Angin yang bertiup di kawasan pemukiman ini berbau darah.
Tidak ada yang berteriak lagi. Yang bisa kudengar hanyalah erangan para zombie.
Aku melihat bekas luka di tangan kananku. Aku digigit di bagian jari kelingkingku, tetapi area di sekitarnya berubah menjadi abu-abu dan aku tidak bisa menekuk jari kelingking atau jari manisku.
Aku merasa tubuhku benar-benar lelah dan aku semakin dekat dengan kematian setiap saat. Aku pasti akan segera berubah menjadi zombie dan mulai berkeliaran mencari mangsa…
Putus asa, aku pergi ke jalan utama. Kemudian, semua zombie di sini menatapku bersamaan, namun, begitu aku mengangkat tangan kananku yang berwarna abu-abu, mereka kehilangan minat padaku. Tampaknya, mereka tidak menyerang manusia yang akan berubah menjadi zombie.
Itu artinya jika aku menjadi zombie aku akan bisa bebas bergerak di dunia ini------ Tanpa sadar aku mulai menertawakan diriku sendiri karena memikirkan hal bodoh seperti itu. Ini penemuan yang tak berarti.
Saat aku berjalan tanpa tujuan, aku sampai di tepi sungai tempat aku biasa bermain saat aku masih kecil. Tidak ada zombie di sekitar sini.
Aku berbaring di sisi bukit yang ditumbuhi tanaman dan menatap sungai yang tenang di depanku, apakah ini akan menjadi hal terakhir yang kulihat sebagai manusia…?
Sudah lama sejak aku digigit, jadi seharusnya aku segera berubah menjadi zombie. Aku harus menerimanya.
------- Aku benci semua ini. Aku tidak ingin mati.
Tidak mungkin aku bisa menerimanya. Akku benar-benar benci mati.
Apa yang akan terjadi pada kesadaranku setelah aku mati? Semakin aku memikirkannya, semakin aku takut...
Karna terpukul membayangkan masa depan yang akan datang dalam beberapa menit, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Itu pasti zombie, jadi tak perlu memastikannya. Bagaimanapun juga, jika mereka ingin memakanku, maka biarlah mereka memakanku-----
“… Apakah kamu Yuma Kousaka-senpai…?”
Saat aku menelan keputusasaan, sebuah suara yang tenang dan indah memanggil namaku.
Saat aku mendongak dengan terkejut, ada seorang gadis berambut hitam berseragam sekolah perempuan berdiri di sana.
“Itu benar, tapi…”
“Syukurlah…! Kamu masih hidup senpai…!”
Gadis itu tersenyum lega dengan sedikit air mata di matanya.
Rasanya pemandangan yang tadinya abu-abu kini berubah warna.
“… Hmm, kamu siapa?”
"Aku Haruka Hinata!"
"Haruka Hinata... Apakah kamu adik perempuan Takuya?"
"Benar sekali!"
Hinata-san menyeka air matanya dan tersenyum berseri-seri seperti langit biru tak berawan. Melihat itu aku tidak bisa menahan senyum juga.
Aku tidak pernah berpikir kalau pada akhirnya aku akan bertemu dengan adik perempuan temanku dari sekolah dasar.
"Ya, sudah lama. Aku rasa sudah sekitar 5 tahun sejak kita terakhir bertemu, kan? Aku melihatmu mengingatkanku."
“Itu karena kamu datang ke rumahku setiap hari, Senpai. Meskipun aku tidak akan menyangkal kalau aku terkejut ketika kamu tidak mengingatku.”
“Apa yang salah, saat itu kita masih SD, sekarang kamu sudah kelas satu SMA? Atau aku salah kouhai?"
"*Fufufu* Tidak, kamu benar."
Hinata-san tersenyum dan mencoba berjalan ke arahku.
Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu dan berdiri.
“-------Tunggu! Jangan mendekatiku!”
“Eh? …Senpai…?”
“… Aku digigit zombie beberapa waktu yang lalu…”
"---------!?"
Hinata-san terdiam dan matanya terbuka lebar.
“La-lalu…?”
“Itulah mengapa berbahaya bagimu untuk mendekatiku. Pergi dari sini sekarang juga."
"… Aku tidak mau."
Hinata-san mengatakan itu dan mencoba mendekat dan duduk di sebelah kananku, tetapi aku melompat ke belakang tanpa sadar.
"Hei! Jangan terlalu dekat denganku!"
------- Namun, tepat setelah aku membentaknya, aku melihat air mata terbentuk di mata Hinata-san.
“Aku ingin terus berbicara denganmu Senpai… Tolong biarkan aku tetap di sisimu sampai kamu berubah menjadi zombie…”
Air mata jatuh dari mata Hinata-san yang memohon dan menetes di pipinya.
"Apakah kamu tidak takut padaku? Sebentar lagi aku akan menjadi zombie…”
"... Senpai, apakah kamu tidak takut berubah menjadi zombie?"
Menanyakan itu pada diriku, aku terdiam.
Aku tidak bisa mengatakan kalau aku tidak takut.
"Aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantumu, tapi setidaknya biarkan aku berada di sisimu sampai kamu mati senpai."
Saat ini aku hampir menangis.
Aku tidak bisa membiarkan Hinata-san melakukan sesuatu yang berbahaya seperti itu. Aku harus menyuruhnya pergi menjauh sekarang-----
Aku tahu. Aku tahu aku harus berterima kasih karena tetap di sisiku.
Betapa bahagianya diriku jika aku bisa menerima kebaikannya.
“…Tidak, aku tidak bisa mengizinkannya. Aku senang kamu ingin melakukan itu, tapi itu terlalu berbahaya."
“Tidak, bukan itu… Aku hanya mengatakan sesuatu yang kurang jelas, tetapi sebenarnya sembilan puluh persen dari apa yang aku katakan adalah karena aku ingin tetap di tempat ini karena aku lelah dan sepertinya aku tidak punya kekuatan untuk pergi lagi.”
Dari cara dia mengucapkan kata-kata itu, kurasa aku bisa menebak apa yang salah dengannya.
"Apa zombie menyerang sekolah perempuan?"
“Ya… semua temanku digigit… aku satu-satunya yang berhasil melarikan diri dari sekolah, lalu aku pergi untuk melihat bagaimana keadaan mereka di rumahku, tetapi tidak ada orang lagi di sana… selain itu, aku tidak punya sinyal di ponselku…”
"Begitu…"
Aku mengerti perasaan Hinata-san karena aku juga mengalaminya. Perasaan tiba-tiba kehilangan kehidupan sehari-hari dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah perasaan yang tak tergambarkan, jadi tidak aneh jika dia kehilangan keinginan untuk hidup.
“Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku berjalan tanpa tujuan dan menemukanmu Senpai. Aku sangat ingin berbicara dengan seseorang, karna itu aku merasa telah diselamatkan."
"Aku tidak tahu Hinata-san, mungkinkah kamu berpikir ingin digigit begitu aku berubah menjadi zombie?"
"Aku tak seceroboh itu untuk menginginkan hal itu, karena aku merasa baik-baik saja, tapi aku akan senang jika aku bisa beristirahat lebih lama di sisimu Senpai."
"… Baik. Kalau begitu aku akan berada di bawah perawatanmu Hinata-san.”
Setelah mengatakan itu, aku duduk kembali di tempatku.
Mulai sekarang, Hinata-san harus hidup sendirian di dunia yang kejam ini, jadi setidaknya aku ingin berbicara dengannya dan menenangkannya.
Hinata-san kemudian duduk di sebelahku dan menatapku.
Pada saat ini, aku teringat kembali pada kenangan yang kami habiskan bersama di tepi sungai ini dulu.
"... Kalau dipikir-pikir, Hinata-san kamu cukup egois, karena begitu aku membicarakan masalah ini, kamu tidak mendengarkan apa pun yang aku katakan."
"Oh! Jangan bilang kamu ingat dengan jelas apa yang terjadi di kejadian itu?"
"Kurasa aku sering menemukanmu di tempat ini setelah kamu bertengkar dengan Takuya dan kabur dari rumah."
"Itu benar. Saat aku berada di tempat ini, kamu selalu menemukankku di sini, Senpai."
“Tempat ini tepat berada di antara rumahmu dan rumahku, jadi gimana lagi kita harus lewat sini.”
"Setiap kali aku ingin hanya kamu yang mendengar keluhanku, aku selalu menunggumu di tempat ini."
“Be-begitu? Kupikir itu hanya kebetulan setiap kali aku bertemu denganmu di sekitar sini…”
"Itu tidak benar. Aku akan berpura-pura kabur dari rumah dan menunggumu di sini sepanjang waktu Senpai.”
Hinata mengatakan itu sambil tersenyum malu.
"Ngomong-ngomong, apakah kamu ingat hari di mana kita bertemu?"
"Hmmm? Kami semua sedang bermain game balapan, tetapi kamu datang untuk menyela kami dengan mengatakan kalau kamu juga ingin bermain. Itu adalah game empat pemain, tapi akhirnya menjadi lima pemain, Hinata-san… tapi kamu tak pernah melepaskan stopwact.”
"Kamu benar. Aku ingat Onii-chan sangat marah, tapi kamu membantku senpai. Kamu membuatnya tenang dan semuanya kembali tenang."
“Sejak itu, kamu selalu datang kepadaku setiap kali hal seperti itu terjadi. Misalnya, saat kamu menumpahkan jus jeruk ke manga Takuya."
"Betapa nostalgianya! Karena kita tidak bisa menemukan solusi, kita memutuskan untuk menghancurkan barang bukti dan menguburnya bersama di taman."
"Kalau dipikir-pikir, bukankah lebih baik jika kita membuangnya ke tempat sampah yang seharusnya dibakar?"
"Jangan ragu. Namun, saat itu aku berperan sebagai penjaga yang membuat jantungku berdebar saat kamu menggali lubang dengan sekop, senpai. Hal itu menjadikan kenangan yang indah."
"Apakah itu masih terkubur di kebunmu?"
"Kurasa begitu. Aku akan menggalinya saat aku sampai di rumah."
"Bisa dibilang itu kapsul waktu."
"*Fufufu* Aku tidak ingin kembali ke rumahku yang sepi, tapi sekarang rasa takutku berkurang sedikit."
“Aku yakin keluargamu masih aman, jadi jangan khawatirkan aku, karena kamu pasti akan selamat. Saat aku tidak bisa lagi berbicara denganmu, pastikan kalau aku telah menjadi zombie dan larilah dari sini."
“Kamu senpai yang baik. Kamu bahkan menjagaku di saat-saat seperti ini… Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu aku harus terus berbicara denganmu senpai agar aku bisa langsung tahu saat kamu berubah menjadi zombie. Ini akan menjadi percakapan terakhir dalam hidupmu senpai, jadi tanggung jawabku sekarang berat."
Mengatakan itu, Hinata-san menyatukan kedua tangannya.
Melihat sosoknya, aku tidak bisa menahan senyum. Hinata-san berusaha melakukan yang terbaik untukku sekarang, betapa bahagianya diriku dari kebaikannya!
Aku tidak pernah berpikir kalau aku bisa merasakan kehangatan ini tepat sebelum aku mati …
Aku merasa begitu banyak harapan hanya dengan berada di sisi Hinata-san, tetapi di saat yang sama, semakin banyak aku berbicara, aku semakin merasa tidak ingin mati. Ini menyakitkan.
Tentu saja, aku tidak menunjukkan perasaan seperti itu dan terus berbicara sebanyak mungkin.
"Jika kamu bilang ini adalah percakapan terakhir dalam hidupku, maka aku tidak tahu topik apa yang harus aku bicarakan."
“Kalau begitu, mari kita melakukan percakapan biasa. Senpai, bagaimana perasaanmu selama 5 tahun tidak mendengar kabar dariku?"
“Sulit untuk menyimpulkan 5 tahun dalam beberapa kata, tapi… aku rasa itu semua normal. Aku bersenang-senang meskipun aku juga mengalami momen-momen sulit.”
"Begitu, begitu... Ngomong-ngomong, apakah kamu punya pacar?"
"Sayangnya aku tidak punya."
“Hehehe, benarkah~?”
"Jangan tertawa".
"Aku tidak tertawa hehehe."
"Aku rasa kamu terlalu banyak tertawa."
"Itu hanya imajinasimu... Tolong jangan terlalu sering menatapku senpai."
Hinata-san menutup mulutnya dengan kedua tangan, tapi matanya mengatakan dia sedang tertawa.
"Apakah menurutmu kemalangan orang lain menarik?"
"Itu tidak benar. Lagipula, aku tidak berpikir hidupmu sedih karena kamu tidak punya pacar."
"Mungkin kamu benar, tapi... ketika akhir hidupku akan datang seperti ini, mati seperti ini membuatku menyesal..."
"Begitu... Kalau begitu hapus penyesalan itu karena mulai sekarang, aku akan menjadi pacarmu senpai."
"Hah…?"
"Hei, kenapa kamu nggak mengatakan apa-apa?"
"Itu tak terduga."
“… Apakah kamu benci ide berkencan denganku…?”
Mata Hinata-san kembali basah.
"Aku nggak bilang aku membencinya... Terlebih lagi, aku merasa senang punya pacar, meski aku akan mati."
“… Ka-kamu benar… hehehe…”
Hinata-san mengangkat bahu dan tersenyum malu.
Bahkan dalam situasi seperti ini, aku merasa senang bisa memiliki pacar yang cantik seperti dia.
"... Hmm, karena kita berkencan, apakah kamu ingin mencoba berpegangan tangan?"
"Nggak, itu berbahaya karena aku mungkin berubah menjadi zombie dan berpegangan tangan, aku mungkin nggak akan membiarkanmu melarikan diri."
"Ayolah, setidaknya sebentar aja."
Begitu dia mengatakan itu, Hinata-san meletakkan tangan kirinya di atas tangan kananku dan aku langsung melebarkan mataku karena terkejut.
"Tanganmu dingin senpai!"
“Itu karena aku akan menjadi zombie. Kurasa suhu tubuhku menurun."
"Be-begitu... Kalau begitu senpai, sebentar lagi..."
“Apa kamu nggak merasa seperti sedang menyentuh mayat? Tidakkah menurutmu itu menjijikkan?"
"Tentu saja nggak!"
Hinata-san mengucapkan kata-kata itu dengan tegas, sebelum melingkarkan tangannya di tanganku.
"Senpai, aku akan melakukan yang terbaik untuk menghangatkan tanganmu."
Kehangatan lembut mengalir di tangan kananku, yang kehilangan rasa.
Ini adalah pertama kalinya aku memegang tangan seorang gadis, tapi aku tidak menyangka akan seperti ini…
Untuk sesaat, aku lupa kalau aku akan segera mati, sementara jantungku berdetak dengan tenang.
“… Terima kasih banyak, aku merasa sangat bahagia sekarang.”
"Hehehe. Suatu kehormatan bisa menyenangkanmu. Ngomong-ngomong, senpai, apakah ada hal lain yang ingin kamu lakukan sebagai pacar? Yah, aku bisa melakukan apa saja selama itu bisa kulakukan."
"… Apa kamu serius…?"
Bagiku, itu adalah bisikan dari iblis.
Hanya ada satu hal yang ingin aku lakukan dalam situasi ini.
Aku ingin meremas payudaranya.
Seperti yang aku ingat 5 tahun lalu, cinta samar yang aku miliki untuk Hinata-san saat itu kembali sekarang.
Jika keinginan ini menjadi kenyataan, aku tak peduli jika aku mati kapan saja setelah itu, namun, jika aku mengungkapkan niatku yang sebenarnya, aku akan dibenci olehnya. Aku pasti tidak ingin mati dipandang rendah oleh Hinata-san.
Tetapi jika aku menyerah, aku akan menyesalinya selama sisa hidupku.
Meskipun hidupku mungkin hanya tinggal satu menit lagi dari sekarang...
Aku dihadapkan pada keputusan yang sangat penting. Memiliki kenangan terbaik dan malu? Atau bertahan sampai akhir dan berubah menjadi zombie yang penuh penyesalan?
Tiba-tiba aku menyadari kalau tangan kiriku juga menjadi abu-abu, tetapi aku masih bisa merasakan jari-jariku yang bergerak dengan susah payah.
Kematianku semakin dekat-------
“… Hinata-san. Sejujurnya, aku memiliki keinginan yang ingin aku wujudkan selama sisa hidupku.”
Setelah merenung sampai pada batasnya, aku mengambil keputusan dan mulai berbicara dengan sedikit malu-malu.
"... Meskipun hanya sedikit, bisakah kamu membiarkanku meremas payudaramu?"
“------Eh!?”
Keinginan ini tidak terduga karena Hinata-san mengeluarkan suara seperti jeritan.
Lalu, sambil menyembunyikan payudaranya dengan kedua tangannya, dia mengajukan pertanyaan yang malu-malu.
“Biasanya di saat seperti ini, kamu ingin menciumku, kan…? Senpai, kepalamu penuh dengan hal-hal mesum…”
Hinata-san menatap mataku.
Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan ketika aku berada di ambang kematian, tetapi aku segera membuat alasan ini.
"Enggak, bukan seperti itu. Tentu saja ingin menciummu adalah pilihan pertama yang terlintas di pikiranku, tapi aku berasumsi kalau aku enggak bisa menciummu karena aku memiliki virus zombie di tubuhku, jadi akan ada risiko besar aku menginfeksimu.”
Itu adalah kebohongan besar karena hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah meremas payudaranya. Hanya itu yang aku pikirkan.
"… Aku mengerti. Kamu benar, karena ciuman itu berbahaya…”
Tampaknya Hinata-san setuju dengan apa yang aku katakan. Itu mudah.
“Namun enggak baik membiarkan seseorang yang nggak kamu sukai menyentuh payudaramu. Lebih baik lupakan keinginan yang baru saja aku mita padamu. Maafkan aku, aku telah membuatmu merasa nggak nyaman."
Aku menundukkan kepalaku dengan sekuat tenaga ke arah pacar baruku.
Tapi, ketika aku mengangkat kepalaku setelah beberapa detik, mataku bertemu dengan wajah Hinata, yang memerah dan berkata.
"... Jika hanya sedikit maka ..."
"------ Eh?"
Ketika aku tanpa sadar mengatakan itu, Hinata-san berbisik.
"... Aku akan mengizinkanmu untuk meremas payudaraku selama beberapa detik."
"Eh? A-apa kamu yakin…!? Bukankah kamu benci disentuh oleh orang sepertiku…?”
“Jangan khawatir… Aku sangat menyukaimu Senpai.”
Setelah Hinata-san mengatakan itu, dia menurunkan kedua tangannya yang menutupi payudaranya dan menatapku.
“… Ayo, silakan, remas saja mereka.”
"Nggak. Bahkan jika kamu mengatakannya dengan tatapan yang menyeramkan…”
“Enggak peduli bagaimana tatapanku, itu nggak akan mempengaruhi payudaraku.”
"Kurasa bukan itu masalahnya."
"Cepatt. Aku merasa semakin malu saat menunggumu melakukannya.”
Hinata-san, yang pipinya sangat merah sampai ke telinganya, mengatakan itu dengan mencela. Mungkin fakta kalau dia memelototiku adalah cara untuk menyembunyikan rasa malunya.
Aku sendiri, aku melihat ke bawah sedikit dan melihat kalau tonjolan aneh yang dimiliki para wanita yang semakin membesar saat kami sudah lama tidak bertemu.
Aku tidak pernah berpikir aku akan berakhir seperti ini dengan gadis yang aku sukai ...
“… Ya, lakukan tanpa ragu…”
Sebelum Hinata-san berubah pikiran, aku memutuskan untuk meremas payudaranya.
Saat aku dengan hati-hati mendekati tanganku, perasaan gembira menyerbu tubuhku. Aku merasakan kelembutan yang mantap di ujung jariku.
"Ahh..."
Hinata-san bergidik dan mengeluarkan erangan seksi.
Saat aku mencengkeram tanganku di kedua gumpalan itu, aku merasakan kelembutan yang luar biasa di balik pakaian yang agak kaku.
Aku menggerakkan jari-jariku perlahan dan akibatnya, payudara berubah bentuk.
"Ahhh... mmm..."
Hinata-san menginggilakn suaranya tang penuh gairah dan menatapku dengan malu-malu.
Itu adalah ekspresi seksi yang tak terpikirkan ketika aku masih di sekolah dasar. Aku segera menyadari kalau Hinata-san telah berubah dari seorang gadis menjadi seorang wanita.
"------- Wa-waktunya habis!"
Hinata-san menutupi payudaranya dengan kedua tangan, menjauh sedikit dariku, dan menatapku dengan malu.
“… Ba-bagaimana rasanya…?”
"Aku enggak tahu bagaimana mengatakannya, tapi... aku nggak menyesal melakukannya bahkan jika aku mati kapan saja..."
“I-itu…”
Hinata-san memberiku senyum malu-malu dan ekspresi malu, tapi kemudian berubah menjadi pahit.
"Ya-yah Senpai, kamu menyukai payudara sejak kamu masih SD."
“------ Nggak, tentu saja enggak. Itu nggak benar".
“Gak, itu pasti benar. Saat kita sedang menonton film zombie di rumahku, ada adegan yang memperlihatkan payudara seorang aktris di kamar mandi, dan pada saat itu, kamu pergi dan menyentuh layar TV."
"Hah? … apa itu benar-benar terjadi?”
"Aku mengingatnya dengan jelas. Kamu begitu fokus hingga kamu nggak memperhatikan tatapanku. Hal itulah membuatku sadar kalau kamu adalah seorang pria… itu mengejutkanku."
"Mungkin aku sedang fokus pada filmnya."
"Kamu tersenyum seperti orang mesum."
“Kamu mengingatnya dengan sangat jelas. Tunggu, kenapa kamu melihatku bukan filmnya?"
"Karena aktris itu berpayudara besar, aku bertanya-tanya seperti apa wajahmu saat melihatnya Senpai."
"Sungguh hobi yang mengerikan."
"… Pada saat itu, aku agak iri karena aktris itu membuatmu terobsesi dengan payudaranya, Senpai… Tapi sekarang payudaraku kurang lebih sama dengan aktris itu… Mereka telah tumbuh cukup besar.”
Begitu dia mengatakannya, tanpa sadar aku menurunkan pandanganku.
"... Haruskah aku menebak apa yang sedang kamu pikirkan sekarang, Senpai?"
"Jangan katakan itu."
"Aku ingin melihat payudara telanjangmu."
"… Benar. Nggak, tunggu."
Mengatakan itu tanpa sadar, Hinata-san memberiku tatapan jijik.
Kemudian, dengan bibir gemetar, dia menanyakan hal ini.
"...Senpai, kamu ingin aku menunjukkan payudaraku sebelum kamu mati?"
“----- Hah!?”
Setelah secara tak sengaja mengatakan itu dengan keras, aku mengajukan pertanyaan padanya karena aku bingung.
“A-Apa kamu baik-baik saja dengan itu…?”
"Enggak juga, tapi Senpai adalah kamu... Selain itu, kamu mungkin akan segera mati karena gigitan dari zombie padamu... Kurasa takdirlah yang membuatku bisa bertemu denganmu di sini, jadi kurasa pada akhirnya, nggak ada salanya’ kan untuk menciptakan kenangan masa muda.”
"Ini agak dewasa untuk mengatakannya kenangan masa muda."
"Kalo gitu, kamu nggak ingin melihat mereka?"
"Nggak, aku ingin melihatnya. Maaf karena secara tak sengaja menggodamu. Terimakasih banyak."
Aku mengatakan kepadanya perasaan tulusku dengan hormat dan menundukkan kepala dalam-dalam.
Kemudian Hinata-san menarik napas dalam-dalam. Lalu, dia berdiri di depanku dan aku mengangkat kepalaku.
Dia kemudian melepas jaket sekolahnya sambil melihat ke bawah diam-diam.
Dia kemudian mulai membuka kancing blusnya dari atas ke bawah dan sedikit demi sedikit kulit telanjang Hinata-san terlihat.
Tak lama kemuadian, blusnya benar-benar terbuka dan bra pink cantik muncul dari bagian itu.
Wajah Hinata-san memerah dan dia bahkan tidak mencoba menatap mataku. Dia menutup mulutnya untuk mencoba menghilangkan rasa malu dan membuka kancing depan bra-nya dengan tangan gemetar, tetapi berhenti. Jelas kalau dia mulai ragu.
Namun, ekspresi ragu itu berubah menjadi tekad, lalu dia perlahan mulai membuka kancing branya yang sudah terbuka.
Payudara yang indah, bergoyang-goyang saat keluar dari bra. Warnanya sangat putih dan bersih, dengan ujung yang sangat merah muda. Semuanya ada dalam pandanganku.
Dampaknya sangat besar hingga aku merasa otakku mendidih. Aku tidak bisa memikirkan apapun lebih dari ini.
Yang aku tahu adalah sekarang bukan waktunya untuk berubah menjadi zombie.
“… Wa-waktunya habis.”
Setelah beberapa detik, Hinata-san menutupi payudaranya dengan blusnya untuk menutupnya, berbalik dan mulai merapikan pakaiannya.
Aku pikir aku harus mengatakan sesuatu padanya, tetapi aku tidak bisa mengatakan sepatah katapun, karena otakku sedang memproses apa yang baru saja aku lihat.
Pada akhirnya, Hinata-san sepertinya hanya merapikan pakaiannya, namun, dia terus memunggungiku. Aku rasa dia sangat tak nyaman.
------ Melihat punggung kecil di depanku itu, perubahan mulai terjadi.
Meski kelopak mataku terbuka, aku merasakan pandanganku sedikit demi sedikit menyempit.
Tepat setelah itu, aku menyadari kalau aku tidak bisa menggerakkan tanganku dengan bebas.
Akhirnya, kematianku telah tiba.
Ini buruk. Hinata-san masih memunggungiku------
“… Hei… Hina…”
Aku langsung memanggilnya, tetapi aku tidak bisa mengucapkan namanya dengan benar karena lidahku tidak bergerak seperti yang aku inginkan. Seolah-olah mulutku dibius.
"... Hinata-san... lari..."
Saat aku berhasil memanggilnya, Hinata-san perlahan mulai berbalik.
“Haa… kupikir aku bisa menerimanya, tapi ternyata seratus juta kali lebih memalukan daripada yang kukira…”
Hinata-san menatapku lagi saat dia menggumamkan itu dan segera melebarkan matanya.
"... Senpai, sekarang kamu sangat mirip zombie."
"La… ri…"
"Maafkan aku, tapi aku nggak akan lari. Senpai, gigit aku dan ubah aku menjadi zombie juga."
"He… hei…"
“Aku merasa lelah dan aku nggak ingin sendirian. Aku lebih suka menjadi zombie sepertimu daripada tetap seperti ini, Senpai. Ya, itu benar. Daripada menggigitku, lebih baik cium aku dan infeksi diriku. Jauh lebih romantis seperti itu. Setelah itu, jika kamu mengikat tanganku dengan tali, kamu bisa tetap bersamaku bahkan setelah aku berubah menjadi zombie jadi kamu nggak akan merasa sendirian."
Hinata-san meraih tanganku dan mengatakan itu dengan ekspresi penuh harapan di wajahnya.
Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Baginya untuk menyerahkan hidupnya adalah hal yang salah.
"... Beristirahatlah... Senpai..."
Saat Hinata-san menggumamkan itu, dia mengambil keputusan dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Ini semua salahku. Jika aku mengusirnya dengan lebih kejam, dia mungkin tidak akan memutuskan untuk menyerah...
Penglihatanku menjadi abu-abu dan aku merasa seperti akan kehilangan kesadaran setiap saat, selain itu, sendi-sendi di seluruh tubuhku sekeras batu.
Namun, dengan kekuatan terakhirku, aku memberitahu dia hal-hal ini dari lubuk hatiku.
"… Tentu saja… nggak akan."
Dan menanggapi suara serakku, Hinata-san berhenti bergerak.
“------ Eh? Ada apa, Senpai?"
"… Itu… nggak… benar."
"Apa kamu mencoba memberitahuku untuk nggak berubah menjadi zombie?"
"... Itu... benar…"
“Meskipun kamu mengatakan itu, nggak ada gunanya aku hidup di dunia ini, kan? Jangan mengatakan hal-hal yang nggak bertanggung jawab saat kamu akan menjadi zombie. Jika kamu ingin aku hidup, tolong tetap bersamaku selamanya, Senpai."
------- Saat Hinata-san, yang tampaknya menderita kesedihan dan rasa sakit, mengeluh dengan kata-kata itu, hatiku tiba-tiba mulai menghangat.
Panas menyebar sedikit demi sedikit ke seluruh tubuhku seolah-olah ditransmisikan melalui organ-orang dalam. Seolah-olah selku menolak untuk berubah menjadi zombie.
Aku harus melindungi Hinata-san.
Ini adalah tanggung jawabku.
Sambil menggertakkan gigiku, aku mengangkat tanganku seberat besi sedikit demi sedikit.
"… Kita… akan bersama…!!"
"------ Eh?"
“… Hinata-san… aku… akan melindungimu… akan melindungimu!!”
Aku mengatakan itu dan meraih bahu Hinata-san dengan kedua tangan.
Pada saat itu, kami saling bertatapan, aku menyadari kalau Hinata-san tidak lagi berwarna abu-abu tetapi kembali ke warna aslinya.
“… Hmm, senpai? Apa kamu nggak berbicara dengan normal lagi?"
Menanyakan hal itu padaku, Hinata-san melebarkan matanya dan aku tiba-tiba menyadari kalau itu benar, selain itu, perasaan tak bisa bergerak sudah hilang. Tanganku tetap abu-abu, tapi aku bisa menggerakkannya dengan bebas.
Rasa dingin dan kelelahan yang aku alami di tubuhku menghilang dan bidang penglihatanku, yang sampai saat ini berkurang, kembali normal.
“… Untuk beberapa alasan, zombifikasi tampaknya telah berhenti.”
"Berhenti...?"
Hinata-san menatap wajahku dengan tidak meyakinkan.
"... Mmm, ini agak sulit untuk ditanyakan, tapi Senpai, apa kamu bukan zombie lagi...?"
"------- Hah?"
"Yang terjadi adalah matamu terlihat keruh, kulitmu berwarna abu-abu dan kamu benar-benar terlihat seperti zombie."
"Be-benarkah?"
Aku segera mengeluarkan ponselku, mengaktifkan aplikasi kamera, dan memeriksa wajahku.
"------ Eh?"
Itu benar. Wajahku seperti zombie tidak peduli bagaimana aku melihatnya.
"… Eh? Apa yang telah terjadi?"
"Itulah yang seharusnya aku katakan."
“Mungkinkah… aku sudah pulih? Apa aku berhasil mempertahankan akal sehatku bahkan setelah berubah menjadi zombie?"
"Aku enggak tahu harus berkata apa."
"Baiklah. Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan mulai sekarang?"
"Entahlah... atau lebih tepatnya, kupikir kamu akan segera mati Senpai, jadi kamu melihat payudaraku yang telanjang, kan?"
“Mu-mungkin…”
“Kamu melanggar janjimu! Tolong bertanggung jawab, Senpai!"
Dengan mata berair, Hinata-san mendekatiku sambil menutupi payudaranya dengan tangannya.
Semantara itu, aku tanpa sadar menurunkan pandanganku.
"Jangan mengingatnya! Hapus itu dari ingatanmu sekarang!”
“Bahkan jika kamu memberitahuku… Gruuaaaa~~”
"Kamu nggak bisa membodohiku dengan berpura-pura menjadi zombie!"
Aku langsung ketahuan, namun, aku terlihat seperti zombie.
"Hei, tunggu sebentar! Aku yakin tubuh dan jiwaku akan segera berubah menjadi zombie!”