Ads 728x90

Yayoi-chan Volume 1 Chapter 16

Posted by Chova, Released on

Option


Chapter 16 - Yayoi-chan dan Satsuki-kun.


Setelah memasuki tahun kedua kami, bulan April hampir berakhir.


Saat musim mulai berganti dari musim semi ke musim panas, perubahan lain juga terjadi di dalam kelas kami.


Ketidakhadiran Yayoi-chan berakhir hanya dalam tiga hari, dan sehari setelah kunjunganku, dia datang ke sekolah seperti biasa.


Aura 'jangan mendekatiku' sepertinya telah menghilang, dan dia nggak lagi mengabaikan teman sekelasnya saat mereka berbicara dengannya, tetapi mulai tersenyum dan mengobrol dengan mereka seperti siswi normal.


Ini segera menyebar ke seluruh sekolah dan bahkan dikabarkan dikenal sebagai "Insiden Aneh Kelas 7, Tahun Kedua". 


Itu pasti akan menjadi salah satu insiden terbesar dalam sejarah SMA Otomachi. Yayoi-chan selalu penuh dengan rumor.


Bahkan Mayama pernah bilang kepadaku: "Mungkin karena kencan denganmu itu, kan?" Tapi aku hanya tertawa pelan mendengar kata-katanya. Aku ingin memberitahunya kalo bukan hanya itu, tapi kencan piano adalah rahasia di antara kami berdua. Ya, itu adalah kenangan yang hanya akan kami berdua miliki.


Hal lain yang berubah adalah kami berpindah tempat duduk di kelas. Aku berada di kursi depan, tepat di sebelah jendela, jadi aku nggak bisa lagi melihat punggung Yayoi-chan selama kelas berlangsung.


Tapi kurasa nggak masalah. 


Saat aku iseng melihat Yayoi-chan dari waktu ke waktu, dia akan mengangkat alisnya seolah-olah melihatku, tetapi di saat berikutnya dia akan balas tersenyum padaku. Senyumnya masih canggung, seperti senyum kucing ketika tertangkap basah sedang melakukan sesuatu.


Aku ingin mengambil kesempatan untuk mengajaknya kencan untuk kedua kalinya selama Golden Week, tetapi nggak seperti yang terakhir kali, aku nggak mendapatkan kesempatan untuk mengajaknya kencan, jadi aku menahan diri.


'Aku pernah mengajaknya kencan, jadi itu seharusnya mudah. Karena Yayoi-chan berpikir aku keren, kan?' Aku berkonflik antara diriku yang agresif dan diriku yang pendiam, 'Bahkan di tengah-tengah persahabatan, ada etika. Aku seorang yang pendiam, rendah hati dan nggak sombong.'


Aku rasa aku telah mencapai tujuanku untuk menemukan Yayoi-chan yang sebenarnya, tetapi untuk beberapa alasan, aku rasa kekhawatiranku semakin meningkat.


Apa yang ingin kulakukan?


Musim semi, yang telah dipermainkan oleh banyak keingintahuanku sejak aku menjadi muird tahun kedua, akan segera berakhir. Cahaya yang bersinar melalui jendela semakin hangat, dan musim terus berjalan, tanpa menyadari keberadaan kami di dunia.


Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela dengan sisa-sisa musim semi, meniup tirai putih di ruang kelas.


Aku tahu kalo aku harus menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan ini.



"Fukase-kun, bisakah kita bicara?"


Itu setelah sekolah berakhir, tepat sebelum Golden Week.


Saat aku sedang melihat selebaran survei rencana karir yang telah dibagikan sebelumnya di kelas, sebuah suara memanggilku.


Aku perlahan menoleh ke nada suaranya yang teredam dan melihat Yayoi-chan berdiri di sana.


"Mmm... aku ingin apakah kamu sedang sibuk."


Dia melihat lembaran di mejaku dan tampak khawatir, tetapi aku dengan tenang memasukkannya ke dalam tasku.


Bagaimana aku bisa mengatakan gak pada Yayoi-chan saat dia yang mulai berbicara denganku di kelas?


"Nggak, nggak masalah. Aku baru aja mau pulang."


Aku menunjukkan kepadanya tas yang aku bawa dan melihat ke luar kelas.


