Ads 728x90

Eroge no Heroine Volume 1 Chapter 5

Posted by Chova, Released on

Option


Chapter 5


"Maaf atas ketidaknyamanannya."


"Silahkan masuk."


Pada akhirnya, aku langsung pulang ke rumahku bersama Ayana.


Di stasiun tempat kami berada, hari mulai gelap setelah jam 5 sore, lalu ketika Ayana menyadari kalau tidak ada lagi cahaya matahari, dia segera memeluk lenganku dan mendekat ke sisiku.


Pipinya memerah dan dia memiliki senyum bahagia di wajahnya, jadi aku menerima kehangatannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.


"Aku merata nggak enak sama Osamu, karena aku membawamu ke rumahku, Ayana."


"Jangan khawatirkan itu. Hatsune-san dan Kotone-chan ada di sisinya."


Memang benar kalau seluruh keluarga Osamu menyayanginya, itulah mengapa dia tidak mungkin merasa kesepian saat berada di rumah.


(Kurasa dia mencintai Ayana lebih dari siapapun.)


Karena aku tahu itu, aku mengatakan itu karena aku merasa tak enak dengan Osamu.


Aku benar-benar merasa tak enak padanya, namun, jika aku memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi, perasaan itu akan segera hilang.


Jika aku tidak ada di sana, Ayana pasti sudah dibawa pergi dan hanya memikirkannya saja membuat hatiku sakit yang luar biasa.


"Towa-kun."


Sepertinya Ayana menyadari kalau aku sedang memikirkan sesuatu yang buruk, jadi dia menatapku dengan lembut.


“Aku baik-baik saja, aku gadis yang jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan, Towa-kun! Aku akan memberinya tinju dengan hebat ke pria itu!”


“… Hahaha begitu, ya.”


Cara dia meniru seorang petinju yang sedang membuat pukulan, sangat cantik.


Bahkan jika Ayana memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan pria seperti itu, aku akan tetap berusaha untuk melindunginya… Aku yakin dia akan bertindak untuk membantu gadis mana pun.


"Baiklah, saatnya menyiapkan makan malam yang enak!"


"Terima kasih banyak. Ada yang bisa ku bantu--------?"


“Tenang saja, Towa-kun. Serahkan saja padaku."


"… Beneran?"


Secara pribadi aku agak canggung di dapur.


Aku tidak bisa memasak seperti Ayana, jadi jika aku tidak bisa membantu, lebih baik jangan mengganggunya.


Meski begitu, rasanya canggung bagi seorang gadis yang merupakan teman sekelasku dan teman yang sangat dekat seperti teman masa kecil untuk memasak sendiri.


“Mari kita lihat, hari ini… kita akan membuat ikan putih goreng dan salad. Aku juga akan membuat sup miso-------”


Meski berada di dapur rumahku, Ayana terus memasak dengan cepat seolah-olah dia tahu di mana semua bahan dan peralatan memasak berada.


Ini seperti aku melihat ibu lain. Yah, Ayana pasti sudah beberapa kali datang ke rumah Towa.


"... Aku mengerti, aku enggak bisa membantunya."


Saat pertanyaan lain muncul di benakku, melihat gerakan Ayana, aku mulai berpikir kalau akan lebih baik menyerahkan semuanya padanya.


Dengan senyum masam melihat penampilan Ayana, dia mulai memasak dengan sungguh-sungguh sambil bersenandung dan aku memutuskan untuk melakukan apa yang aku bisa.


“Aku serahkan memasak padamu… tapi jika ada sesuatu yang benar-benar membutuhkan bantuanku, beri tahu aku. Sekarang aku akan pergi membersihkan kamar mandi."


"Okeyy. Fufufu, Kamu sangat baik, Towa-kun.”


"Itu normal bagi seseorang untuk mencoba membantu."


Ya, aku rasa itu normal.


Aku meninggalkan dapur dan menuju kamar mandi untuk mulai membersihkannya. Saat ini, aku bertanggung jawab atas pekerjaan rumah ini bahkan ketika ibuku ada di rumah.


Tidak ada rasa terima kasih yang melebihi makanan enak yang dibuat ibuku, dan selain itu, aku tidak berbohong ketika aku mengatakan kalau aku ingin dia merasa senyaman mungkin.


“Jika perasaan ini adalah salah satu perasaan Towa, maka aku bertanya-tanya seberapa besar dia peduli pada ibunya… Suatu hari nanti aku ingin tahu.”


Aku yakin pada saat itu, aku harus meminta maaf karena memiliki tubuhnya.


"Oke, waktunya bersih-bersih!"


Aku merasa kalau aku menjadi sentimental, jadi aku mulai membersihkan hingga tanpa menyadarinya pekerjaanku hampir selesai.


Aku kembali ke ruang tamu dan memperhatikan kalau makan malam belum siap, tetapi aroma yang sedikit enak tercium di udara.


"Baunya enak…"


"Oh, apa kamu sudah selesai bersih-bersih?"


"Ah. Aku sedang menyiapkan air panas.”


Alangkah baiknya untuk memeriksanya nanti setelah selesai diisi.


Aku dengan santai mencoba berdiri di dapur bersama Ayana, tapi aku ingat dia memberitahuku kalau semuanya baik-baik saja dan santai saja.


"… Kamu melakukannya dengan baik".


“Fufufu♪, Jangan memasang wajah seperti itu, oke? Aku ingin kamu sepenuhnya menikmati makanan yang telah aku siapkan untukmu dengan seluruh cintaku, jadi kumohon bersabarlah."


Dengan enggan aku duduk di sofa untuk mendengarkan apa yang dikatakan Ayana.


Setelah itu, saat aku melihat dia memasak sampai makanannya siap, aku khawatir dengan apa yang baru saja dia katakan, jadi aku berbicara dengannya.


"Hai Ayana."


"Ada apa?"


“…………”


Aku hendak bertanya padanya hubungan seperti apa yang dia dan aku miliki, tetapi aku menelan kata-kataku.


Ayana memiringkan kepalanya dan terus menatapku, namun ketika aku menggelengkan kepalaku mengatakan kalau itu bukan apa-apa, dia bilang itu tak masalah dan kembali memasak.


Setelah beberapa saat, makan malam akhirnya siap.


"… Oh!"


"Makan malam sudah siap♪"


Itu makan malam biasa yang terdiri dari nasi putih hangat, ikan putih goreng, ayam goreng, salad, dan sup miso, tapi perasaan yang dimasukkan ke dalamnya sangat jelas.


Aku menyatukan tanganku sambil melihat ke arah Ayana, yang memiliki ekspresi yang membuatku mengerti kalau dia ingin aku makan malam dengan cepat.


"Itadakimasu."


Setelah mengambil ayam goreng dengan sumpit dan memasukkannya ke mulut, aku tak bisa berhenti makan.


Aku merasa Ayana menatapku sambil tersenyum, jadi aku mulai melahap semuanya.


Tentu saja, aku tidak lupa berterima kasih kepada Ayana setiap kali aku menikmati makan malamnya yang enak.


"Bagaimana?"


"Ini benar-benar enak."


Aku berharap bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik, tetapi aku akan mendapat masalah jika aku menggunakan kosakata yang lebih formal.


Ayana menanyakan pertanyaan ini kepadaku ketika aku sedang makan dan merasa kalau semua yang dia buat sangat enak.


"Apa menurutmu ini lebih enak daripada makanan buatan Akemi-san?"


"… Hah?"


“Tolong jawab dengan memilih salah satu dari keduanya. Enggak baik kalo kamu mengatakan semuanya sama, kan?"


“……….”


Aku berhenti bergerak ketika dia menanyakan pertanyaan yang tak mengenakan itu padaku.


Wajar jika makanan ibuku dan Ayana sangat enak hingga aku tidak bisa memilih mana yang lebih baik dari yang lain… tapi Ayana menghilangkan pilihan itu.


Dia tersenyum dan menunggu jawaban.


"Maaf, Towa-kun. Aku rasa itu salah untuk menanyakan pertanyaan itu."


"Menurutku, itu sedikit enggak sesuai ..."


"Hahaha, kamu sangat imut, Towa-kun♪"


Itu benar-benar tidak sesuai, jadi aku menatap Ayana dengan sedikit kesal, tapi dia masih tersenyum.


"… Haa."


Melihat senyumnya seperti itu, aku mengesampingkan kebencian ini dan menertawakan betapa cantiknya dia.


Aku menyelesaikan makan malam sambil bersenang-senang dengan Ayana, lalu menyiapkan makan malam ibuku ke lemari es dan mencuci piring bersama Ayana.


"Aku sungguh berharap hari-hari seperti ini bisa berlangsung selamanya."


“Aku juga… lalu aku bisa makan makanan terbaik di dunia setiap hari.”


“Aku bisa memasak untukmu kapan saja kamu mau. Akemi-san, kamu dan aku akan selalu bersama…”


“…………”


Ayana menggumamkan itu dengan serius, seolah dia ingin itu terjadi.


Aku ingin tahu apakah dia berbicara tentang dunia di mana tidak hanya keluarganya, termasuk Osamu, tetapi bahkan ibunya tidak ada.


Pada saat itu, saat aku sedang melihat Ayana mengkhawatirkan apa yang dia katakan, ponselku mulai berdering menandakan ada panggilan masuk.


"Ups, aku mengangkatnya sebentar." 


"Oke, apakah itu Akemi-san?"


"Mungkin."


Apakah pekerjaannya akan memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan untuk selesai? Aku mengeringkan tanganku dan meraih ponsel. Memeriksanya, aku melihat nama Osamu muncul di layar.


"... Osamu?"


"Itu Osamu?"


Aku menjawab telpon itu dengan bertanya-tanya untuk apa dia meneleponku.


[Halo?]


[Halo, selamat malam Towa.]


"Malam."


Osamu terdengar normal. Dia mungkin tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi setelah sekolah.


Aku ingat saat itu Osamu cukup lemah dan itu membuatku merasa tak nyaman, namun, aku menunggu apa yang akan dia katakan, berusaha untuk tidak menunjukkan sikapku.


[Sepertinya Ayana masih belum pulang. Ibuku bilang padaku kalo dia bertemu seorang teman saat perjalanan pulang dari belanja dan temannya mengundangnya makan malam, jadi mereka pergi makan malam bersama.]


[Ah.]


Begitu ya, Ayana mengatakan itu padanya.


Aku tidak memberitahu ibuku kalau Ayana bersamaku dan Osamu juga sepertinya tidak tahu… Jadi kenapa dia meneleponku?


[Aku enggak yakin akan hal ini... Kau nggak akan bersamanya, kan?]


[Sayangnya dia enggak bersamaku.]


Aku menjawabnya tanpa berpikir.


Aku bisa mendengar di ujung telpon kalau Osamu menghela nafas lega, namun, aku merasa agak cemas.


Meskipun aku berpikir dia adalah orang yang sangat menyedihkan, Osamu rupanya hanya ingin membahas topik itu, lalu begitu dia mendengar apa yang aku katakan, dia segera menutup telpon.


"Apa dia bertanya tentangku?"


"Ya. Dia merasa lega ketika aku memberitahunya kalo kamu enggak bersamaku."


"Oh ♪"


Ayana meletakkan tangannya ke mulutnya dan suasananya berubah.


Dia baru saja selesai mencuci semua piring, lalu dia mengeringkan tangannya, lalu perlahan berjalan ke arahku dan memelukku.


Dia membenamkan wajahnya di dadaku, menciumku dan menatapku.


Note : ini mencium bau Towa, yak.


"Kamu bisa memberitahunya kalo aku ada di sini bersamamu, karena aku milikmu sepenuhnya sekarang, Towakun♪"


"... Aku enggak bisa mengatakan itu padanya."


Seberapa serius Ayana?


Saat aku melihat ke arah Ayana yang memperhatikanku dari bawah, aku merasa seperti seseorang berbisik di kepalaku untuk membiarkanku tertawa dalam situasi ini sedikit demi sedikit.


Dengan lembut aku meletakkan tanganku di bahu Ayana dan menjauh dari tubuhnya untuk menghindari godaan.


"… Haa."


Aku menghela nafas kecil sambil pura-pura tidak memperhatikan Ayana, yang jelas-jelas tidak puas.


Seperti yang kukatakan sebelumnya, saat aku berduaan dengannya, aku merasa seperti seseorang berbisik di kepalaku------ mencuri Ayana.


“…………”


Aku menatap wajah Ayana.


Dia memiliki wajah yang sangat cantik yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia membangkitkan nafsuku dengan wajahnya yang cantik dan dada yang menggairahkan itu, ditambah lagi dia memiliki kepribadian yang baik dan gadis yang cukup baik dan lembut.


Aku tak tahu kenapa seorang gadis seperti Ayana menarikku seperti itu, tapi aku mulai berpikir untuk menyukainya.


(...Tapi aku yakin aku tak bisa melakukan itu--------)


Aku selalu menganggapnya sebagai manusia yang hidup di dunia ini, sebagai manusia dengan keinginan yang sama sepertiku… ini adalah hal yang biasa. 


"... Yah, ngomong-ngomong, terima kasih untuk hari ini, Ayana."


“Enggak, enggak, sebaliknya, aku merasa senang bisa bersamamu, Towa-kun♪”


Kata-kata itu kembali menghangatkan hatiku.


Setelah itu, aku keluar dari rumah untuk menemaninya.


"Agak dingin, bukan?"


"Ini sudah malam. Malam akan menghangat saat musim panas mendekat."


Hampir secara refleks aku meraih tangan Ayana ketika dia mengatakan dingin.


"Aku melakukannya karena kamu bilang saat ini dingin."


Matanya terbuka lebar dan setelah beberapa saat menatap tangannya yang bergandengan dengan tanganku, Ayana menggenggamku dengan erat.


Kami berdua berjalan seperti itu menyusuri jalan-jalan gelap kembali ke rumahnya sampai kami bisa melihatnya.


"Okey, Towa-kun, sampai jumpa besok."


"Ya. Sampai jumpa besok".


Aku hampir mengulurkan tanganku untuk meraihnya ketika dia berbalik untuk pulang.


Aku ingin mengeluh pada tubuhku tentang betapa aku menginginkannya, tapi aku yakin aku tertarik pada Ayana dalam waktu singkat yang kami habiskan bersama. Meskipun aku dengan penuh percaya diri mengatakan kalau------ aku akan membuat Ayana dan Osamu memiliki akhir yang bahagia bersama. 


"Towa-kun."


"Eh?"


Suara Ayana, yang seharusnya membelakangiku dan mulai berjalan, terdengar di dekatnya.


Dia meletakkan bibirnya di bibirku dan suara ciuman yang keluar *muach*.


Note: Nah, kalo ini beneran ciuman.


“Hehehe ini hadiahku karena membuatkanmu makan malam hari ini♪”


Dengan senyum nakal di wajahnya, dia dengan cepat berlari ke rumahnya.


Melihatnya pergi, aku hanya bisa menyentuh bibirku dalam keadaan linglung dan dengan ini menyadari apa yang baru saja terjadi bukanlah kebohongan.


"Hatiku…… kacau."


Aku meletakkan tanganku di dada dan memastikan kalau jantungku berdebar kencang.


Akankah aku bisa tidur nyenyak malam ini?


Lalu aku kembali ke rumah dengan masalah seperti itu padaku.


***


Ciuman Ayana terukir kuat di ingatanku.


Aku berpikir kalau keesokan harinya aku akan sangat gugup hingga aku tak bisa melihat Ayana, namun, itu tak terjadi.



Seperti biasa, aku bertemu Osamu dan Ayana dan bersama-sama kami pergi ke sekolah, tiba-tiba di tengah jalan, Ayana menatap mataku dan meletakkan tangannya ke bibirnya dan membuat gestur yang mengingatkanku pada kejadian kemarin.






 

“… Aku akan sangat sibuk minggu ini, enggak peduli bagaimana aku melihatnya.”


Aku telah menyadari kedamaian selama beberapa waktu terakhir, tetapi pada minggu ini aku memutuskan untuk menghadapi dunia ini dengan serius.


Ayana menutup jaraknya denganku agar bisa dekat denganku dan pada saat yang sama aku menyadari kalau ada sesuatu yang disembunyikan kecuali Ayana dan aku.


“… Aku benar-benar memiliki kebiasaan buruk untuk terlalu banyak berpikir.”


Aku menggelengkan kepalaku seolah ingin menghilangkan kekhawatiranku sejenak, lalu menatap Aisaka, yang ada di depanku.


Melihat kepalanya yang botak, memberiku ketenangan yang aneh.


"Aisaka."


"Ada apa?"


"Kepalamu membuatku tenang."


"Apaan itu-----?"


Aku mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.


Aku merasakan sensasi kasar khas kepala botak, namun rasanya cukup enak. Aku bahkan menggerakkan tanganku dengan kasar, tapi Aisaka tak pernah marah.


Aku sedikit khawatir tentang gadis yang duduk di dekat kami, yang menatapku dengan mata berbinar-binar… kumohon, jangan membayangkan sesuatu yang aneh.


Mungkinkah gadis itu menyukai yaoi?


Menghilangkan itu, aku mengajukan pertanyaan ke Aisaka.


"Aisaka, apa kau punya gadis yang kau suka?"


“Kenapa kau menanyakan itu padaku begitu tiba-tiba!?”


Terkadang ada baiknya membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan cinta.


Aku tak ingat karakter Aisaka muncul di dalam game, tapi karena dia adalah teman yang kubuat di dunia ini, aku seharusnya tidak ditegur olehnya karena pertanyaan yang kutanyakan padanya.


Wajah Aisaka memerah, jadi aku yakin dia pasti jatuh cinta pada seseorang.


"Yah, aku nggak akan memaksa. Jadi beri tahu aku siapa dia?"


"Apa kau nggak bertentangan dengan dirimu sendiri?"


Jangan khawatirka itu, aku tahu aku bertentangan dengan diriku sendiri.


Aku tersenyum kecut pada Aisaka, yang masih menatap mataku, dan mengakhiri percakapan dengan mengatakan kalau dia bisa membicarakannya denganku kapan pun dia mau.


Niatku adalah membiarkan semuanya di sana, tetapi Aisaka berkata kalau dia akan memberiku beberapa petunjuk, jadi aku mendengarkan dengan seksama.


"... Dia bukan salah satu teman sekelas kita."


"Ohh, apa dia kouhai?"


“…………”


Begitu, jadi dia seorang kouhai.


Penampilan pemalu Aisaka cukup menyegarkan. Aku ingin menanyakan informasi lebih lanjut, tetapi sebaiknya aku berhenti di sini.


Aku tak tahu kouhai mana yang Aisaka suka, namun, aku hanya berharap setidaknya cinta itu menjadi kenyataan.


"Aku mau pergi ke toilet."


"Sampai jumpa~"


Aku mengucapkan selamat tinggal ke Aisaka dan menuju ke toilet.


Aku keluar dari loilet, menarik napas dalam-dalam dan mengubah sikapku, kemudian, aku melihat Iori berjalan menyusuri lorong dengan sebuah kotak kardus besar.


(Apakah itu untuk OSIS? Dia tak bisa melihat kakinya. Apakah dia butuh bantuan?)


Seperti biasa, suasana di sekitar Iori membuatku merasa kedinginan.


Aku bukan Osamu, jadi aku tak tahu apa yang orang pikirkan tentangku, tapi aku harap hanya dengan menjadi kenalan Ayana akan memberikan kesan yang baik.


"Presiden."


“……….? Oh, Yukishiro-kun?"


Lagipula, dia tahu namaku.


Aku merasa lega dengan itu dan mengarahkan jariku ke kotak kardus yang dibawa Iori.


"Aku akan membawanya. Kemana kamu mau membawanya?"


"Jangan khawatir. Memang benar aku enggak bisa melihat kakiku, tapi aku bisa---------”


Seolah-olah meramalkan apa yang akan terjadi, Iori mencoba mengangkat kakinya seolah-olah tak terjadi apa-apa dan kemudian, dia hampir jatuh, namun aku berhasil menahannya dan dengan begitu mencegahnya jatuh.


Segera setelah mengatakan kalau dia tidak apa-apa, pipi Iori memerah seolah-olah dia malu dilihat dengan cara bodoh seperti itu.


(Seperti yang diharapkan dari salah satu heroine. Gadis ini juga memiliki wajah yang sangat cantik)


Itu memiliki atmosfir yang bermartabat sekaligus dingin dan dalam arti tertentu, itu seperti pesona Iori yang terkadang menunjukkan ekspresi malu-malu seperti ini.


Namun, hanya dengan melihat ekspresinya, aku bisa membayangkan wajah senang yang aku lihat di Game Eroge. Sangat sulit untuk mencapai itu di dalam game.


"... Maaf, tapi bisakah kamu membantuku?"


"Tentu saja."


Dia menyerahkan kotak itu padaku dan aku mulai berjalan.


Tampaknya, Iori mengikutiku, lalu ketika aku berpikir untuk membicarakan sesuatu untuk mencairkan suasana, Iori berbicara terlebih dulu.


"Aku mendengarnya dari Osamu-kun dan Otonashi-san, tapi kamu suka melakukan hal semacam ini, kan?" 


Aku tidak tahu apa yang dia dengar dari Osamu dan Ayana, jadi aku hanya menundukkan kepala.


Ini pertama kalinya aku berbicara dengan Iori dan sepertinya Towa belum pernah berbicara dengan Iori sebelumnya.


"Presiden, kamu sangat menyukai Osamu kan?" 


"I, iya".


"Apa yang kamu sukai dari dia?"


Itu adalah pertanyaan yang tidak jelas, tapi Iori menjawabnya.


Ekspresi dingin di wajahnya berkurang dan memikirkan Osamu dia menunjukkan senyum yang indah.


“Umm, bagaimana aku bisa mengatakannya? Aku mendapat kesan kalo dia adalah cowok yang baik. Dia bisa dipercaya dalam berbagai hal, tapi mungkin bagian yang paling enggak bisa dipercaya dari dirinya adalah apa yang aku sukai?"


"… Apaan itu?"


“Fufufu, ummm, Otonashi-san adalah alasan aku bertemu Osamu-kun. Dia adalah tipe cowok yang belum pernah aku temui sebelumnya, lalu aku mengenalnya adalah pengalaman baru bagiku."


"Ohhh."


Ayana adalah penyebab Iori bertemu Osamu. Yah, aku sudah tahu itu.


Aku juga tahu kalau Iori pasti jatuh cinta padanya, lalu ketika aku memikirkannya, aku merasa keberuntungan protagonis Osamu luar biasa.


“Otonashi-san, yang selalu berada di sisinya, sangat pintar. Jalan masih panjang, tapi aku rasa aku akan memilih Universitas yang dekat dengan sini dan dengan begitu aku akan mempersiapkan diri untuk pertempuran jangka panjang.”


"… Universitas."


Aku bertanya-tanya Universitas mana yang akan dia pilih, karena aku ingat di awal game dia bertujuan untuk menjadi mahasiswi dari Universitas di dekat tempat ini.


Itu fakta kalau Iori adalah ketua OSIS, dia pandai menyelesaikan konflik antar murid, dan dia memiliki nilai yang sangat bagus, jadi dia seharusnya bisa bercita-cita untuk masuk ke Universitas bergengsi... namun meski begitu, dia akhirnya memilih Universitas yang dekat dengan daerah ini karena karena dia ingin berada di sisi Osamu.


"Lalu mengapa kamu memilih Universitas seperti itu?" 


Aku lega mengatakannya.


Aku tak bermaksud mengatakan apapun padanya, namun aku tidak bisa tidak menanyakan itu padanya saat aku menatap matanya.


Meskipun aku berharap dia memberitahuku kalau aku kurang ajar atau itu bukan urusanku, dia hanya tertawa.


"Aku tahu maksudmu. Aku tahu kalau sebanyak yang aku suka, aku enggak perlu membatasi kemungkinan masa depanku... Aku tahu itu. Ya, lagipula, aku harus serius memikirkan hal ini."


"... Ah."


Melihat dia mengatakan itu, aku mengeluarkan suara terkejut.




Aku sangat sadar kalau dunia yang aku tempati saat ini bukanlah game itu sendiri, tetapi kenyataan.


Itu sebabnya, bahkan jika ini adalah jalan yang ingin Iori ikuti, mungkinkah aku ikut campur seperti ini untuk mengubah masa depannya?


Aku masih belum menemukan jawaban tentang bagaimana untuk melanjutkan dan masih banyak hal yang tidak ku mengerti, tapi aku tahu suaraku akan sampai padanya… hanya mengetahui kalau itu adalah masalah besar bagiku.


Tentu saja, Iori mungkin tak peduli dengan apa yang kukatakan padanya, dan kalaupun dia peduli, tidak ada jaminan kalau sesuatu kekuatan perubahan akan berhasil... tetapi tetap saja, sangat menyenangkan untuk berharap kalau hal itu bisa terjadi.


"Terima kasih, Yukishiro-kun."


"Enggak, enggak apa, Presiden. Kalau begitu mari kita bicara lain kali."


"Ya. Terima kasih banyak."


Kemudian aku dengan aman membawa kotak kardus itu ke ruang OSIS.


Setelah aku berpisah dari Iori dan kembali ke kelas, Aisaka berteriak padaku kalau aku lama, dan pada saat itu guru yang bertanggung jawab atas pelajaran berikutnya tiba.


Mungkin tidak sopan kepada guru tapi aku hanya memperhatikan apa yang dia ajarkan karena aku tidak punya pilihan. Aku melakukannya secara otomatis.


"Sasaki, coba selesaikan masalah ini."


"… Saya tidak mengerti."


"Begitu. Otonashi, sini dan selesaikan."


"Baik."


Ayana berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke depan papan tulis untuk menyelesaikan soal yang sebelumnya diminta oleh guru untuk diselesaikan oleh Osamu, tetapi dia tidak bisa melakukannya.


Dia menulis jawabannya dengan jelas dan ringkas, sementara guru itu mengangguk puas melihat kalau jawabannya benar.


"Seperti yang diharapkan dari Otonashi, kamu bisa mengetahuinya."


"Terima kasih banyak."


Dilihat seperti itu, Ayana dan Osamu adalah dua kutub yang berlawanan.


Meskipun dia adalah protagonis yang tidak dapat diandalkan, keroine cukup dapat dipercaya, yang sangat umum di manga dan light novel, namun, aku merasa jelas ada perbedaan dalam kenyataan.


"Uaahhhh..."


Aku mengantuk, tapi aku tak bisa mengabaikan studiku demi masa depanku.


Meskipun tubuh ini bukan milikku, aku adalah Towa sekarang, jadi menurutku penting untuk bertanggung jawab.


Kelas berlanjut dan waktu berlalu hingga dalam sekejap mata kelas berakhir.


Hari ini juga Iori muncul tepat setelah sekolah berakhir dan membawa Osamu pergi, namun, sebelum dia pergi, dia memberi tahu kami kalau kami boleh pulang, jadi Ayana dan aku memutuskan untuk langsung pulang.


"Kemana kamu berencana pergi hari ini?"


"Enggak kemana-mana, kurasa aku akan pulang, Dan kamu Ayana?"


"Aku juga enggak ada. Semuanya akan baik-baik saja selama aku di sisimu, Towa-kun."


Mengatakan itu, dia memegang lenganku di dadanya.


(Aku telah ditangkap olehnya.)


Jelas kalau ada sesuatu antara Ayana dan aku.


Tapi meskipun aku ingin tahu ada apa di antara kami berdua, aku tidak pernah berinisiatif untuk menanyakannya.


Mungkin karena aku merasa nyaman dengan situasi saat ini.


Ayana dekat seperti ini saat tidak ada orang yang familiar di sekitar kami, termasuk Osamu, maka dalam keadaan seperti ini aku senang menghabiskan waktu bersamanya.


“… Hei, Ayana.”


"Ada apa?"


"Ayo, katakan saja." 


Aku merasa kalau dia memberitahuku dengan tatapannya.


Sesuatu berbisik kepadaku kalau akan lebih baik jika aku pergi bersamanya tanpa mengkhawatirkan apa yang terjadi di sekitarku, tanpa memikirkan hal-hal sulit dan hanya menikmati momen ini.


Ya, itu akan menyenangkan… dan kemudian, ketika aku hampir memikirkan sesuatu.


"… Eh?"


"Ada apa? … Ah.”


Sebuah pemandangan lewat di depan mataku secara kebetulan.


Kami berjalan di sepanjang trotoar kota dan mobil-mobil berlalu lalang di jalanan dengan kecepatan penuh.


Sementara itu, seorang gadis yang berada di trotoar di depan, di penyeberangan, melambai ke arah kami.


(… Apa?)


Itu adalah situasi yang bisa dilihat di mana saja.


Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari gadis itu, yang menyapa kami seolah-olah dia adalah teman kami di tengah kerumunan.


Untuk beberapa alasan aku merasa sangat cemas dan tiba-tiba situasi terburuk menjadi kenyataan.


"Hei!"


"Hati-hati!"


Ayana dan aku berteriak bersamaan.


Meskipun lampunya masih merah, gadis itu mulai berjalan ke arah kami.


Begitu aku melihatnya, aku meninggalkan Ayana dan mulai berlari.


"Ah! Kumohon tunggu, Towa-kun!"


Aku bisa mendengar suara Ayana, namun aku tidak berhenti.


Orang-orang di sekitarku perlahan mulai menyadari apa yang terjadi, tapi sudah terlambat karena sebuah mobil sedang berlari ke arah gadis itu.


Tepat setelah itu, gadis itu dikejutkan oleh suara klakson dan tidak bisa bergerak, lalu aku tidak bisa menahan apa yang akan terjadi.


"Ugh ... Sial!!"


Tepat pada saat itu aku sangat putus asa untuk membantu gadis itu hingga aku tak peduli apa yang terjadi padaku.


Bahkan tidak bisa memikirkan hal-hal seperti itu, aku berlari ke arahnya, tiba tepat waktu, dan memeluk tubuh mungilnya.


"Osamu!!"


"Eh?"


Saat aku memeluk gadis itu, sebuah penglihatan aneh muncul di benakku.


Towa mengulurkan tangannya ke Osamu yang tertegun dan-------


“…………”


Aku bisa mendengar suara klakson dan rem mendadak dan aku bahkan bisa merasakan dengan mata terpejam keributan yang ada di sekitarku, tapi aku bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan apa yang telah kulihat beberapa detik yang lalu.


“A-apa kamu baik-baik saja!?


Pengemudi keluar dari mobil dengan panik dan memanggil kami.


Aku berpikir dia akan memarahi kami, namun pengemudinya orang yang baik dan sepertinya mengerti situasinya. Dia peduli pada kami dari lubuk hatinya dan merasa lega.


Untuk sementara tempat itu cukup berisik, tetapi orang-orang, melihat kami semua aman, berhenti memperhatikannya dan hampir semua orang meninggalkan tempat itu.


"Kamu harus hati-hati, oke?" 


“I-iya. Terima kasih Onii-chan."


"Fiuuu."


Dengan senyum masam dia berpikir kalau itu akan menjadi masalah besar jika orang tuanya ada.


"Baguslah kalo semuanya baik-baik saja."


Aku kembali ke tempat Ayana berada, menyakinkan kalau semuanya baik-baik saja, tetapi ketika aku akhirnya melihatnya, aku menyadari betapa gawatnya situasinya.


“… Ayana?”


“Towa-kun… kamu baik-baik saja, kan? Kamu enggak terluka, kan?"


Ayana memelukku sambil meneteskan air mata dari matanya.


Aku benar-benar minta maaf karena mengkhawatirkannya karena itu pasti akan menjadi situasi berbahaya jika aku melakukan kesalahan, namun terus terang, kondisi Ayana tidak normal.


“Kamu masih hidup… kamu masih hidup. Kamu enggak terluka, kan... sungguh melegakan... Aku enggak ingin kamu melakukan itu lagi... Towa-kun… Towa-kun, Towa-kun, Towa-kun!”


Dia memelukku dan membenamkan wajahnya di dadaku, bergumam sepanjang waktu.


Kami tidak bisa diam di tempat ini selamanya, jadi aku meletakkan tanganku di bahu Ayana dan memintanya untuk melepaskannya sejenak, lalu kami mulai berjalan.


Sebenarnya, aku tidak berencana untuk pergi kemana-mana, jadi aku memutuskan untuk segera pulang untuk menenangkan Ayana, hanya karena dia terlihat aneh.


“……….”


Ayana, yang masih menempel di lenganku, tidak mengatakan apa-apa saat dia melihat ke bawah, jadi aku tidak yakin ekspresi wajahnya seperti apa.


Pada akhirnya, situasi terus seperti itu sampai kami sampai di rumahku dan masuk ke kamarku. Saat itulah Ayana cukup tenang untuk berbicara lagi.


"Aku minta maaf. Aku tiba-tiba menangis."


"Jangan khawatir. Kamu begini karena aku membuatmu khawatir, Ayana…”


Meskipun aku masih berpikir tidak buruk bagiku untuk membantu gadis kecil itu.


Ngomong-ngomong, aku tahu kalau Ayana berakhir seperti ini karena aku, dan yang terburuk, aku tidak memikirkan apa-apa saat itu.


(... Aku rasa itu baik kalau aku membantu gadis itu, tapi aku tidak peduli pada diriku sendiri... dan membuat gadis di depanku sangat sedih----)


Jika mobil tidak berhenti pada saat yang tepat, itu bisa membuat Ayana menyaksikan momen yang mengerikan dan bukan hanya dia… tetapi juga membuat ibu Towa, yang selalu memikirkannya, menjalani momen terburuknya.


"… Aku sunggu minta maaf."


Saat aku memeluk Ayana yang tubuhnya masih gemetaran, dia melingkarkan tangannya di punggungku dan memelukku seolah mencari kenyamanan.


(… Ahh, aku merasa sangat tenang melakukan ini.)


Aku bahkan merasa hanya ada dia, hanya ada Ayana di dunia ini.


Aku merasakan kenyamanan itu, tetapi pada saat yang sama aku yakin mendapat banyak informasi menarik.


(Penglihatan yang aku lihat saat itu… Towa berusaha membantu Osamu dan apa arti kata-kata Ayana?)


Saat aku diam-diam memikirkannya, aku mendengar suara di dadaku.


“… Aku berpikir kamu akan menghilang, Towa-kun.”


Aku mendengar suara yang sepertinya menekan rasa sakit itu.


Begitu Ayana mendongak, aku melihat wajahnya sangat merah, matanya bengkak dan merah. Hanya dengan melihat itu membuatku sadar kalau aku telah benar-benar menyakitinya.


Kemudian Ayana lanjut berbicara.


“Bagiku, kamu adalah orang terpenting dalam hidupku, Towa-kun. Kamu meraih tanganku dan mengajariku banyak hal ketika aku selalu menjalani hidupku melakukan apa yang orang lain katakan kepadaku… Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu, hingga aku enggak tahan!!!”


"...Ayana."


Dia bilang kalau dia mencintaiku, aku menaruh kekuatan ke lenganku untuk memeluknya.


Meskipun dia mengatakan itu kepada Towa dan bukan aku kalau dia mencintainya, tubuhku bergerak sendiri seolah-olah diperintah untuk melakukannya.


Seolah-olah jiwaku dan jiwa Towa saling tumpang tindih. Aku merasa ada sesuatu yang lahir di dalam diriku yang membuatku salah mengira kalau aku adalah Towa sejak awal.


Setelah itu, aku terus memeluk Ayana untuk beberapa saat, namun akhirnya dia kembali normal dan melepaskanku.


"Maaf, Towa-kun, tapi aku baik-baik saja sekarang."


"Baiklah. Baguslah."


Secara refleks, aku mengulurkan tanganku dan membelai kepala Ayana.


Perasaan rambut hitamnya yang halus begitu menyenangkan hingga aku sangat mencintainya, dan aku ingin waktu berhenti dan kami tetap seperti ini selamanya.


“… Hal ini, mengingatkanku sama masa lalu.”


"Masa lalu?"


"Ya. Yah… situasinya benar-benar berbeda dari sekarang, tapi aku ingat kamu menemukanku menangis dan bergaul denganku.”


Kemudian, Ayana mulai berbicara.


Dia bercerita tentang momen saat dia dan Towa bertemu. Itu adalah momen yang tak pernah diceritakan dalam game yang tak diketahui oleh siapa pun dan entah mengapa aku merasa nostalgia tentang itu.

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset