Chapter 12 -
Kencan pertama yang memalukan dan menyenangkan.
Aku memutuskan untuk pergi dengan Yayoi-chan besok.
Aku lega dia mau untuk pergi denganku, meskipun aku harus sedikit memaksa, tetapi aku langsung pulang.
Jika ini adalah langkah pertama Yayoi-chan untuk berintegrasi di dalam kelas, aku harap dia melakukannya dengan baik.
Huh? Pergi keluar untuk bersenang-senang? Di hari libur dengan seorang gadis? Bukankah, itu…
"Hai. Bukankah itu yang disebut, kencan?”
Aku mengerutkan kening seolah-olah aku telah dihadapkan dengan masalah matematika yang sangat sulit.
Aku langsung membuka kamus bahasa Jepang di mejaku dan pergi ke halaman "Kencan".
“Kencan adalah pertemuan antara laki-laki dan perempuan pada suatu tempat dan waktu yang telah disepakati sebelumnya” Aku tahu, aku udah mengajaknya kencan!
Tapi apa itu kencan? Itu harus ada di kamus, bukan hanya arti kutipannya aja!
Kemana kita pergi kencan? Apakah kencan berarti makan malam atau semacamnya? Apa yang kau bicarakan saat kencan? Apa itu kencan?
Aku panik.
Kata "kencan" terus berputar di dalam kepalaku, membuat kondisiku kacau .
Aku telah mengajaknya untuk pergi berduaan bahkan tanpa berpikir dua kali, tapi ini masalah yang lebih besar.
Saat aku melihat ke cermin, wajahku pucat. Tampaknya aku sudah mati. Aku bisa melihat kematian satu triliun bintang kapan saja.
"Sialan... aku nggak bisa memikirkan apapun."
Mataku berputar dan darahku mulai membeku. Suhu tubuhku turun di bawah nol derajat dan aku mulai merasa sangat mengantuk. Jangan tidur! Jika kau melakukannya, kau akan mati!
Kalo aku melanjutkan tanpa rencana, ini akan berakhir SANGAT buruk. Kalo gitu aku akan mencari di Google "Saran kencan untuk siswa SMA".
Dikatakan kalo taman hiburan direkomendasikan untuk kencan pertama, tapi semua itu gak ada di wilayah ini. Aku gak tahu apa yang akan terjadi, jadi aku memutuskan untuk bertemu di stasiun kereta api di kota, dan di situlah keberuntunganku habis. Seharusnya aku melakukan sedikit riset sebelum mengajaknya kencan.
“Ugh! Apa yang harus kulakukan? Aku gak tahu harus berbuat apa saat kencan.”
Aku terjun ke tempat tidur dan berteriak sekuat tenaga karena emosi. Jelas dari penampilanku kalo aku nggak ada ide apapun yang muncul di benakku.
Haruskah aku berbicara dengan Mayama tentang hal ini? Tapi dia mungkin akan menertawakanku, jadi jangan.
Haruskah aku membatalkannya sekarang? Nggak, aku gak tahu nomor ponsel Yayoi-chan, dan aku gak tahu bagaimana menghubunginya…
"Yayoi-chan."
Aku membenamkan wajahku ke bantal dan menggumamkan namanya yang gak bisa kukatakan di depannya.
"Onii-chan, apa yang kamu lakukan?"
Saat aku guling-guling tempat tidur, adikku Sanae mengintip ke kamarku untuk melihat apa yang terjadi.
"... Enggak, nggak ada."
Aku gak akan bertanya kepada adikku bagaimana aku bisa berkencan dengan seseorang. Aku masih punya harga diri sebagai seorang kakak.
"Bukankah kamu mengatakan sesuatu tentang 'kencan'?"
“Aku gak akan pernah berteriak seperti itu. Sana, keluar dari sini sekarang!"
Aku melambai ke Sanae, yang menatapku dengan curiga.
"Onii-chan, kamu mau kencan, kan?"
"Ah, itu bukan urusanmu."
"Apa kamu khawatir tentang itu?"
Sanae menatapku tanpa mundur, apa dia bisa membaca pikiranku?
“Aku bisa dengan mudah mengetahuinya karna kamu memiliki penampilan yang menyedihkan. Ayo, katakan padaku."
Sanae masuk ke kamarku dan duduk di atas bantal sambil mengatakan itu.
"Kau……"
Di satu sisi, aku bertanya-tanya mengapa aku harus berbicara dengan adik SMP ku tentang kencan, tetapi di sisi lain, aku juga ingin berpegang pada kata-katanya untuk melihat apakah ada yang bisa dia lakukan untuk membantuku. Begitulah putus asanya diriku saat ini.
"Kalo kamu nggak ingin membicarakannya, ceritakan padaku sebuah cerita."
Dia mengajakku untuk berbicara sambil bersikap tenang dan santai 'Ayo, katakan padaku'. Murid SMP macam apa dia ini? Membuatku begitu mudah untuk berbicara!
Tapi karena aku sudah mengajak Yayoi-chan. Aku gak bisa gagal karena harga diriku yang aneh. Mari kesampingkan rasa maluku dan ambil benang laba-laba.
“Mi-misalnya. Ke mana kita harus pergi di kencan pertama kita?”
Duduk kembali di tempat tidur, aku bertanya-tanya nasihat seperti apa yang aku minta dari adik perempuanku.
Nggak, maksudku, ini semua buat Yayoi-chan.
“Yah…Misalnya, akan menyenangkan makan siang atau pergi berbelanja, tapi jika keterampilan komunikasi cowok itu sangat buruk, akan ada masalah karena gak bisa melakukan obrolan karena gak ada yang perlu dibicarakan. Diam adalah neraka saat kamu sendirian.”
Sanae menatapku dan tersenyum saat dia memberiku nasihat yang tepat.
Itu poin yang bagus. Aku nggak menyadari kalo kencan dan neraka adalah dua sisi dari koin yang sama!
"… Itu hanya sebuah contoh."
Dia bilang "contoh", tetapi cowok itu seharusnya adalah aku, kan?
Tentu saja, jika aku makan siang berdua dengan Yayoi-chan, sudah jelas kami gak akan bisa ngobrol lama-lama.
Mengingat pekerjaan kami sepulang sekolah tempo hari, kecil kemungkinan Yayoi-chan akan menjadi orang yang memulai obrolan.
Itu berarti aku harus mengambil inisiatif, tetapi aku sama sekali gak yakin akan kemampuanku untuk melakukannya. Kalo terus seperti itu, permainan akan berakhir di menit pertama.
Selamat Datang di neraka!
"Jadi, misalnya, orang seperti apa yang kamu temui?"
"Aku nggak tahu."
"Apa hobinya?"
"Aku nggak tahu."
"Seperti di dalam? Di luar?"
"Aku nggak tahu."
"Onii-chan, kamu mau kencan sama alien?"
"Itu hanya mitos!"
Sanae menghela nafas berat, dan aku juga mulai merasa pusing.
Aku nggak tahu apapun tentang apa yang disukai Yayoi-chan, itu yang sebenarnya. Sebaliknya, yang aku tahu adalah dia menganggapku keren dan dia seorang Agen; Itu informasi yang cukup jelas.
Kalo memang begitu, kami hanya akan melihat kastil Hiroshima dan mungkin pergi ke Miyajima…
“Kalo pergi ke berbagai tempat wisata, bukankah topik pembicaraan akan muncul, bahkan masih nggak ada? Kan ada rusa di Miyajima!”
“Kalo itu, bukankah itu seperti kunjungan siswa sekolah dasar? Cewek-cewek itu nggak akan mau kencan di tempat-tempat seperti pemandangan dan tempat wisata."
Sanae langsung menyangkal. Nggak, tapi kalo rusa? Bukankah mereka lucu?
“Yoc-chan, Fumi-chan, Rei-chan… Ada banyak tempat di mana kami bisa pergi untuk makan siang!”
“Bukankah itu restoran okonomiyaki!? Kamu sedang kencan, jadi kamu harus pergi ke restoran yang lebih bergaya.”
"Ya! Dia menyukai yang manis-manis! Kami akan pergi ke pabrik Momiji Manjuu di…”
“Di dalam kepalamu itu, apakah momiji manjuu termasuk dalam kategori manisan? Juga, datang ke pabrik adalah tempat yang salah untuk kencan. Ditolak!"
Rencana kencanku selalu ditolak sama Sanae. Bukankah kencan itu terlalu rumit?
“Nonton film! Kalo film, kamu nggak perlu berbicara selama dua jam, dan kamu memiliki sesuatu untuk dibicarakan kalo kamu berbagi kesan tentang film itu. Misalnya…"
Sanae melambaikan telapak tangannya seolah memberiku peringatan.
“A-aku mengerti…”
Aku cukup terkesan dengan rencana kencan yang konyol itu. Ada bioskop di dekat sana. Itu lokasi terbaik, menurutku.
“Namun, pastikan untuk melihat durasi filmnya. Kalo filmnya cukup terkenal, kamu gak akan gagal. Dan apa kamu sudah memikirkan baju yang kamu pakek?
Sanae mengacungkan jari telunjuknya dan memberiku saran satu persatu. Ini seperti punya instruktur kencan terbaik di depanmu. Dia benar-benar bisa diandalkan…
"Ba-baju ..."
Aku melihat ke dalam lemariku, tapi gak bisa memikirkan sesuatu yang pantas untuk ditunjukkan padanya.
Aku menyerah, kurasa aku harus pakek seragam kalo itu masalahnya.
"Kamu nggak akan benar-benar berpikir kamu akan pakek seragam besok, kan?"
Seramnya.
Dia tahu segalanya tentang kakaknya, kan?
"Kurasa nggak. Maksudku, misalnya…”
Aku rasa hal yang paling modern adalah pakek apa yang kau inginkan tanpa dipengaruhi sama tren, tetapi aku nggak memiliki banyak pengalaman...
Sanae menatapku dengan tatapan curiga.
Abaikan aja data kencanku, oke!
Aku kakakmu, ingat?
Aku nggak tahu apa yang dia suka, dan berbahaya untuk menunjukkan selera pakaianku.
Sanae dengan seenaknya membuka lemari dan mulai mengobrak-abriknya dengan geram. Ini bukan lagi sekedar contoh, ini adalah strategi nyata, bukan?
“Lagipula, aku hanya punya sepatu kets dan sepatu, jadi aku akan memprioritaskan kebersihan. Aku akan memakai jeans dan kemeja putih ini.”
Sanae berinisiatif mengeluarkan baju dari lemariku dan memutuskan pakaian yang cocok untuk kencan.
“Berkencan dengan seorang gadis yang nggak kamu kenal dengan baik itu seperti bayi yang baru belajar merangkak dan mulai menyetir bus besar. Yang terpenting, berhati-hatilah dan patuhi dasar-dasarnya. Paham?"
Aku menyerahkan semuanya pada Sanae, tapi sepertinya dia sudah menyiapkan rencana kencan untukku.
Bayi itu akan bisa berjalan sendiri sekarang, baiklah.
"Kalo gitu, aku mau ke kamarku. Aku nggak ingin tetap di sini selamanya membicarakan hal seperti itu."
Dia meletakkan tangannya di pinggul dan tampak sedikit kesal.
"... Makasih, Sanae."
Aku berterima kasih pada Sanae saat dia meninggalkan kamar. Aku rasa dia hanya setengah terkejut, tetapi dia membantuku.
“Maksudmu contohku, kan? Rasa malu Onii-chan juga milikku, Jadi kendalikan dirimu!"
Sanae menutup pintu dengan keras.
Sungguh adik yang bisa diandalkan. Sekarang aku nggak perlu malu di depan Yayoichan.
Baiklah, aku akan membuat kencan besok sukses besar agar Yayoi-chan bisa melihatku tersenyum!
♦
Keesokan harinya.
Aku mengenakan pakaian yang diputuskan Sanae untukku, memeriksa jadwal film dan melihat-lihat sekitar lima restoran untuk makan siang di internet, tapi itu bukan okonomiyaki.
Kami sudah janjian untuk bertemu pada pukul 11:00, tetapi aku tiba di stasiun Hondori pada pukul 9:00. Aku nggak ingin terlambat.
Aku tiba sangat awal, aku nggak ingin terlambat. Aku nggak berlebihan, aku hanya sangat berhati-hati.
Aku punya sedikit waktu, jadi karna aku di sini, aku akan membahas poin-poin obrolan yang aku pikirkan tadi malam. Kehidupan sekolah, anjing dan permen...
Topik yang sudah aku siapkan ternyata sangat sedikit. Salah satu temanya hampir sama.
Ini menguatkan fakta kalo aku nggak tahu apa-apa tentang Yayoi-chan, dan aku takut dia nggak suka aku menanyakan ini atau itu padanya…
Mula-mula, apakah dia benar-benar akan datang? Lagipula, aku terlalu blak-blakan saat mengajaknya.
Sementara aku merasa sedikit gelisah, tampaknya kereta baru saja tiba dan banyak orang keluar dari loket tiket. Masih ada sedikit waktu sebelum waktu pertemuan dan aku mencoba menyingkir dari kerumunan orang, tetapi…
"Fu-Fukase-kun!"
Aku mendengar ada suara memanggil yang namaku dan berbalik untuk melihat ke pintu depan.
Ada seorang gadis berbaju putih dan rok biru berdiri di sana, menatapku.
Untuk sesaat, aku nggak tahu siapa dia.
Aku nggak bisa salah mengira dia dengan siapa pun dari sekolah, karena itu di luar imajinasiku.
Aku bahkan nggak bisa berkedip.
Gadis yang sedikit berlari ke arahku dan melambai adalah Yayoi-chan.
"Kinoshita-san!"
Aku sedikit terkejut melihat Yayoi-chan muncul setelah bertemu dengannya.
Aku melihat jam tanganku lagi. Ini masih Jam Sembilan lebih.
"Kinoshita-san, bukankah ini terlalu cepat?"
"Aku nggak ingin terlambat..."
Yayoi-chan menggigit bibir merah mudanya dan berbalik tersipu.
Wajahnya sudah sangat merah, tapi dia gak menatapku seolah dia malu.
"Awalnya aku nggak memperhatikanmu karena kamu nggak memakai seragam."
“Apa aku terlihat aneh…?”
Yayoi-chan melingkarkan tangannya di sekitar tubuhnya.
“Itu nggak aneh sama sekali! Itu cocok untukmu! Aku menyukainya! Itu bagus!"
Aku nggak memiliki kata-kata dan pengalaman untuk memuji baju kasual seorang gadis, jadi aku sedikit berlebihan.
Yayoi-chan adalah gadis yang modis, jadi nggak heran jika apapun yang dia pakek, dia akan selalu terlihat cantik, tapi rok birunya menonjolkan kesegaran musim semi dan membuatnya terlihat lebih glamor dari biasanya. Sejujurnya, aku nggak berpikir dia seelegan itu. Aku hapir aja pekek seragam sekolah. Aku hampir aja melakukannya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Tak terduga kalo kami bertemu begitu cepat, dan aku langsung bingung.
Aku sudah merencanakan untuk menonton film, tetapi masih ada sedikit waktu sebelum filmnya dimulai. Apa yang harus kami lakukan sampai saat itu…?
"......"
Meskipun terburu-buru, Yayoi-chan tetap tanpa ekspresi seperti biasanya dan gak terlihat tertarik dengan obrolan itu. Satu-satunya hal yang berbeda dari biasanya adalah pakaiannya, dan sikapnya sama seriusnya saat di sekolah.
Apa Neraka Sudah Datang?
Nggak, aku harus tegas di sini. Akulah yang mengajaknya keluar, dan kencan ini gak ada artinya jika aku gak bisa membuat Yayoi-chan terbuka padaku, meskipun hanya sedikit.
Jangan negatif, jangan lari, jangan menyerah!
"Sementara itu, ayo pergi ke tempat lain, oke?"
Yayoi-chan menganggukkan kepalanya dalam diam.
Kami meninggalkan stasiun dan menuju ke bawah. Udara pagi terasa sedikit lebih sejuk.
Jalanan sepi ketika kami memasuki arcade jalan utama.
Saat aku mulai berjalan tanpa tujuan, Yayoi-chan mengikutiku agak jauh.
Aku melihatnya dan dia memperhatikan dan memalingkan muka.
Dia nggak menjaga kontak mata denganku lebih dari biasanya. Aku ingin tahu ada apa dengannya?
Mungkin karena aku dengan paksa mengajaknya keluar, tapi meskipun dia datang berkencan denganku, dia sepertinya benar-benar gak menikmati dirinya. Sepertinya dia berkencan denganku karena dia gak punya pilihan lain, dan itu juga membuatku merasa gak nyaman.
Banyak dari rencana yang aku buat tadi malam berantakan sejak awal, dan aku hanya berjalan di sekitar arcade dalam keheningan.
Aku berpikir untuk pergi ke toko, tapi ini masih jam sembilan pagi dan nggak banyak toko yang buka saat ini.
Akhirnya, aku berjalan melewati toko game satu satu dan berhenti tanpa terjadi apa-apa.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Aku sedang berpikir untuk menonton film atau semacamnya, tapi masih ada waktu…”
Tanyaku pada Yayoi-chan, khawatir kalo aku dalam keadan menyalahkan diri sendiri.
"Apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"
"Aku…"
Tiba-tiba, Yayoi-chan menjadi gelisah karena dia harus memutuskan kemana dia ingin pergi.
Ketemuannya gak ada masalah, tetapi sisanya itu benar-benar bencana. Ini adalah ketidakmampuanku untuk menghadapi hal-hal yang tak terduga. Kurangnya pengalaman kencanku telah terungkap sepenuhnya.
Waktu hening selanjutnya terasa seperti keabadian, dan kata 'kegagalan' mulai muncul di benakku.
Aku masih terlalu muda untuk berkencan dengan seseorang yang hampir gak bisa ku ajak bicara.
Ini seperti bermain piano. Aku menoleh lagi, merasa nyaman dengan diriku sendiri. Aku puas mengajak Yayoi-chan keluar tanpa memikirkan orang lain, bukan?
"Maaf, aku tiba-tiba bertanya padamu, itu konyol."
Dipenuhi dengan penyesalan, aku minta maaf.
Aku yakin wajahku terlihat tertekan dan menyedihkan.
"Nggak…"
Yayoi-chan juga baru aja mengeluarkannya. Ini gak cukup untuk membuatnya terbuka.
Berjalan keluar dari arcade, kami berdua memiliki aura ketidakpastian yang canggung tentang satu sama lain, dan di sini kami akhirnya melakukan kontak mata untuk sesaat.
Ekspresi kami berawan saat kami saling menatap sesaat, dan aku yakin kami nggak terlihat seperti pasangan yang sedang berkencan bagi orang-orang di sekitar kami.
"Haruskah kita pulang untuk sisa hari ini?"
Aku takut kesunyian hanya akan berlanjut.
Kupikir aku sudah siap untuk membuka hati Yayoi-chan, tapi ini sama sekali nggak terasa seperti kencan.
Aku gagal lagi...
Ketika aku mulai berjalan untuk pergi ke tempatku tadi.
"Tunggu!"
Dia meraih lenganku dengan erat.
"Kinoshita-san?"
"Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, jadi aku gak tahu harus berbuat apa."
Yayoi-chan memejamkan matanya dan meletakkan tangannya di antaranya.
Kukira dia menangis, ternyata nggak.
"... Belum, aku belum mau pulang."
Yayoi-chan dengan cepat mengangkat kepalanya dan menatapku.
Ekspresi wajahnya tak terlukiskan, dan untuk sesaat aku sulit memahaminya.
Alisnya berubah dan sudut bibirnya menegang. Matanya, besar seperti biasanya, membesar dan setengah terbuka.
Itu adalah senyum paksa yang dilakukan dengan sangat buruk, seolah-olah dia telah gagal dalam kontes senyum.
"......"
Ada apa, Yayoi-chan?
Aku menatap senyum canggung itu, berpikir kalo aku harus bereaksi entah bagaimana.
Apakah ini bagian di mana aku tersenyum? Nggak, apakah ini senyuman tadi…?
Aku terpesona oleh ekspresi Yayoi-chan yang tak biasa.
"A-ada apa?"
Yayoi-chan saat ini tampak cemas, nggak mengerti alasan mengapa aku tiba-tiba membeku.
"Maaf, aku terhanyut senyuman Kinoshita-san..."
Ketika aku bermaksud mengungkapkan perasaanku secara gak langsung, ternyata itu adalah tanggapan yang sangat langsung.
Wajah Yayoi-chan menjadi sangat merah menanggapi pernyataan cerobohku.
“Ter-terhanyut…?”
"Bukan, bukan karena aku terhipnotis, itu lebih seperti mengapa kamu akhirnya tersenyum padaku?"
Anggap saja aku menatap Yayoi-chan saat dia menutupi wajahnya dengan tangannya dan memerah, senyumnya hilang!
"Enggak. Aku mungkin telah menatap Fukase-kun selama ini, tapi itu gak disengaja, itu kesalahpahaman…”
Yayoi-chan tiba-tiba mulai membuat alasan sambil menggelengkan wajahnya.
Ekspresi yang dipaksakan pada dirinya sendiri untuk menghindari tatapannya padaku, apakah itu senyumannya? Apakah dia mencoba membuatku merasa lebih baik karena tiba-tiba memintanya untuk pulang?
Namun, sebagai seorang Agen, apakah menjadi masalah dalam bisnis jika dia buruk dalam membuat senyuman?
"Lu-lupakan! Ini salahku karena terlalu mempercayaimu di sekolah. Selain itu, itu kesalahpahaman … "
"Soal apa?"
Hal yang sama yang terjadi pada Mayama beberapa waktu lalu, bom bunuh diri.
"Aku kamu sudah mendengar tentang ini, tapi Mayama itu idiot..."
"Aku gak peduli tentang itu. Kamulah yang menatapku saat itu…”
"Gak, gak, aku gak menatapmu!"
Faktanya, itu adalah tatapan yang lama.
… Aku nggak tahu kalau aku sedang menatapnya.
"…… Lalu?"
Sepertinya Yayoi-chan juga ingin menjernihkan kesalahpahaman kami di masa lalu, dan kami bertukar pandang sedikit, seolah-olah kami lega satu sama lain.
Akhirnya, ekspresi Yayoi-chan melembut saat senyum buruk dan garis kerutannya menghilang.
Pada saat itu, suasana lembut dan tak nyaman seakan menghilang dan ketegangan di antara kami pun tampak mereda.
"Aku juga berusaha melakukannya dengan baik pagi ini, tapi aku gak bisa... berbicara dengan baik."
"Aku juga sama. Aku benar-benar gugup. Kuharap kamu nggak keberatan kalo aku mengajakmu keluar begitu tiba-tiba…”
“Enggak, bukannya aku nggak menyukainya. Aku hanya terkejut."
"Aku tahu."
Setelah menyelesaikan kesalahpahaman kami, kami akhirnya saling bertatap muka dengan benar.
Yayoi-chan tampaknya sangat berhati-hati untuk gak menatapku, tapi dia gak bisa menghentikan wajahnya yang memerah. Sedikit demi sedikit, seperti biasa, wajahnya menjadi kemerahan, mulai dari pipinya dan berakhir di telinganya.
Kami berhenti di tengah jalan tanpa tujuan, tetapi aku merasa bisa membuat kemajuan.
“Aku sebenarnya punya tempat yang ingin aku kunjungi…”
Kata Yayoi-chan, memegang ujung roknya seolah dia telah mengambil keputusan.
Aku agak lengah, tapi saran Yayoi-chan adalah anugerah jadi aku memutuskan untuk menerimanya.
"Iyakah? Kalo gitu, ayo pergi!"
Setelah ketemuan dua jam yang tak terduga dan jalan-jalan yang canggung dan hening, kencan kami mulai berubah menjadi lebih baik.
"Di Sini."
Yayoi-chan menyuruhku lebih dekat, meski aku masih belum merasa sebepuhnya nyaman dengannya.
Aku berdiri di sisi kiri Yayoi-chan. Kami mulai berjalan berdampingan.
Saat ini hari libur di kota, cuacanya bagus dan langit biru dan putih adalah pemandangan yang harus dilihat. Aku akhirnya punya waktu untuk melihat ke langit dan pikiranku mulai jernih.
"Cuacanya cerah, bukan?"
"Ya, benar."
Aku bertanya-tanya apakah mungkin bagi kami untuk melakukan percakapan santai seperti itu.
Saat aku bertemu dengannya di kafetaria di festival sekolah, dia akan mengabaikanku, mengolok-olokku, dan memberiku tatapan jahat ketika aku mencoba berbicara dengannya.
Pikiran untuk berkencan dengan Yayoi-chan membuat kepalaku tiba-tiba menyala, dan seperti biasa, fantasiku terus meningkat.
"Yayoi-chan, bisakah kita berpegangan tangan?"
"Ehh, itu memalukan, Satsuki-kun."
"Aku khawatir kamu akan lari dariku."
"Aha, aku buronan cinta."
“Tanganku adalah belenggu cinta yang tak akan pernah bisa terlepas darimu─!”
"Ada apa?"
Aku gak yakin apakah dia memperhatikan kalo detak jantungku semakin cepat karena paranoiaku yang berlebihan, tetapi Yayoi-chan telah menyadari sesuatu.
"Bukan apa-apa!"
Jangan lagi! Aku memotong deliriumku dengan pantang.
Kau bisa kembali ke delusimu nanti, idiot!
"Mau pergi kemana kita?"
"Kamu harus menunggu sampai kita tiba di sana."
Yayoi-chan terlihat sedikit malu dan berjalan lebih cepat.
Aku gak mengganggu lagi dan mengikuti Yayoi-chan dalam diam.
Aku gak bisa mengacaukan kencan yang baru saja dimulai dengan baik, bukan?
Saat ini aku sedang dalam definisi kutipan tentang kencan!
Kami melanjutkan ke jalan besar yang dilalui trem. Aku ingin pergi ke Miyajima lain kali. Rusa-rusanya sangat lucu.
Kalo ada kencan lain, aku harus merencanakannya agar nggak canggung.
Aku sudah memikirkan kencan kami selanjutnya.
“Yayoi.”
Aku mendengar suara di belakangku, dan Yayoi-chan, yang sedang berjalan di depanku, berhenti.
Aku secara refleks menoleh untuk melihat seorang pria berjas berdiri di sana.
Aku bertanya-tanya apakah dia kenalannya.
"… Ayah?"
Yayoi-chan menatap pria itu dan mengeluarkan suara gugup.
Ayah?
Aku menatap Yayoi-chan dan pria itu berulang kali. Suasana ceria yang dia miliki sebelumnya segera berubah menjadi panik.
Apakah pria itu ayah Yayoi-chan…?
"Yayoi, apa yang kamu lakukan?"
Dia berbicara dengan nada rendah, dan Yayoi-chan berdiri tegak dan membeku, mencengkeram erat rok birunya.
Ayahnya mengenakan setelan yang terlihat mahal, dan kacamata berbingkai hitamnya membuatnya terlihat tegas.
Dia juga seorang Agen, kan?
"Dan kau?"
Kali ini, tatapan tajam diarahkan padaku, dan aku merasa takut seolah-olah jantungku tertembak. Yayoi-chan telah menatapku berkali-kali, tapi ini bukanlah sesuatu yang sederhana.
Katakanlah itu lebih seperti niat membunuh yang diarahkan dari seorang pria yang bersama putrinya. Dari matanya saja aku yakin kalo dia adalah agen sangat hebat.
“Aku, aku teman sekelas Kinoshita-san dan namaku Satsuki Fukase…”
Aku memperkenalkan diri dengan jujur, seolah aku telah dibius dengan serum kejujuran.
"… Begitu. Aku yakin putriku berada di tangan yang tepat."
Tiba-tiba, niat membunuh langsung menghilang.
Menyipitkan matanya melalui kacamatanya, dia memanggilku, teman putrinya, dengan mata seorang ayah yang ramah.
"Tidak, dengan senang hati ..."
Aku buru-buru menundukkan kepalaku.
Aku nggak pernah berpikir kalo aku akan bertemu dengan ayah Yayoi-chan… meskipun aku sedang berkencan dengannya.
Sambil menyapa ayahnya, Yayoi-chan gak bergerak sedikit pun.
Akan canggung untuk bertemu orang tuamu saat kamu berkencan, tapi ekspresi Yayoi-chan semakin jauh.
Apa dia takut pada ayahnya?
Apakah dia takut padanya karena dia memaksanya bekerja sebagai Agen?
Aku membayangkan hubungan keluarga mereka dan mengamati ayahnya.
“Ah, aku harus pergi bekerja sekarang. Maaf aku mengganggumu."
Dia memalingkan wajahnya dan mengangkat kacamatanya.
"Jaga Yayoi, ya, Fukase-kun?"
Dengan suara yang dalam namun tajam, dia mengulurkan tangan kirinya padaku.
"Ah, iya…"
Aku tahu, tentu saja, apa yang akan terjadi jika aku menjabat tangannya. Tapi aku gak bisa menolak.
Aku dengan takut menjabat tangannya dengan tangaku.
“Ini pertama kalinya aku melihat Yayoi tersenyum setelah sekian lama. Aku masih ingin Yayoi menjalani hidupnya sebagai gadis normal dan bukan sebagai agen."
Apa yang aku dengar dari ayahnya bukanlah permusuhan terhadapku karena berkencan dengan putrinya, juga bukan peringatan sebagai Agen, melainkan suara seorang ayah yang baik yang menginginkan kebahagiaan putrinya.
“Se-senang bertemu denganmu…”
Aku menundukkan kepalaku sekali lagi, merasakan genggaman tangan yang kuat di tanganku.
Meskipun aku sudah ketakutan setengah mati saat bertemu dengan ayah Yayoi-chan, sekarang aku mendengar suaranya di dalam pikiranku. Aku sangat bingung dan kepalaku berputar.
Dia gak memaksa putrinya untuk bekerja sebagai Agen, justru sebaliknya.
Bukankah ayahnya ingin Yayoi-chan menjadi agen…?
"Kalau begitu, aku pergi dulu."
Dia pergi tanpa mengeluarkan suara.
Bagian belakang sosoknya terlihat agak kesepian dan gak terlihat seperti punggung seorang agen.
"Kinoshita-san?"
Setelah ayahnya pergi, Yayoi-chan berdiri terpaku.
"Maaf, aku nggak menyangka akan melihat ayahku di sini ..."
Menutupi wajahnya dengan tangannya, Yayoi-chan meminta maaf dengan suara lemah.
“Nggak, nggak ada yang perlu untuk minta maaf…”
Aku gak tahu harus berkata apa padanya setelah mendengar perasaan ayahnya yang sebenarnya.
Ada Yayoi-chan yang gak ingin menjadi Agen, dan ayahnya yang gak ingin dia menjadi Agen.
Keduanya tampaknya memiliki keinginan yang sama, tetapi di mana perbedaannya?
Yayoi-chan, yang masih murung di tengah jalan, jelas kehilangan kesadarannya.
“Kinoshita-san…”
Pertemuan mendadak dengan ayahnya menimbulkan awan gelap di kencan kami.
Ini gak bisa terus seperti ini!
Semuanya sudah mulai berhasil!
Jika aku melihat ke bawah pada titik ini, aku gak akan pernah melihat Yayoi-chan yang asli lagi!
"Kinoshita-san, ayolah! Kamu punya tempat yang ingin kamu tuju, bukan?”
Aku mencoba menghilangkan suasana buruk dengan bersikap ceria dan bermaksud baik.
"Tapi…"
"Kamu akan membawaku ke sana, kan? Aku mengandalkanmu."
Aku memberinya senyumku untuk menghiburnya, karena dia masih memiliki ekspresi muram di wajahnya.
“Fukase-kun…”
Yayoi-chan mengangkat kepalanya atas apa yang terjadi.
"Hmm? Ayo pergi kalo gitu."
"… Ya. Lewat sini."
Yayoi-chan menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, seolah ingin membangkitkan semangatnya.
Dia tampak agak tertekan setelah bertemu ayahnya, tapi aku lega melihat dia tampaknya mendapatkan kembali energinya.
Ini adalah kencan untuk membantu meruntuhkan tembok di pikiran Yayoi-chan, jadi dia nggak akan peduli dengan hal-hal itu lagi. Hari ini aku harus melupakan semua yang berhubungan dengan Agen dan membuat kencan ini sukses.
Aku diam-diam mengikuti Yayoi-chan saat dia menuju tujuannya.
Aku aku bertanya-tanya apakah aku punya restoran yang ingin aku kunjungi, Yayoi-chan mulai menuruni tangga menuju mal bawah tanah bernama Paleo.
"Sebenarnya, pertama kali aku bertemu Fukase-kun bukan saat kita berada di kafe di festival itu."
Saat kami turun dengan cepat, Yayoi-chan berbicara seolah-olah dia telah menungguku.
"Iyakah?"
Aku gak bisa membaca apa yang akan dia katakan selanjutnya, jadi aku hanya mengangguk.
Namun, kata-kata Yayoi-chan selanjutnya tiba-tiba mengubah suasana.
"Aku melihat Fukase-kun bermain piano di gym pagi itu."
"… Eh?"
Aku berhenti saat sedang menuruni tangga.
Bukankah dia menjaga kafe sepanjang hari saat itu...?
"Fukase-kun?"
Yayoi-chan berbalik dan menatapku saat aku berhenti.
“Ja-jadi begitu…”
Yayoi-chan memberitahuku yang sebenarnya, dan potongan-potongan kenangan yang telah kusembunyikan di kepalaku mulai meluap.
Masa lalu adalah peristiwa yang gak ingin aku sebutkan lagi.
Itu adalah pertunjukkan piano di konser festival sekolah yang berjalan sangat buruk.
Apa Yayoi-chan melihatnya?
"Ada apa? Kamu tak apa?"
"Ah, nggak, aku baik-baik saja. Bukan apa-apa."
Jelas, detak jantungku meningkat, tapi aku berusaha tetap tenang agar Yayoi-chan gak menyadarinya.
Kalo aku gelisah sekarang, kencannya pasti akan hancur.
Nggak ada yang perlu disembunyikan. Semua orang di kelas, termasuk Mayama, udah melihatku gagal.
Bertanya-tanya mengapa Yayoi-chan tiba-tiba mengatakan hal seperti itu, aku turun hanya untuk menyadari saat memasuki mal Paleo bawah tanah.
Itu mengingatkanku pada sesuatu yang Sanae katakan padaku dulu.
'Kamu tahu kalo sekarang ada piano jalanan di ruang bawah tanah Paleo?'
- - Mungkinkah itu?
Yayoi-chan gak ragu untuk menuju ke tempat itu.
"Aku selalu ingin mendengar Fukase-kun bermain piano."
Sesampainya di tempat yang dimaksud, Yayoi-chan berbalik dengan ekspresi bersemangat.
Ada piano jalanan dengan bodi putih dan desain bunga berwarna-warni. Aku terpana melihat untuk pertama kalinya piano indah di depanku.
“Aku sangat tersentuh oleh penampilan Fukase-kun.”
"Benarkah…?"
Kupikir dia bercanda, tapi Yayoi-chan serius.
Saat itu, aku mengacaukannya, tahu? Aku merusak konsernya, bukan?
Bagaimana dia bisa tekesan dengan penampilan yang begitu mengerikan…?
Aku membeku dan dia membawaku ke depan piano.
"Tunggu bentar, Kinoshita-san?"
Aku gak bisa menolak, lalu dia membuatku duduk di kursi tanpa perlawanan.
Semuanya berjalan begitu cepat hingga aku masih belum bisa sepenuhnya memahaminya.
“Waktu itu kamu sedang memainkan lagu Donaudy, kan? Aku penasaran, jadi aku mencarinya."
Bukankah itu kebetulan kalo kamu mengambil CD Donaudy saat di Power Recorder tempo hari?
Sepertinya Yayoi-chan telah melihat semua kesalahanku.
"Aku dengar dia mau memainkan piano."
"Itu luar biasa."
"Ayo kita dengarkan."
Area tempat piano berada baru saja menjadi ramai, dan orang-orang mulai berkumpul ketika mereka menyadari kalo aku sedang duduk di depan piano.
Gumaman kerumunan membawa kembali kenangan akan acara festival.
“Kinoshita-san, aku…”
"Aku ingin kamu memainkan lagu yang kamu mainkan saat itu."
Yayoi-chan menatapku dengan mata polos, seolah dia mengharapkanku untuk melakukannya, tapi aku ragu-ragu untuk bermain piano.
Aku belum pernah menyentuh piano sejak festival itu.
"Fukase-kun, ada apa?"
Aku membeku dan suara gelisah memanggilku.
"Bukan, bukan apa-apa..."
Aku gelisah, mengingat kegagalanku, tetapi itu nggak seberapa dibandingkan dengan situasi tegang ini.
Aku berhenti sebentar dari piano. Aku sudah gak bermain selama enam bulan, tapi bukan berarti aku gak bisa terus bermain. Aku akan memainkan beberapa bar dengan cepat dan menunjukkannya kepadanya.
Yayoi-chan melakukan yang terbaik untuk membuat kencan hari ini berjalan baik. Dia memaksa dirinya untuk tersenyum agar dia tak menatapku. Aku tahu pasti tak nyaman baginya karna melihat ayahnya, tapi dia bilang padaku apa yang ingin dia lakukan.
Aku berjanji kepadanya sebelumnya kalo aku juga akan membuat kencan ini sukses.
"Oke, aku akan bermain piano."
Aku melihat keyboard dari kiri ke kanan, akhirnya menemukan "C" tengah dan meletakkan ibu jari kananku di atasnya.
Piano terasa dingin dan jauh setelah enam bulan menyentuhnya.
Aku menghela napas panjang dan mencoba bermain.
‘Apa?’
Jari-jariku gak mau bergerak.
‘Kenapa?’
Pikiranku benar-benar gelap.
‘Apa yang sedang terjadi?’
Tanganku gemetar.
‘Kau bercanda, kan……?’
Aku gak bisa bermain piano?
"Haa."
Aku mendengar helaan itu.
Helaan penyesalan yang membekas di benakku, trauma dan mengikat di tubuhku.
Aku gak bisa lagi bermain piano.
“Fukase-kun…”
“Maaf, aku hanya gak ingat partiturnya.”
Aku meminta maaf kepada Yayoi-chan, memaksakan senyum dan mencoba menelan masalahku.
"Se-seperti ini?"
Yayoi-chan menurunkan alisnya meminta maaf, tapi dia gak menyembunyikan ekspresi kecewanya.
Aku memasukkan tanganku yang gemetar ke dalam saku agar nggak terlihat.
“Akhir-akhir ini aku gak bermain piano. Jadi aku lupa cara bermainnya."
Yayoi-chan sangat bersemangat, tapi aku berbohong dan menipunya.
Saat aku memainkan piano, rasa takutku kembali.
Bagaimana kalo aku gagal lagi? Dia akan menertawakanku. Dia akan kecewa.
Ketakutan itu membuatku gak bisa bermain piano.
"Gak, gak apa-apa, gak apa-apa! Itu salahku karena memintamu melakukan hal seperti itu tiba-tiba."
Yayoi-chan melambaikan tangannya dengan sedih, tampaknya mempercayai kebohonganku.
Ketika mereka menyadari kalo aku gak akan bermain piano, orang-orang di sekitarku mulai pergi seolah kesabaran mereka sudah habis.
Aku berhasil mengatur napas dan mencoba menghilangkan gambaran tak menyenangkan dari kepalaku.
Kenapa ini terjadi padaku? Aku gak percaya aku membeku di depan piano.
"Maaf…"
Yayoi-chan meminta maaf sekali lagi. Tak ada suasana kencan lagi.
Aku masih syok karena gak bisa bermain piano, dan Yayoi-chan ingat bagaimana melihat ayahnya membawanya kembali ke dunia nyata, dan kami berdua sepertinya memikirkan hal yang berbeda.
"Haruskah kita pulang hari ini?"
"Ya."
Dan kencan pertama kami pun berakhir.
Alhasil hanya kencan yang berlangsung di pagi hari, dengan rasa pahit.