Apakah ini ajakan untuk pulang bersama? Ya, tentu saja!


"Nah, mau pulang bersama?"


Aku menjawab dengan suara lembut yang nggak disengaja.


Kami meninggalkan ruang kelas bersama-sama dalam keheningan hingga teman-teman sekelasku, yang sedang menulis di papan tulis di belakang kami, tak akan menyadarinya.


Kupikir ini mungkin kesempatan terakhirku untuk mengajaknya kencan saat Golden Week.


Aku naik eskalator, Yayoi-chan mengikutiku agak jauh. Memegang tasnya dengan kedua tangan, dia terlihat seperti gadis SMA biasa, yang agak menyegarkan dibandingkan dengan penampilannya sebelumnya.


"Kinoshita-san, apa kamu sudah menyerahkan rencana karirmu?"


Tanyaku padanya saat kami menuruni eskalator ke lantai satu.


Kami seharusnya menulis rencana karier yang kami inginkan dan menyerahkannya di akhir liburan Golden Week.


"… Mmmm, ya."


Yayoi-chan menjawab dengan suara rendah, seolah-olah dia kesulitan menjawab pertanyaanku, dan aku sedikit terkejut.


Itu pertanyaan bodoh. Bagaimana aku bisa menanyakan pertanyaan sensitif seperti itu ke Yayoi-chan, yang sebenarnya seorang Agen?


"Bagaimana denganmu, Fukase-kun?"


"Belum. Aku masih memikirkannya."


"Apa kamu nggak mau melanjutkan ke universitas?" 


"Mungkin, kurasa begitu."


Aku bergumam dan menggigit bibirku, seolah sedang memikirkan hal lain.


SMA Otomachi adalah sekolah lanjutan, dan sebagian besar muridnya melanjutkan ke universitas setelah mereka lulus. Aku yakin kalo aku juga akan mengikuti jalan yang sama, tetapi aku nggak bisa mengatakan dengan pasti apakah itu akan menjadi pilihanku atau nggak.


Apa yang ingin kulakukan?


Aku mengalami kekhawatiranku yang samar-samar lagi.


Apakah aku secara otomatis dibawa ke masa depan seperti eskalator yang aku pijaki sekarang? Apakah aku akan dibawa ke jalan yang telah ditetapkan dengan jelas untukku?


Sangat nggak masuk akal bagi siswa SMA tahun kedua untuk memutuskan karier dengan menghitung seberapa jauh masa depan itu.


"Begitu."


Yayoi-chan mengeluarkan beberapa kata sebagai tanggapan. Aku nggak bisa membaca emosi di dalamnya.


Dalam benak Yayoi-chan, dia mungkin berpikir kalo aku diberkati karna bisa memilih karirku dengan bebas. Bagaimanapun, itu topik yang seharusnya nggak aku bahas.


Yayoi-chan, yang memiliki masa depan sebagai Agen, pasti lebih bingung daripada aku, yang masih menginginkan untuk berkarier.


Masa depan mungkin nggak terbatas bagi siswa SMA, tetapi itu nggak berarti ada jalan yang jelas di depan kami masing-masing. Ini agak sulit, bukan?


“Kalo gitu masalahnya…”


Saat kami meninggalkan gedung sekolah, Yayoi-chan berhenti, seolah dia akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk berbicara.


Aku menatap wajahnya, dan Yayoi-chan menarik napas dengan cepat untuk mengatur napasnya. 


"Aku akan belajar bermain piano!"


Dia pasti sudah mempersiapkan ini sejak lama, karena dia mengucapkan kata-katanya dalam satu gerakan, dan sudut bibirnya berubah menjadi senyuman kecil. 


"Eh? Benarkah?"


“Ya, aku sedang belajar bermain piano. Di malam setelah Fukase-kun datang, ayahku pulang dan memintaku bermain untuknya."


“Be-begitukah? Itu kurang dari seminggu yang lalu, kan? Kamu bisa memberitahuku lebih awal."


"Aku mau memberitahumu ..."


Yayoi-chan tampak menyesal mendengar kata-kataku, tetapi aku tergoda untuk berpikir kalo dia telah berusaha menemukan saat yang tepat untuk memberitahuku selama ini.


"Tapi, itu baguslah untukmu!"


Aku sangat senang mendengar berita itu hingga aku merasa sesuatu yang baik sedang terjadi padaku.


Yayoi-chan sendiri berkata begitu, apa yang ingin dia lakukan menjadi kenyataan!


“Aku sudah banyak mencaritahu, tetapi aku pikir itu agak berlebihan untuk pergi ke les piano atau semacamnya… Karena aku hanya tahu cara memainkan 'Canon', tahu? Aku nggak tahu apa-apa, aku buruk dalam hal itu, dan tangan kiri dan kananku nggak bergerak sama sekali…”


Yayoi-chan berbicara dengan cepat dan gelisah.


Hal pertama yang kulakukan adalah menatap wajahnya yang semakin memerah.


"Itu sebabnya, tolonglah! Aku ingin Fukase-kun mengajariku cara bermain piano."


Dia mengatakan kalimat itu dengan sangat keras dan menundukkan kepalanya. Rambut hitamnya jatuh dengan lembut ke bahunya, dan telinganya terlihat berwarna merah terang.


"A-aku?"


"Kumohon!"


Permintaan tulus Yayoi-chan membuatku bingung sejenak.


Aku masih nggak tahu cara bermain piano.


Hari itu, saat aku mendengar "Canon" Yayoi-chan, aku mendapat pesan kalo aku gak perlu takut gagal.


Tapi aku masih belum bisa mengambil langkah pertama itu.


Aku sudah mencoba beberapa kali untuk bermain piano di rumah, tetapi aku belum bisa melakukannya akhir-akhir ini karna Sanae sedang giat berlatih.


Tapi aku nggak bisa menolak permintaannya sekarang. Setidaknya aku bisa mengajarinya dasar-dasarnya. Yayoi berusaha untuk berani dan melakukan apa yang diinginkannya, tetapi aku nggak bisa menunjukkan padanya kalo aku ragu-ragu untuk membantunya. Aku nggak bisa menunjukkan padanya kalo aku gak keren lagi.


"Tentu saja!"


Aku berkata dengan jelas dan Yayoi-chan menatapku.


"Sungguh?"


"Tentu saja. Tapi tetap saja…"


"Kalo gitu, ayo pergi!"


Yayoi-chan dengan cepat meraih lenganku.


"Eh?"


"Kamu bilang kamu mau mengajariku, kan?"


Mata Yayoi-chan menyipit saat dia tersenyum dan menarik lengan jasku.


"Mau kemana kita?"


Dia membawaku ke suatu tempat dengan paksa, nggak berani melihat murid-murid yang pulang setelah kelas.


Sikap agresif Yayoi-chan membuatku teringat Uzuki-chan. Kupikir kedua saudari itu nggak mirip sama sekali, tapi kurasa itu nggak benar.


“Fufu! Aku gak akan mengatakannya!”


Yayoi-chan menatapku sementara rambutnya berkibar tertiup angin.


Dengan tarikan di tanganku, aku melewati kerumunan murid yang berarus stabil.


Jalan ini adalah salah satu yang aku datangi beberapa waktu lalu. Itu jalan yang sama yang aku ikuti Yayoi-chan.


Aku berlari menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pepohonan sepanjang parit, sambil melihat ke arah Kastil Hiroshima.  Matahari bersinar dan pepohonan berwarna hijau cerah, kami berdua berada di tengah pemandangan awal musim panas.


Kami memasuki lorong bawah tanah, sama seperti sebelumnya, tapi kali ini, kami masuk bersama.


"Kinoshita-san, mungkinkah ini?"


Saat kami berlari menuruni jalan yang agak curam, aku menyadari ke mana tujuan Yayoi-chan.


Saat memasuki Paleo Mall yang terletak di lorong bawah tanah, aku melihat tujuanku.


Aku nggak berhenti seperti terakhir kali.


"Kita sudah sampai."


Yayoi-chan berbalik di depan piano jalanan.


"Aku ingin mendengar permainanmu, Fukase-kun!"


Dia punya rambut hitam, lurus, agak panjang, dan mata besar berwarna gelap yang sepertinya benar-benar menyerapku.


Dia tinggi dan langsing, dengan lengan dan kaki yang panjang dan anggun yang membuatnya terlihat seperti seorang model, dengan penampilan yang rapi dan bermartabat.


Bagian dari dirinya yang ini nggak berubah sejak pertama kali aku bertemu dengannya.


Satu-satunya perbedaan dari pertama kali aku bertemu dengannya sore itu di festival adalah ekspresi wajahnya.


Sekarang dia memiliki mata yang lebar, dua lesung pipit, dan senyuman di wajahnya.


Itu adalah senyuman yang selalu ingin kulihat dari Yayoi-chan, gadis tercantik di SMA, ceria, mempesona, dan penuh harapan.



Itu adalah Yayoi-chan yang sebenarnya yang kutemukan.


[LN] Yayoi-chan wa Himitsu wo Kakusenai Volume 1 Chapter 16

“Kinoshita-san…”


Psikisku dan pekerjaan Yayoi-chan sebagai Agen; rahasia bersama kami, menjadikan kami seperti sekarang ini. Nggak, ada satu hal lagi yang menghubungkan kami berdua. 


“Aku yakin kamu akan baik-baik saja, Fukase-kun! Aku yakin kamu bisa bermain piano!”


Yayoi-chan memegang kedua tanganku di depan dadanya dan menganggukkan kepalanya dengan yakin.


Dia menguatkanku, dengan sangat kuat, seolah-olah mendorongku untuk terus berjalan.


Lalu aku menjawabnya.


"Tentu saja. Lagipula, aku pandai bermain piano."


Aku gak keras kepala. Kali ini benar.


Saat itu sore hari kerja, jadi jumlah orang di jalan lebih sedikit daripada di kesempatan sebelumnya. Tetapi saat aku duduk di kursi, hanya sedikit orang yang berhenti. 


 


" *Fiuuu...* "


Aku menarik napas dalam-dalam dan menegakkan punggungku.


Situasi telah berubah sejak kencan pertama kami.


Sejak saat itu, Yayoi-chan mengumpulkan keberaniannya dan melangkah maju untuk melakukan apa yang diinginkannya. Aku pikir itu aku yang mendorongnya dari belakang, tetapi sebelum aku menyadarinya, dia mendorongku.


Aku langsung meletakkan kedua tangan di atas keyboard. Jari-jariku menyatu di antara tuts hitam dan putih. Tak ada jarak antara aku dan piano seperti sebelumnya. Aku merasa nostalgia dan segar.


Sekarang semuanya baik-baik saja. Aku menatap Yayoi-chan, yang berada di sebelahku, kelopak matanya tertutup dan tangannya terlipat sedang berdoa.


"Kalau begitu, aku akan bermain."


Itu lagu yang sama yang kumainkan di festival.


“Amorosi miei giorni.”


Ini adalah salah satu lagu dalam kumpulan 36 arias klasik karya Donaudi.


Keyboard untuk nada pertama terasa berat. Tapi tubuhku mengingat sisanya. Jari-jariku bergerak sendiri dan melodi yang aku bayangkan di dalam benakku mengalir langsung ke jari-jariku.


Aku mendengar suara Yayoi-chan, seolah dia tersentuh olehku.


Saat aku mulai bermain, aku gak gugup lagi.


Fakta kalo Yayoi-chan ada di sisiku membantuku mengatasi traumaku.


Saat aku bermain piano untuk pertama kalinya dalam enam bulan, aku teringat banyak hal yang telah terjadi selama waktu itu.


Saat aku bertemu Yayoi-chan di Piloti, dia cewek yang sangat nggak ramah, seorang gadis yang hidup dengan rumor buruk, dan levelnya terlalu tinggi bagiku.


Bahkan setelah dia mengetahui kalo dia menyukaiku melalui psikis, jarak antara Yayoi-chan dan aku masih jauh. Aku takut mendekatinya, jadi aku hanya mengikutinya dalam diam.


Kami memiliki berbagai rahasia, kekhawatiran, dan tembok di dalam hati kami.


Tapi kami saling mendorong untuk melewati trauma dan kekhawatiran kami. 


Kami mencoba untuk saling mendukung. Kami mencoba untuk saling melindungi. 


Kami mengatasi masalah kami, kami berurusan satu sama lain, dan sekarang kami bersama seperti ini.


Ada satu baris dalam lirik lagu ini yang kurang lebih seperti ini


Seandainya saja kita bisa berpegang pada sebuah harapan selagi masih ada kehidupan.


Takan lagi takut akan rasa sakit dari kehidupan yang palsu... 


Biarkan tatapannya menjadi cahayaku, senyumnya menjadi hartaku.


Dan hanya dengan harapan untuk "Menjadi yang terbaik yang kubisa".


Apa yang aku lawan saat itu? Melawan penonton yang banyak? Melawan Mayo-senpai?


Melawan diriku sendiri?


Aku mencoba untuk menunjukkan kemampuanku, mencoba terlihat baik, mencoba bersikap sombong.


Aku bermain untuk diriku sendiri, berusaha menunjukkan apa yang bisa kulakukan, berusaha terlihat baik hanya untuk kepuasanku sendiri.


Tapi sekarang, itu berbeda.


Saat ini aku bermain untuk Yayoi-chan.


Itu karena aku ingin melihat senyumnya. Aku ingin melihat Yayoi-chan yang sebenarnya.


Itulah yang bisa kulakukan.


Apa yang bisa kulakukan, bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk orang lain.


“Aku sangat senang…”


Setelah pertunjukan selesai, aku menghembuskan nafas yang tanpa sadar aku tahan mendengar kata-kata Yayoi-chan.


Jari-jariku sedikit gemetar, tetapi permainan piano setelah setengah tahun terasa nostalgia dan sangat lembut.


"Aku sangat terkesan."


Dia mengatakannya lagi untuk menekanan dan bertepuk tangan dengan keras.


Aku mencoba bersikap rendah hati, mengatakan itu gak terlalu bagus, tetapi aku menerima pujian Yayoi-chan.


"Kamu luar biasa, Fukase-kun."


Aku pura-pura gak melihat air mata menggenang di mata besar Yayoi-chan.


"Hei, agak memalukan untuk begitu terkesan, kan?" 


Aku menggaruk-garuk pipiku untuk menyembunyikan rasa maluku.


“Kamu memainkan piano dengan baik…”


Yayoi-chan melebih-lebihkan. Aku gak yakin yang mana guru piano atau siswa.


"Aku sangat senang kamu ada di sini, Kinoshita-san."


Kataku juga, dengan perasaan telah mengatasi rintangan hatiku.


Akulah yang memberimu harapan, Yayoi-chan.


Kami berdua saling menatap dan tertawa.


Secercah harapan tampak bersinar di antara kami.



Dalam perjalanan dari Paleo Mall ke Stasiun Hondori, pipi Yayoi-chan memerah saat dia berjalan di sampingku.


Sepertinya Yayoi-chan lebih bersemangat dariku setelah bermain piano.


Rasanya aneh bisa berjalan bersama, berdampingan seperti ini, padahal kami selalu saling menatap punggung sepanjang waktu.


Nggak perlu lagi fantasi saat ini. Ini benar-benar nyata.


"Ada apa?"


Yayoi-chan menyadari kalo aku sedang menatapnya dan menoleh.


Dia gak menatapku seperti dulu.


"Bu-bukan apa-apa."


Aku mengerti kalo alasan dia menatapku adalah untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.


"Aneh."


Yayoi-chan tertawa kecil, nggak menyembunyikan perasaannya lagi.


Masih banyak lagi yang ingin kusampaikan padanya, tapi aku merasa gak perlu mencoba mencaritahu semuanya sekarang. Aku tahu ada juga hal-hal yang gak perlu aku ketahui.


"Terima kasih untuk hari ini."


Yayoi-chan mengucapkan terima kasih dengan tulus saat kami sampai di gerbang masuk stasiun.


“Akulah yang harus berterima kasih. Terima kasih banyak."


Sudah waktunya pulang, dan stasiun itu penuh dengan orang. Di tengah-tengah kebisingan, semua orang bergerak dengan tujuan. Memikirkan sesuatu, untuk sesuatu, kanan atau kiri. Tak ada orang yang nggak berpikir di mana pun.


Kami juga siswa SMA biasa di sini dan sekarang. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi untuk saat ini, hanya itu yang bisa kami lakukan. Jika kita terus berjalan maju, pasti itu akan menjadi jalan kami.


Yayoi-chan, yang dengan cepat menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya, menatapku dari atas ke bawah.


"Apa kamu masih mau mengajariku bermain piano?"


Matanya yang gelap dan indah sebening kristal.


"Aku sudah baik-baik saja, jadi aku bisa mengajarimu kapan pun kamu mau."


Aku berpura-pura bermain piano dengan kedua tangan dan meniru gerakan gembira.


Sesampainya di rumah, aku akan berlatih untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu. Aku udah mendengarkan Sanae bermain buruk setiap hari, jadi sudah saatnya aku menunjukkan harga diri sebagai seorang kakak.


"Keretanya akan segera datang, jadi aku akan pergi."


Aku melihat jadwal dan hendak ke loket untuk mengucapkan selamat tinggal.


"Oh, tunggu sebentar!"


Tiba-tiba, Yayoi-chan menarik tasku.


"Ada apa?"


"Aku punya satu hal lagi yang ingin kulakukan."


Yayoi-chan sedikit menoleh dan mulai sedikit gelisah.


Ujung kiri dan kanan sepatunya bersentuhan, dan mulutnya bergerak seperti burung yang lupa cara berkicau.


Gerakan menggoda ini membuatku tak bisa bergerak dan imajinasiku menjadi liar.


Nggak mungkin, ini sudah waktunya pulang, kan?


Kami belum sedekat itu...!


Yayoi-chan meraih sedikit ranselku dan menatapku.


Aku menarik napas dengan cepat, dan Yayoi-chan membuka mulutnya seolah dia telah mengambil keputusan.


Aku mengerucutkan bibirku, masih dalam masa keemasan remaja.


"...... Bolehkah aku memanggilmu Satsuki-kun?"


Yayoi-chan berbisik padaku dengan suara yang hanya bisa kudengar.


Wajahnya sangat merah.


Jantungku hampir melompat keluar dari mulutku dan aku menarik bibirku.


"Tentu saja... Yayoi-chan!"


Aku memanggil nama Yayoi-chan untuk pertama kalinya, dengan sejuta pikiran mengalir di benakku.


Kalau dipikir-pikir, saat kami melakukan psikis sebelumnya, kamu bilang kamu ingin aku memanggilmu dengan namamu, kan?


Aku bisa mewujudkan satu hal lagi yang diinginkan Yayoi-chan!


"Kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa besok."


"Ya, sampai jumpa besok."


Yayoi-chan gelisah dan mengulurkan tangan kirinya.


Aku meraih tangannya tanpa ragu.


"Terima kasih, Satsuki-kun."


‘Terima kasih, Satsuki-kun.’


Suara Yayoi-chan sama dengan suara di benaknya.


Itu adalah perasaan Yayoi-chan yang sebenarnya.


Yayoi-chan nggak bisa menyembunyikan rahasianya.


Tapi Yayoi-chan di depanku sekarang gak punya rahasia.


"Terima kasih, Yayoi-chan."


Aku masih sedikit malu untuk mengatakan nama itu keras-keras. Wajahku mungkin lebih merah dari wajahnya sekarang.


Aku merasa nggak perlu mengatakan apa-apa lagi agar pesannya sampai, jadi aku berlari ke pintu depan.


Aku sudah tahu dan Yayoi-chan nggak ingin tahu diriku.


Yayoi-chan nggak akan meninggalkan segalanya untuk pekerjaannya sebagai Agen. 


Dia bisa melakukan apapun yang dia mau.


Aku nggak tahu bagaimana masa depan Yayoi-chan, tapi aku ingin terus mendorongnya maju.


Aku ingin menjadi matahari yang selalu bersinar untuknya.


Aku juga berharap suatu hari nanti aku bisa memberitahunya rahasia tangan kiriku.


Dan juga perasaan yang membuatku gugup setiap kali memikirkan Yayoi-chan.


Sebelum menaiki tangga, aku menengok ke belakang.


Yayoi-chan melabai ke arahku.


Aku membalasnya.


Tangan kiri ini nggak akan ada di sana untuk mengetahui rahasia seseorang.


Itu akan ada di sana untuk menggandeng tangannya suatu hari nanti.



Angin musim semi nggak akan menggangguku lagi... 

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset