Ads 728x90

Kobito Ijou no Koto wo Volume 1 Chapter 3

Posted by Chova, Released on

Option


Chapter 3 – Natto.

Seorang gadis memakan natto di kafetaria kampus.

Ini adalah kesan pertama yang aku miliki ketika aku melihat Ito.

Sehari sebelum pesta penyambutan klub penelitian fiksi ilmiah, beberapa mahasiswa baru memutuskan untuk bertemu untuk makan siang dan di sanalah, di kafetaria kampus, aku bertemu Ito untuk pertama kalinya.

"Kamu suka natto, Minase-chan?"

Gadis-gadis yang menemaninya terkejut melihat nampan Ito, saat dia menambahkan semangkuk natto ke dalam menu ayam gorengnya.

Di sisi lain, cowok-cowok dan aku, yang duduk di meja yang sama dengan mereka, terkejut dalam diam tanpa mengatakan apapun dengan lantang.

“Ini pertama kalinya aku melihat seorang gadis makan natto di kafetaria kampus! Selain itu, dia menggabungkannya dengan ayam goreng!”

Yamada, cowok yang mengatakan hal pertama yang terlintas di kepalanya, berbicara jujur ​​sambil menertawakan situasinya, tidak seperti kami yang tidak mengatakan sepatah kata pun.

Tiba-tiba, Ito mengucapkan kata-kata ini.

"Hah? Apa menurutmu nato enggak cocok dengan ayam goreng yang mereka sajikan di kafetaria?”

Bukan gitu, meski pada kenyataannya, kombinasi itu agak aneh.

Karena suasana saat itu, aku mengeluarkan suara tsukkomi.

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya saat dia memakan natto yang disajikan dalam mangkuk plastik dengan gerakan yang sangat indah.

Setelah itu, aku mulai mengamati Ito dengan mataku. 

Bisa dibilang hal pertama yang membuatku jatuh cinta padanya adalah selera natto-nya.

Ketika kami mulai berkencan, aku memberitahu dia dan dia membuka mulutnya lebar-lebar dan berkata, 'Serius? Hei, tapi aku sudah menggosok gigi dengan baik setelah makan natto kan?' Aku tidak bisa menahan diri dan mulai tertawa dengan keras hingga membuat perutku sakit.

Sejak hari itu aku menemukan betapa anehnya Minase. Terutama dalam makanannya, karena dia menghargai setiap potongan yang dia makan.

Tentu saja, itu bukan berarti dia hanya menikmati makanan mahal, karena ketika dia tidak punya apa-apa untuk dimakan, dia akan makan apapun yang ada saat itu, kalau tidak dia akan mati kelaparan.

Jika dia merasa ingin makan ramen, bahkan di tengah badai sekalipun, dia akan pergi ke toko serba untuk membeli ramen kesukaannya.

Dia bisa menunggu berjam-jam di antrean panjang hanya untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Itu mengingatkanku pada satu kejadiaan kami mengantre selama tiga jam hanya untuk membeli es serut.

Dalam kasus lain, meskipun aku berhasil mengantre untuk naik roller coaster di Dreamlands, dia tampak kesal.

Hari itu, yang membuatnya tersenyum tidak seperti biasanya di dunia ini bukanlah wahana di taman hiburan, melainkan memakan sepotong kalkun.

Seringkali, dia membiarkanku memilih restoran untuk makan bersama, tetapi jauh di lubuk hatiku merasa dia terus-menerus menilai diriku. Dalam dirinya sendiri, dia tampaknya tidak memiliki niat itu, namun, itu membuatku sangat gugup melihatnya begitu berkomitmen pada makanan.

Tapi sudah pasti, aku tidak pernah mengatakan itu padanya, karena aku senang melihat senyumnya saat dia mengisi mulutnya dengan makanan yang sangat enak. Itulah mengapa aku tidak pernah gegabah saat memilih restoran.

Sudah tiga tahun dan baik Ito dan aku sama-sama berusia 24 tahun, namun aku rasa itu mungkin satu-satunya hal yang tidak berubah.

♦♦♦

Aku memutuskan untuk makan siang dengan Ito di hari Rabu.

Aku pernah mendengar kalau dia makan siang dengan seorang senpai dari pekerjaannya setiap hari. Tapi, sepertinya senpainya tidak bisa hadir hari ini, jadi aku menerima ajakannya.

"Sebulan sekali, Shimamura-senpai mengambil hari libur yang diberikan perusahaan, enggak peduli apa yang dipikirkan orang di tempat kerja atau beban kerja yang berlebihan."

Ito tersenyum seolah dia tidak peduli, meski aku tahu dia senpai yang tidak patut dicontoh.

Kami tiba di sebuah restoran yang terletak di dalam pusat perbelanjaan yang berjarak lima menit berjalan kaki dari gedung tempat kami bekerja. Restoran ini menyajikan menu utama ikan bakar.

Ito bilang padaku kalau dia belum pernah datang ke tempat ini, jadi aku membawanya ke sini.

Aku duduk dan melihat sekeliling kami.

Seperti kami, tempat itu penuh dengan orang-orang yang sedang istirahat menikmati ikan bakar.

"Maaf aku membawamu ke tempat di mana butuh waktu untuk melayani kita." 

"Jangan khawatir, kita akan makan ikan bakar dan bukan sashimi"

"Baguslah."

"Meskipun aku akan memberitahumu kalo aku sedikit khawatir untuk datang ke sini"

Pada akhirnya, dia menilaiku.

“Hal baiknya kita bisa memasan melalui tablet ini. Oh, ini terlihat bagus dan sepertinya mereka akan menyajikannya ke kita dengan cepat. Di sini, tentukan pilihan dulu.”

“Terimakasih, apa yang mau aku pesan adalah…”

"Apa?"

Ito tiba-tiba terdiam dan aku dengan canggung menjawabnya.

"Dari tadi kamu sudah menatapku dari leher ke bawah."

"Ah, maafkan aku. Aku enggak terbiasa melihatmu berpakaian seperti itu.”

Memang, Ito mengenakan pakaian kantornya, ini kedua kalinya aku melihatnya seperti ini, tapi tetap saja, aku merasa aneh.

"Serius? Beneran cuma itu aja?"

Karena kami berada di restoran yang didedikasikan untuk menyediakan makan siang bagi para pekerja, aku bahkan tidak berani memberitahu Ito, tetapi aku tahu maksudnya. 'Tolong, sudah banyak orang yang menatapku dengan aneh, jadi jangan seperti mereka.'

"Oke, aku enggak akan melakukannya lagi. Mulai sekarang aku akan melihat alismu.”

“Akan lebih baik kalo kamu menatap mataku. Juga, caramu menatapku sebelumnya itu puncak pelecehan, jadi berhati-hatilah.”

"Hei."

"Ngomong-ngomong, apakah kamu punya sesuatu yang mau kamu katakan padaku?" 

"Ya, maaf."

"Kurasa itu sama sepertimu."

"Eh?"

Dan, ketika kami melakukan percakapan biasa yang tidak berarti, Ito menyadari kalau waktu makan siang kami hampir habis, jadi dia mendapatkan kembali ketenangannya dan melihat Tabletnya.

"Aku enggak tahu harus memesan apa, Apa yang kamu rekomendasikan, Fuyu-kun?"

“Mungkin mackerel kering atau salmon panggang dengan saus bacon… oh, dan ditambah natto yang enak.”

"Hmm! Apa itu enak menambahinya dengan natto?”

"Serius? Nattonya enak, jadi akan cocok dengan ikannya.”

"Aku sangat penasaran untuk mencobanya, tapi aku sedang bekerja."

"Ehh!?"

Aku heran sampai-sampai Ito dan pria tua yang duduk di meja sebelah terkejut dengan reaksiku.

"Ada apa, Fuyu-kun...?"

“Hei, bukankah kamu suka natto…?”

"Aku enggak suka memakannya saat sedang bekerja."

“Kamu cuma perlu menyikat gigi nanti…”

"Aku tahu. Terlebih lagi, enggak ada yang lebih baik daripada makan natto saat makan siang.”

"Yupppppp…!!!"

Lagi-lagi emosiku muncul dengan suara yang berlebihan, baik Ito maupun pria tua di meja sebelah tampak khawatir tentang reaksiku.

"Ada apa? Apa kamu ingin aku makan natto sebanyak itu?”

“Entah kenapa, aku merasa kecewa…”

“Kenapa kamu harus kecewa dengan sesuatu seperti natto…?”

“Itu natto, lho! Ahh… aku yakin kamu enggak ingin mendengarku mengatakan hal ini sedari awal…”

Tampaknya Minase menyadari apa arti kata-kata dan tindakanku, jadi dia menghela nafas sedikit.

"Fuyu-kun, jangan-jangan. Maksudmu itu apa yang terjadi di kafetaria kampus?"

"Itu benar... kamu suka makan natto tanpa rasa malu dan tanpa mempedulikan pendapat orang lain."

"Oh, itu benar. Sungguh buruk kedengarannya."

Akhirnya, kami meminta menu yang ada di Tablet, ditambah dengan komentar Ito yang mengejutkan. Nah, sementara kami menunggu pesanan kami, Ito menjelaskan situasinya padaku seolah-olah aku adalah seorang siswa sekolah dasar.

“Kamu tahu, Fuyu-kun. Saat itu, saat aku merasa ingin makan, aku bisa makan apa saja yang ada di depanku, aku bahkan akan melahap semua makanan yang kamu tawarkan di hari ulang tahunku.”

Kedengarannya itu seperti lelucon, tapi kenyataannya semua yang dikatakan Ito benar.

"Namun, begitu kamu menjadi anggota masyarakat dewasa, kamu enggak bisa lagi makan semua makanan yang kamu inginkan. Bahkan di pesta minum atau makan siang, kamu enggak bisa dengan seenaknya memesan apa yang kamu suka. Bukankah kamu juga berpikir begitu, Fuyu-kun?"

"Kamu benar... tapi kamu hanya bersamaku sekarang."

“Meski begitu, itu enggak mengubah situasi karena aku sedang bekerja. Lihat bagaimana aku berpakaian."

"Itu benar."

"Itu enggak benar."

"Tapi... ayo kita kembali ke hari-hari ketika kita hanya berdua..."

"… Hmm."

Ito terdiam dan menggembungkan pipinya, hingga menimbulkan ekspresi rumit di wajahnya.

Bagiku, aku menggodanya untuk memakannya karena aku berpikir, dari lubuk hatiku, kalau ini demi dia.

Tidak diragukan lagi, selama setahun terakhir Ito pasti telah tumbuh sebagai pekerja masyarakat, dalam segala hal.

Pilihannya untuk tidak makan natto di sini, bisa dikatakan sebagai simbol menjadi orang dewasa yang 'normal' atau menyesuaikan diri dengan masyarakat dengan benar.

Kau mungkin berpikir kalau aku melebih-lebihkan natto, tetapi dari sudut pandangku apa yang baru saja terjadi adalah peristiwa yang luar biasa, karena kami bersama selama tiga tahun ditemani oleh natto.

Namun, menurutku ini adalah perubahan yang baik, setidaknya sebagai pekerja masyarakat. Oleh karena itu, aku juga harus menerima kalau Ito tidak makan natto saat ini.

Singkatnya, aku harus memperbarui caraku melihat sesuatu. 

Kami berjanji untuk kembali ke hubungan yang kami miliki saat itu, tidak melakukan apapun selain bersenang-senang, tetapi tetap saja, kami tidak boleh lupa kalau ini adalah masyarakat untuk orang dewasa.

"Kenapa kamu bisa seperti itu? Aku hanya bercanda, jadi jangan khawatir tentang itu."

"Aku sama sekali enggak percaya padamu."

"Hanya saja aku ingin melihatmu makan natto lagi karena sudah lama sejak terakhir kali."

"Keinginan macam apa itu?"

Dan lalu, karyawan restoran membawakan pesanan kami. Ito telah memesan salmon dengan saus bacon dan aku memesan mackerel panggang kering dan dibumbui.

“Baiklah, kalau begitu ayo makan siang. Itadakimasu.”

"Ya, Itadakimasu."

Kami menyatukan tangan dan sedikit mencondongkan tubuh ke depan.

Aku mengambil sumpit di tangan kananku dan di tangan kiriku mengambil semangkuk natto. Lalu Ito memberitahuku.

"Aku tahu kalo kamu mau makan natto, Fuyu-kun."

"Menurutku, jika kamu datang ke tempat ini untuk makan siang, kamu harus makan natto."

"Apa itu sangat enak?"

“Tentu saja, terlebih lagi, kacanya besar dan memiliki rasa yang spektakuler. Ini adalah natto favoritku."

"Hmm…"

Saat aku mengaduk-mengaduk semangkuk penuh natto, Ito mulai meminum sup misonya sebelum mengambil sumpitnya ke salmonnya sambil tetap menatapku. Namun, begitu aku memasukkan natto ke dalam mulutku, dia tidak tahan lagi dan…

"Apa kamu enggak merasa hasihan padaku?"

"Enggak, enggak juga."

Aku langsung menjawabnya karena aku berasumsi dia akan menanyakan hal itu padaku.

Jika dia benar-benar ingin makan natto, solusinya adalah menggosok giginya setelah itu, jadi Ito secara otomatis mengambil tablet dan membuat beberapa gerakan tergesa-gesa di atasnya.

"Ada apa denganmu?"

“… Aku juga ingin makan natto.”

"Hmm? Apa? Aku enggak mendengarmu?"

“Kalo aku juga ingin makan natto!! Kamu curang Fuyu-kun!!”

Dengan pernyataan itu, aku dan pria tua yang duduk di meja sebelah merasa puas.

Ya, itu telah berlangsung cukup lama.

Natto tiba dalam waktu kurang dari satu menit.

Dia mengaduknya, lalu menambahkan beberapa tetes kecap dan mengaduknya lagi dan ketika dia membawanya ke mulutnya, Ito tersenyum tidak seperti sebelumnya.

"Sial, ini enak!"

“Astaga Ito, kamu sedang makan natto lho. Haa, kamu membuatku sangat bahagia."

"Hah? Apa makan natto membuatku terlihat seperti panda yang sedang makan bambu?"

"Boleh aku memotretmu? Nggak, lebih baik ayo kita selfie."

"Kamu bercanda?"

Dari ujung kepala sampai ujung kaki Ito terlihat malu dan kecewa, tapi yang pasti dari lubuk hatinya dia senang bisa makan natto.

Melihat itu, aku merasa telah mendapatkan sesuatu, jadi aku terus menikmati makan siang yang luar biasa ini.

Memang benar kalau aku dan Ito berubah ketika kami menjadi anggota masyarakat dewasa, namun, senyumnya sama sejak pertama kali aku bertemu dengannya. 

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset