki-chan, oke?"
"Hal-hal yang nggak perlu?"
"Hal-hal yang enggak perlu adalah hal-hal yang enggak perlu!"
"Okay, okay, aku mengerti."
Kerahasiaan cinta harus dilindungi!
"Kalo kamu mau bermain piano, maka lakukanlah dengan tenang!"
"Iya, iya."
Aku kembali ke kamarku di lantai dua, meninggalkan Sanae.
Aku ingin dia tetap sebagai adik perempuanku sehingga dia tidak mengalahkanku sedikitpun dalam hal cinta, tetapi itu takkan mungkin lagi.
Dalam perjalanan ke kamarku, aku bisa mendengar suara Sanae bermain piano.
"Aku menyuruhnya untuk enggak membuat keributan..."
Yang kudengar adalah 'Fur Elise'
Dikatakan kalau karya itu dipersembahkakn untuk wanita tercinta yang dicintai Beethoven, Elise.
Aku tak mengerti mengapa Sanae memilih untuk memainkan lagu itu saat ini, namun, aku merasa dia menarikku kembali karena aku menyukai suaranya yang lembut dan indah.
"Itu benar. Aku harus percaya diri dan melakukannya."
Sudah kuputuskan.
Aku harus memberitahu Yayoi-chan tentang psikisku.
Ini tidak sama jika aku satu-satunya yang mengetahui rahasia Yayoi-chan, jadi pertama-tama, aku akan memberitahu rahasiaku padanya.
Itulah yang bisa kulakukan sekarang.
Aku masih belum tahu apakah dia akan membencinya atau tidak, tetapi aku harus memiliki keberanian daripada tidak melakukan apa-apa.
Ini pilihan yang tepat, tetapi aku bertanya-tanya apakah mungkin untuk jatuh cinta dengan hati yang menyesal.
Aku ingin berada di sisi Yayoi-chan, yang telah melupakan rahasianya dan terus berjalan, lalu aku akan dekat dengannya dan melanjutkan bersama-sama.
Aku mengeluarkan tangan kiriku, yang selalu berada di sakuku, dan melihatnya.
Sekarang aku punya alasan untuk mengajak Yayoi-chan berkencan.
Saat kencan kedua kami, aku akan mengungkapkan rahasia ini padanya.
Karena cinta kami belum dimulai selama aku menyimpan rahasia ini-------