Ads 728x90

Yayoi-chan Volume 1 Chapter 14

Posted by Chova, Released on

Option


Chapter 14 - Apa yang bisa kulakukan untukmu?


"Hah..."


Sesampainya di rumah setelah kencan dan menghela nafas panjang yang telah lama aku tahan.


Nggak ada orang lain di rumah. Lega rasanya bisa pulang seawal ini dan Sanae tak berpikir kalo aku telah gagal dalam kencanku.


Alih-alih kembali ke kamarku, aku langsung menuju ruangan bergaya Jepang.


Karena ibuku seorang guru piano, kami punya upright piano di rumah untuk berlatih.


Di atas bingkai kayu hitam ada metronom, CD no-bra yang pasti ditinggalkan Sanae, dan beberapa partitur tulisan tangan yang dia salin.


Aku melepas penutup yang menutupi kunci dan duduk di kursi.


Aku belum pernah duduk di depan piano sejak hari aku berlatih sebelum festival. Aku telah menghindarinya selama enam bulan terakhir.


"Fiuuu…"


Aku meletakkan tanganku di keyboard.


Aku ingin memastikan kalo ketidakmampuanku sebelumnya untuk memainkan piano jalanan hanya sementara. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri kalo bukan karena aku gak bisa bermain sama sekali, tetapi aku hanya sedikit gugup di depan Yayoi-chan. Nggak mungkin itu karna trauma. Itulah yang aku katakan pada diriku sendiri.


Aku gak akan mengatakan kalo aku gak menyesali kesalahan yang aku buat di gym yang penuh dengan penonton. Hanya sedikit kesalahan yang membuatku menjauh dari piano untuk sementara waktu.


Dan sejak kecil aku suka bermain piano, dan aku gak berpikir kalo hal seperti itu akan menghalangiku untuk memainkannya lagi... Nggak akan mungkin. Sejauh itulah yang kupahami...


Aku mencoba memainkan karya Donaudy yang sama seperti saat itu. Tentu saja, aku ingat dengan jelas partiturnya. Melodi itu masih ada di kepalaku. Aku bisa dengan jelas membayangkan melodi di dalam kepalaku.


Aku mencoba dan terus mencoba… tapi aku masih gak bisa menggerakkan tanganku.


Aku gak bisa lagi bermain piano.


"Sialan..."


Aku menundukkan kepalaku, kecewa pada diriku sendiri.


Aku yakin Yayoi-chan hanya ingin membuatku bahagia. Jika saja aku memainkan piano dengan baik, kencan itu akan sempurna.


Namun...


Aku bertanya-tanya apakah Yayoi-chan berhak menyuruhku melakukan apa yang dia inginkan, ketika dia bahkan tak bisa melakukan apa yang dia inginkan sendiri.


Beberapa jam yang lalu aku sangat senang dengan kencan pertama kami.


Sekarang, aku hancur oleh keputusasaanku sendiri, dan aku telah mencapai titik terendah.


Kencan berakhir dengan kegagalan.


Aku nggak bisa menemukan Yayoi-chan yang asli lagi atau memainkan piano favoritku.


Senin.


"Selamat pagi…"


Saat aku memasuki ruang kelas, semua tatapan teman sekelasku langsung terfokus padaku.


"Satsuki! Sini, sini!"


Mayama sudah menungguku di mejaku, melambai padaku. Aku hampir bisa membayangkan apa yang dia maksud, karena matanya tersenyum.


Aku melihat ke kursi Yayoi-chan dan melihat kalo dia belum datang, padahal biasanya dia berangkat ke sekolah lebih awal.


"Gak ada yang terjadi. Sama sekali gak ada."


“Tentu saja sesuatu terjadi! Kalian sudah berkencan, kan?"


Aku menghentikannya sebelum dia berbicara lebih jauh, tetapi Mayama dengan cepat duduk di mejaku dan mulai tertarik dengan topik itu. Ini masih pagi dia sudah aja menggangguku.


Sejak aku dengan berani mengajak Yayoi-chan kencan di kelas, teman-teman sekelasku sepertinya mendengarkan percakapan kami, ingin tahu hasilnya.


Tentu saja, aku gak punya apa-apa untuk dibanggakan, dan aku gak ingin diingatkan akan hal itu.


"Lalu, kemana kalian?"


"Kemana kami…?"


Mayama, dengan hidungnya yang mengkilat, menanyakan sesuatu yang sepele padaku. Akan menjadi kesalahan kalo mengatakan "Kemana" yang dia maksud.


"Hei, jangan bilang kemarin kau pulang pagi."


"Tentu saja nggak!"


Imajinasi seorang anak SMA tampaknya taka da batasnya pagi ini. Aku gak bisa berbicara dengan Mayama, tapi aku juga punya banyak fantasi.


“Aku sangat iri! Itu gak adil, kenapa cuma kau!" 


Mayama menghantam tinjunya ke meja.


Aku bisa mengerti kalau Mayama iri padaku, karena memang benar Yayoi-chan dianggap gadis tercantik di sekolah, meski ada rumor buruk tentangnya.


Tapi saat ini aku gak bisa terbawa suasana atau sombong tentang hal itu.


"Maksudku, apa kalian sudah melakukan percakapan yang benar atau semacamnya?"


Mayama, yang hanya mengetahui versi Yayoi-chan yang ada di kelas, mencondongkan tubuh ke depan dengan rasa ingin tahu.


“Yah, kalo kau bertanya…”


“Aku harap ini membantunya merasa nyaman di kelas. Aku juga ingin bisa berbicara dengannya."


"Kuharap begitu…"


Bagaimanapun, itu adalah tujuan aslinya. Itu juga yang aku harapkan.


Aku bisa melakukan obrolan normal dan Yayoi-chan mencoba tersenyum padaku dengan caranya sendiri. Aku berharap aku bisa membuatnya terbuka die kelas seperti itu, tetapi satu-satunya hal yang menggangguku adalah rasa gak enak di mulutku di akhir kencan.


Andai saja aku lebih kuat...


"Baik, semuanya duduk."


Saat aku berselisih dengan Mayama, bel berbunyi dan guru memasuki ruang kelas.


Saat semua orang mulai riuh dan mengambil tempat duduk mereka, aku menyadari kalo Yayoi-chan belum datang.


Apa yang terjadi? Apa di terlambat? Biasanya datang lebih awal.


"Kinoshita absen hari ini."


"Apa?"


Aku tersentak di kursiku saat mendengar suara Shinoda-sensei saat dia memeriksa catatan kehadiran.


Tatapan temanku tertuju pada reaksiku.


"Ada apa, Fukase?" 


"Tidak, tidak ada."


Yayoi-chan gak hadir? Apakah dia sakit?


Nggak, mungkin itu...


Dengan ketidakhadirannya, wajar untuk bertanya-tanya apakah itu karena kencan kami di hari Sabtu.


Apakah itu karena dia bertemu ayahnya? Apakah dia memarahinya karena berkencan denganku?


Atau karena aku gak tahu cara bermain piano? Apakah dia begitu kecewa padaku sehingga dia gak ingin melihatku lagi?


Aku bisa memikirkan semua jenis situasi yang mengerikan, tetapi gak semuanya gak mungkin terjadi.


Aku gak bisa bertanya kepada guru wali kelas mengapa dia gak hadir, dan lagipula, dia seorang Agen, jadi mungkin saja dia gak hadir karna alasan pekerjaannya.


Tanpa respon apapun, hari itu menjadi hari pertama sejak aku memulai tahun kedua dimana Yayoi-chan gak ada di kelas.


Tetapi masalahnya gak berakhir di sana.


Keesokan harinya, di hari Selasa, dan lagi di hari Rabu, Yayoi-chan masih gak masuk kelas.


Perasaan buruku semakin meningkat.



Ini hari ketiga sejak Yayoi-chan berhenti datang ke sekolah.


Saat itu waktu makan siang, dan aku sedang dalam perjalanan ke ruang kelas setelah membeli roti di toko.


"Satsuki-senpai!"


Aku hendak naik eskalator ke lantai pertama lalu aku berhenti.


Aku mencari suara itu dan melihat Uzuki mengintip dari tangga di lantai dua. Aku langsung memalingkan kepalaku, hampir melihat bagian dalam roknya dari bawah.


"Aku akan kesana, jadi tolong tunggu aku!" Katanya sambil berlari menuruni eskalator.


Lagipula, aku berencana pergi ke ruang kelas tahun pertama untuk melihat Uzuki-chan saat istirahat makan siang, jadi ini sangat pas.


Tentu saja, tujuannya adalah……


"Apa yang terjadi pada Kinoshita-san?"


Begitu Uzuki-chan turun ke lantai satu, aku langsung menanyakan Yayoi-chan.


"Itu…"


Seperti dugaanku, ada alasan lain saat mendengar nada suara Uzuki.


"Kurasa dia benar-benar gak sakit, kan?"


Seperti yang diharapkan, Uzuki mengangguk dengan mulut cemberut.


Sebenarnya, kemarin, Mayama sudah meminta wali kelas untuk memastikan alasan ketidakhadiran Yayoi-chan. Menurut guru, Yayoi-chan sedang flu, tapi aku gak terlalu percaya padanya.


"Sebenarnya, Onee-chan sama sekali gak mau keluar dari kamarnya."


"Ehh? Apa maksudmu dia gak mau keluar dari kamarnya?"


Alasannya benar-benar tak terduga dan membingungkan.


“Aku melihatnya saat kami makan malam, tetapi dia gak berbicara kepadaku tentang apa pun. Aku gak berpikir dia akan bolos sekolah ...”


Cara dia memikirkan kakaknya, dengan bibir mengerucut; itu bukanlah sikapnya yang biasanya.


"Mengapa dia melakukan itu?"


"Itu salaku. Itu karena aku mengolok-olok Onee-chan dan Satsuki-senpai…”


Alis Uzuki-chan turun dan bahunya merosot, seolah dia mau menangis.


“Uzuki-chan kamu gak melakukan kesalahan apapun! Aku tahu itu, itu karena apa yang terjadi di hari Sabtu…”


"Apa yang terjadi di hari Sabtu?"


Uzuki bertanya dengan sedih, seolah dia gak ingin mengatakan apapun.


“Ada banyak hal yang terjadi hari itu…”


Aku nggak yakin berapa banyak yang harus ku ceritakan tentang kencan kami.


Aku gak melihat bagaimana ini gak ada hubungannya dengan kondisi saat Yayoi-chan mulai absen.


“Kalo ada sesuatu yang sulit untuk dikatakan, bisakah kamu berbicara langsung dengannya? Kurasa Onee-chan mau berbicara denganmu, Satsuki-senpai!" 


Uzuki-chan meletakkan tangannya di dadanya dan menatapku muram.


Sebagai adik dan anggota keluarga, Uzuki-chan lebih peduli padanya daripada aku.


“Bahkan kalo aku berbicara dengannya…”


Tentu saja, jika ada yang bisa kulakukan, aku pasti akan melakukan sesuatu.


Dia memintaku untuk membuka hati Yayoi-chan, tetapi sejauh ini yang terjadi justru sebaliknya.


“Bisakah kamu datang ke rumahku sepulang sekolah? Kumohon temui Onee-chan ku.”


Dengan berlinang air mata, permintaan Uzuki gak mungkin kutolak.



Hari itu, setelah kelas, aku bertemu Uzuki-chan di pintu masuk sekolah dan kami menuju ke rumah Kinoshita.


Aku ingin membuatnya sedikit lebih jelas sebelum melihat Yayoi-chan.


"Kinoshita-san bertingkah aneh sejak hari Sabtu?"


Dalam perjalanan pulang ke rumah Kinoshita. Pertama kali aku melihatnya, dia berjalan agak cepat, dan jelas dia ingin pulang secepat mungkin.


“Aku di rumah teman hari itu, dan saat aku pulang sore harinya, Onee-chan sudah terkunci di kamarnya. Awalnya kupikir mungkin Satsuki-senpai telah menolaknya…”


Dia menatapku seperti dia ingin membunuhku, tapi matanya serius.


"I-itu gak benar!"


Aku malu untuk menyangkalnya, tetapi aku harus menjawab dengan serius mengingat perasaan kakaknya.


"Um ... Ayahmu nggak mengatakan apa-apa tentang itu?"


"Ayah? Kenapa?"


Uzuki-chan menatapku dengan tatapan aneh di matanya. Rupanya, dia gak mengetahui kalo aku bertemu ayahnya di jalan saat kencan.


"Sebenarnya, aku bertemu ayahmu di jalan."


"Iyakah?"


Aku gak yakin apakah aku harus memberitahunya atau enggak, tapi aku merasa harus melakukannya.


“Sebenarnya, ibu dan ayahku sedang dalam perjalanan bisnis sejak hari Sabtu. Itu sebabnya Onee-chan gak masuk sekolah sejak hari itu atas keinginannya sendiri."


Kurasa perjalanan bisnis adalah bagian dari pekerjaan Agen.


Mungkin keluarga Kinoshita memiliki permasalahan mereka sendiri di rumah, dan aku nggak bisa masuk ke bagian cerita itu tanpa masuk terlalu banyak ke dalamnya.


“Kupikir mungkin ayahmu memarahinya. Kalo dia melihat putrinya dengan seorang cowok, dia gak akan tenang. Dan dia juga terdiam saat itu…”


Jika seorang cowok sepertiku, yang bahkan gak tahu jenis kuda apa yang aku tunggangi, berkencan dengan putrinya, maka sebagai seorang ayah, dia akan sangat kecewa.


Aku ingat tatapan yang dia berikan padaku pada saat itu, seolah-olah dia menilaiku, membuatku merinding. Itu adalah tatapan seorang pria yang telah melalui cobaan dan kesengsaraan menjadi seorang Agen.


“Dia gugup karna bertemu Satsuki-senpai. Dia memiliki penglihatan yang buruk dan pemalu, tetapi dia terlihat serius, namun sebenarnya dia sangat baik.”


Aku gak bisa sepenuhnya mempercayai kata-kata Uzuki-chan, tapi sepertinya dia gak marah padaku karena caraku melakukan psikis ke ayahnya.


Sebaliknya, dia senang melihat Yayoi-chan tertawa. Pikirannya bahkan bocor kalo dia ingin Yayoi-chan menjadi gadis normal. Tangan kiriku meyakinkanku kalo itu bukanlah kebohongan.


"Dan dia gak akan bolos sekolah hanya karena Ayah memarahinya."


“Nah, lalu apa yang terjadi padanya…? Dia gak mengatakan apa-apa?" 


"Enggak. Dia nggak mengatakan apa-apa."


Uzuki-chan sepertinya gak tahu alasannya dan menoleh.


Lalu apa penyebabnya…? Apakah ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai Agen? Atau itu karenaku?


Kami saling menatapn dan terdiam seolah-olah kami sedang melakukan teka-teki silang di mana kami gak bisa mengisi kotak dengan kata "Agen".


Melihat gak ada respons, rumah keluarga Kinoshita tanpa henti mendekati kami.


“Satsuki-senpailah satu-satunya orang yang bisa kupercaya. Tolong."


Membungkuk di depan rumah, Uzuki-chan sepertinya nggak bercanda.


"Ya. Aku akan melakukan apa yang aku bisa."


Aku menyetujui permintaan Uzuki-chan, meskipun sulit bagiku untuk menemuinya karena kencan kami yang berantakan.


Kalo Yayoi-chan sudah bosan denganku, itu adalah sesuatu yang gak bisa kulakukan.


Jika dia berpikir aku keren ketika dia melihatku bermain piano di festival sekolah, maka aku gak akan punya daya tarik sekarang karena aku gak bisa memainkannya lagi. Aku gak berguna yang bahkan gak bisa menemaninya di kencan yang tepat.


Tetapi meski begitu, aku sangat ingin melakukan sesuatu untuk Yayoi-chan. Aku gak bisa meninggalkannya seperti ini.


"Silakan masuk."


Kunjungan keduaku ke rumah Kinoshita adalah pengalaman yang berbeda dari yang terakhir.


Melihat lagi ke rumah Kinoshita, aku melihat kalo itu tempat tinggal yang megah di daerah pemukiman yang tenang.


Saat itu aku gak tahu harus berbuat apa, jadi aku hanya mengikuti Uzuki-chan dan gak masuk ke dalam, tetapi hari ini aku mendekat dengan tujuan yang kuat.


"Maaf mengganggu..."


Punggungku tegak secara alami saat aku memasuki rumah Kinoshita.


Rumah itu sunyi dan bau harum datang dari suatu tempat.


"Tunggu. Aku akan mencari Onee-chan. Kamu bisa menungguku di sofa di sana."


Yayoi-chan sepertinya ada di lantai atas di kamarnya.


Dia membawaku ke ruang tamu, tetapi aku melihat sekeliling dengan gak nyaman.


Ada sofa mewah dan rak buku berukir indah dan kacamata yang terlihat mahal. Di atas meja ada koran. Setelah dilihat lebih dekat, ternyata itu koran yang ditulis dalam bahasa Inggris.


Jujur aja, itu lebih seperti rumah selebritas daripada rumah Agen.


Jika kau melihat lebih dekat, kau bisa melihat banyak sekali piala di rak, apakah itu diberikan untuk sesuatu seperti prestasi Agen? aku takut melihatnya...


Aku merasa sedikit gak enak duduk di sofa, jadi aku menahannya dan menunggu.


Segera Uzuki-chan kembali.


"Di mana Kinoshita-san?"


“Gak, aku gak bisa membujuknya. Bisakah kamu pergi ke kamarnya?" 


Menggelengkan kepalanya, semangat Uzuki-chan menurun.


Aku ragu Yayoi-chan ingin bertemu denganku, tapi aku gak punya pilihan selain melakukannya.


Aku mengikuti Uzuki-chan menaiki tangga. Pintu kamar Yayoi-chan polos dan tanpa hiasan.


"Onee-chan?"


Dia mengetuk pintu dan sementara Uzuki-chan dan aku menunggu dengan tenang, suara murung Yayoi-chan terdengar lagi:


"Apa?" 


"Satsuki-senpai ada di sini."


"Ehh?!"


Suara Yayoi-chan langsung berubah. Di saat yang sama, aku bisa mendengar suara sesuatu yang berdebar.


“Kenapa kamu di sini, Fukase-kun? Tunggu sebentar!" Tiba-tiba, situasi di dalam ruangan menjadi heboh.


Siapapun akan terkejut kalo seorang teman sekelas tiba-tiba masuk ke kamarnya. Aku bisa mendengar suara sesuatu yang terbuka dan tertutup.


Setelah beberapa saat, pintu terbuka beberapa inci dan Yayoi-chan mengintip dari celah itu.


"Kinoshita-san, maaf aku datang begitu tiba-tiba."


Aku minta maaf padanya untuk saat ini.


"Aku akan turun. Satsuki-senpai, luangkan waktumu."


Uzuki-chan, mungkin bersikap pintar, turun ke bawah. Sekarang aku sepenuhnya memegang kendali, dan aku merasa gugup.


"… Masuk."


Pintu terbuka, secara mengejutkan membiarkanku masuk ke kamar.


Untuk beberapa alasan, Yayoi-chan mengenakan seragam sekolahnya. Dia pasti sudah mengganti pakaiannya saat dia tahu aku ada di sini. Sweater hitamnya menonjol sedikit dari lemarinya.


"Oh, maaf."


Tentu saja, ini pertama kalinya aku memasuki kamar cewek.


Bisa dikatakan, kamar Yayoi-chan membosankan. Ukurannya kira-kira sama dengan punyaku, tapi kelihatannya jauh lebih besar, mungkin karena gak ada sesuatu yang gak ada pada tempatnya. Ada tempat tidur, meja, dan lemari. Hanya itu yang ada.


Aku ingat dia pernah bilang padaku kalo dia gak punya hobi. Kamarnya gak terlihat hidup, juga gak terlihat seperti kamar hotel, dan hanya ada sedikit warna di dalamnya. Tirai hitam sepertinya melambangkannya, dan aku merasa seperti sedang menonton film Fellini dengan warna hitam putih.


Satu-satunya benda feminin di ruangan itu adalah boneka beruang di atas meja.


“Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?”


Yayoi-chan tetap tenang seperti biasanya, dia gak membentakku seperti terakhir kali aku datang.


Dia gak menatapku seperti dulu, tapi dia juga gak tersenyum.


"Kamu udah bolos sekolah selama tiga hari, jadi aku ingin tahu."


"Aku merasa nggak enak..."


Seolah ingin menutupinya, Yayoi-chan menyentuh rambutnya dan berbalik.


"Apa karena aku kamu gak masuk sekolah?"


Aku tidak menerima kata-kata Yayoi-chan ke dalam hati, tetapi langsung ke intinya. Aku telah mengkonfirmasi dengan Uzuki-chan kalo gak ada yang salah dengan kondisi fisiknya.


“Apakah itu karena aku mengundangmu…?”


"Itu gak benar!"


Seolah ingin memotong pembicaraanku, Yayoi-chan berbalik dan menyangkalnya.


"Lalu kenapa…?"


Yayoi-chan tak menjawabku. Ekspresi wajahnya rumit dan sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.


Kami berdua sepertinya merasakan semacam keterkaitan satu sama lain, dan aku bisa merasakan udara semakin berat.


Aku gak bisa bermain piano dan Yayoi-chan bertemu dengan ayahnya.


Masing-masing dari kami menahan diri, dan masing-masing bersikap tenang. Seolah-olah kami berjalan di dalam labirin tanpa jalan keluar.


"Karena itu bukan alasannya... maaf aku udah membuatmu khawatir."


Yayoi-chan tertawa senang.


Menampilkan gigi putihnya, itu adalah senyum yang sempurna.


“Kinoshita-san…”


Aku merasa gak nyaman dengan senyumnya.


Karena Yayoi-chan, yang gak pandai dalam hal itu, tersenyum begitu sempurna.


"Beneran, kamu benar-benar baik?" 


"Ya aku baik-baik saja."


Dia gak bisa melanjutkan masalah ini setelah dia mengatakan begitu banyak. Kalo aku melakukannya, aku gak akan memiliki tempat di ruangan ini.


"Kalau begitu, aku akan pulang…"


“Ya… Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini.”


Aku memberinya senyum kosong dan mencoba meninggalkan ruangan.


Maaf Uzuki-chan, tapi aku masih gak bisa membantunya.


Aku gak bisa berbicara tentang pekerjaannya sebagai Agen, dan aku gak bisa berbicara tentang hal lain.


Bagaimanapun, informasi yang kutahu dari psikis pada kenyataannya gak berguna. Rahasia adalah rahasia dan gak bisa diungkapkan.


Gak ada yang bisa kulakukan untuk membuka hati Yayoi-chan.


"Sampai jumpa di sekolah."


Menyadari betapa tak berdayanya diriku, aku meraih gagang pintu.


Sensasi logam yang dingin dari gagang pintu membuat ingatan tertentu terlintas di benakku.


Saat itu sore hari di festival, pertama kali aku menyentuh tangan Yayoi-chan.


Kinoshita Yayoi-chan yang nggak ramah, dingin, dan serius, merupakan sosok yang hanya aku ketahui melalui rumor.


Bahkan setelah aku mengetahui di suka padaku melalui psikis, dan meskipun kami berada di kelas yang sama, aku terus melihatnya dari belakang. Saat mata kami bertemu, dia akan menatapku dan kami bahkan gak bisa melakukan percakapan yang benar.


Kami bekerja sama secara kebetulan, dan Uzuki-chan menyela di antara kami, tapi pada akhirnya aku gak melakukan apapun untuk Yayoi-chan.


Namun, aku mencoba untuk lari lagi.


Aku mencoba mengakui kegagalanku lagi, tak bisa melakukan apapun untuk Yayoi-chan.


Aku telah memutuskan untuk menghadapinya dengan benar kali ini, tapi…


"Kinoshita-san!"


Aku melepas gagang pintu dan secara refleks berbalik untuk melihat ke dalam kamar.


"A-ada apa?"


Ketika aku hendak pergi aku tiba-tiba berbalik, dan Yayoi-chan terkejut.


"Kinoshita-san, aku punya sesuatu yang aku ingin kamu tahu!"


Aku berbalik dan menatap langsung Yayoi-chan lagi.


"Fu-Fukase-kun?"


Dia mengangkat bahunya seolah-olah sikap seriusku telah tersampaikan padanya.


"Aku, ada sesuatu yang belum kukatakan pada Kinoshita-san."


Aku takut untuk mengungkapkan pikiranku ke orang lain, meskipun aku bisa mengerti apa yang dikatakan pikiran orang lain berkat psikisku.


Itulah yang terjadi padaku di festival, di mana aku telah gagal.


Aku gak ingin dia kecewa padaku. Aku tidak ingin dia membenciku.


Aku tahu bagaimana perasaan Yayoi-chan terhadapku, tapi itu terlalu pengecut bagiku.


Nggak ada cara untuk memperpendek jarak di antara kami.


Jika rahasia akan menjadi penghalang, aku harus mengungkap rahasiaku sendiri terlebih dahulu.


Aku adalah diriku sekarang, termasuk dengan kegagalan itu.


Kau gak bisa mengubah apapun tentang orang lain dengan tetap diam dan berharap yang terbaik.


Satu-satunya orang yang bisa kau ubah adalah dirimu sendiri.


Aku gak akan lari lagi. Aku gak akan mengejar punggungnya. Aku gak akan mengandalkan psikis lagi.


Aku akan menekan tombol Yayoi-chan untuk menunjukkan padanya kalo aku akan terbuka padanya.


Itulah yang bisa kulakukan sekarang!


“Tentang piano tempo hari…”


Aku secara terpaksa mengungkapkan kenangan yang belum pernah ku sentuh sebelumnya.


"Alasan aku gak bisa bermain saat itu bukan karena aku lupa partiturnya."


“La-lalu…?”


Suara Yayoi-chan tergagap, seolah dia gak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap pengakuan yang tiba-tiba ini.


"Um, silakan duduk dulu."


Mungkin memutuskan kalo ini akan menjadi percakapan yang sulit, Yayoi-chan menunjuk ke tempat tidur.


Kami berdua sudah lama berdiri, dan gak ada bantal di ruangan ini juga.


Yayoi-chan duduk di tempat tidur, dan aku duduk di sampingnya. Aku bisa mencium aroma Yayoi-chan pada diriku, dan aku sedikit takut mengungkapkan masa laluku.


Aku mengepalkan tangan kiriku untuk menghilangkan rasa gugup yang aneh.


"Aku... aku gak bisa bermain piano lagi."


Aku menelan ludah dan mengeluarkan trauma yang selama ini membekas di hatiku.


Yayoi-chan menatapku dengan cemas, bertanya-tanya apakah dia harus bertanya kenapa.


“Alasannya, aku gagal di festival tahun lalu. Bukankah penampilanku saat itu sangat buruk?"


“Aku nggak menganggapnya sebagai kegagalan. Aku…"


Dia menyangkal kata-kata mencela diriku, tetapi menelan kata-kata yang akan dia katakan.


Bahkan jika Yayoi-chan melihatku gagal saat itu, butuh keberanian untuk membicarakannya sendirian seperti ini. Aku menyadari betapa sakitnya mengungkapkan perasaanku yang selama ini tersembunyi.


“Aku bermain piano sejak aku masih kecil. Nggak ada yang menyuruhku memainkannya, sebaliknya aku mulai sendiri. Bisa dibilang itu satu-satunya hobiku. Tentu saja, aku masih menyukainya."


Yayoi-chan mengangguk dalam diam di sampingku.


“Saat jariku menyentuh piano untuk pertama kalinya, aku tergerak oleh suara yang dihasilkannya. Kemudian aku mulai berlatih, dan suaranya menjadi melodi, dan aku semakin jatuh cinta pada piano. Aku gak pernah bosan memainkannya, hari demi hari.”


Aku rasa aku berusia lima tahun saat aku diperkenalkan dengan piano.


Aku ingat ibuku akan marah padaku saat aku bermain piano tanpa memahami apa yang kulakukan. Tapi sedikit demi sedikit aku belajar membaca musik, aku berlatih seolah-olah bersaing dengan Sanae, dan sedikit demi sedikit aku bisa memainkannya dengan baik. Aku melakukannya karena aku ingin, bukan karena nggak ada yang memujiku untuk itu.


“Aku percaya diri, kamu tahu? Itu sebabnya aku terkejut saat aku gagal... Aku belum pernah bermain di depan siapa pun, jadi aku gugup. Aku rasa aku trauma karna aku mengacaukan penampilan Mayo-senpai."


Saat itulah aku secara tak sadar menjauhkan diri dari piano.


Aku dulu suka bermain piano setiap hari, tetapi kesalahan itu membalikkan segalanya.


"Di hari Sabtu, di depan piano, untuk pertama kalinya aku menyadari betapa trausamatinya saat itu."


Perasaan yang aku rasakan ketika aku menyadari kalo aku gak bisa lagi bermain piano jalanan membuat tanganku gemetar bahkan saat aku mengingatnya sekarang.


Pemisahan antara piano dan aku. Aku merasa seperti kehilangan semua yang pernah kulakukan.


"...... Aku gak bisa bermain piano lagi."


Sekali lagi, aku mengungkapkan kegelapan hatiku ke dalam kata-kata dan melihat tanganku yang terulur.


Aku menyukai suara yang dihasilkan dari sepuluh jari ini. Setiap not yang dimainkan oleh jari-jari ini tumpang tindih dan menjadi sebuah melodi. Perasaan bahagia yang begitu kaya.


Hanya ketika aku bermain piano, aku bisa mengekspresikan diriku dengan bebas. Suara yang dihasilkan jari-jariku adalah yang paling jujur ​​dan nyata.


Aku punya piano, dan piano menghubungkanku dengan dunia.


Tetapi ketika aku berhenti memainkannya. Aku benar-benar sendirian.


“Penampilan Fukase-kun membuatku terkesan. Sungguh menakjubkan kalo kamu bisa memainkannya di depan penonton yang begitu banyak. Aku gak berpikir kamu gagal, oke?" 


Aku menatap Yayoi-chan, yang sepertinya akan menangis lebih dariku.


Aku berterima kasih padanya karena mengatakan itu, jika hanya untuk memujiku.


“Tapi, aku gak bisa menghilangkan helaan yang aku dengar dari dalam dym ketika aku gagal dari kepalaku. Aku sudah lama menutupi ingatan itu, tetapi ketika aku duduk di depan piano di hari Sabtu, aku mengingatnya.”


Itu adalah helaan yang hanya bisa aku dengar. Helaan yang gak perlu kudengar.


"Itu karena aku memintamu melakukan sesuatu yang gak masuk akal..."


"Itu gak benar! Itu bukan salah Kinoshita-san. Itu…"


Yayoi-chan memegang tanganku di pangkuannya.


Ini masalahku. Tembok yang harus kuatasi.


“Aku gak tahu banyak tentang musik, dan aku hanya mendengar tentang piano di kelas musik, tapi meski begitu, penampilan Fukase-kun… bagiku itu harapan."


Kata-kata Yayoi-chan mengetuk pintu hatiku yang telah tertutup selama setengah tahun.


"Harapan…?"


“Ya, aku bisa melihatnya. Cahaya harapan.”


Yayoi-chan dengan lembut meletakkan tangannya di dadanya dan menutup matanya.


“Saat aku melihat Fukase-kun bermain piano, aku kagum karena kamu bisa melakukan apa yang kamu lakukan…”


Yayoi-chan sepertinya mengingat penampilanku saat itu.


Aku ingin tahu situasi seperti apa yang tercermin di balik kelopak matanya.


Seolah dia membandingkanku dengan dirinya sendiri, gak bisa melakukan apa yang dia inginkan. 


"Itu sebabnya kamu gak perlu menganggap dirimu sebagai gagal, karena hal itu terjadi padaku!" 


Yayoi-chan meletakkan tangannya di depan dadanya.


Sekarang aku tahu mengapa dia mengira aku cowok yang keren. Aku gak pernah berpikir kalo penampilanku yang gagal akan menyentuh hati Yayoi-chan.


Aku hanya bisa berakting untuk diriku sendiri, tapi aku hanya bisa menjangkau satu orang, Yayoi-chan.


Itu juga harapan bagiku. Aku gak sendiri.


"Terimakasih. Kinoshita-san.”


Aku merasa diselamatkan dan berterima kasih padanya.


Aku hanya mendengar rumor tentang Yayoi-chan enam bulan lalu, tapi sekarang dia duduk di sebelahku, menyemangatiku dengan sangat cerah.


Dia mudah tersipu, dia baik, dia memberi anjingnya nama yang lucu, dia biasanya memakai sweter hitam, dia suka permen dan dia memiliki senyum yang kejam...


Ini adalah berbagai jenis Yayoi-chan yang aku temui sejauh ini.


Sama seperti not-not di partitur kosong, berbagai Yayoi-chan juga menciptakan melodi.


Hanya dengan melihat pikirannya dengan psikis gak akan mengubah apapun. Kau gak bisa melakukan apa pun hanya dengan mempelajari hal-hal tentangnya.


Aku bahkan gak bisa membuatnya berhenti menjadi agen.


Maka dari itu aku hanya akan mendorongnya kembali.


Hingga Yayoi-chan bisa melakukan apapun yang dia mau.


“Aku gak melakukan apa yang aku inginkan saat ini, tetapi aku akan melakukan yang terbaik agar aku bisa kembali bermain piano. Lalu, Kinoshita-san juga…”


Aku gak bisa mengungkit apa pun tentang Agen, tetapi aku yakin Yayoi-chan akan mengerti maknanya.


"Aku juga ingin kamu melakukan apapun yang kamu mau, Kinoshita-san."


Aku mengatakan semua yang ingin kukatakan.


Entah bagaimana, kebingungan dalam benakku sepertinya telah hilang dengan kata-kata itu.


Aku memberitahunya tentang piano, traumaku, dan perasaanku pada Yayoi-chan.


Aku meraih lututku dan menoleh ke samping; Wajah Yayoi-chan memerah.


Aku menatap wajahnya, seolah menunggu kuncupnya terbuka.


“Fukase-kun…”


Suara menusuk Yayoi-chan.


Jarak antara kami, begitu dekat namun begitu jauh.


Yayoi-chan mengambil waktunya, gak berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, gak berusaha menutupinya dengan menyentuh rambutnya, tetapi mendongak dengan cemberut.


"Aku juga, aku punya sesuatu yang ingin kulakukan."


Mata Yayoi-chan, yang tampak melamun, akhirnya melebar dan dia berdiri.


"Itu juga ada hubungannya dengan Fukase-kun."


"Denganku?"


Perasaan jernihku bergetar lagi.


“Sebenarnnya, aku sudah ingin melakukan ini selama enam bulan terakhir. Aku sudah absen dari sekolah untuk melakukannya."


"Eh? Apa maksudmu?"


Aku dikejutkan oleh hubungan yang tiba-tiba pada saat ini mengapa aku datang ke sini.


Yayoi-chan berdiri dan membuka lemari.


Yayoi-chan mengeluarkan piano mainan kecil.


“Aku membelinya tahun lalu. Aku gak mampu membeli yang asli, jadi ini hanya mainan anak-anak."


Dia menepuk piano dengan malu-malu.


"Aku baru saja membelinya dan hampir gak menyentuhnya, tetapi di hari Sabtu setelah sampai di rumah, aku berlatih sepanjang hari."


Yayoi-chan menyentuh rambutnya berulang kali, bertingkah sangat malu.


“Berlatih? Piano?"


Dia mengangguk dan meletakkan tangannya di atas mainan piano.


“Aku ingin Fukase-kun mendengarkanku…”


"Eh?"


Aku gak bisa menyembunyikan keterkejutanku dari alasannya.


Dia absen dari sekolah untuk berlatih piano untuk aku dengarkan?


Yayoi-chan sedang duduk di depan piano mainan kecil. Aku memperhatikannya dalam diam.


“Aku gak punya hobi apa pun, dan untuk pertama kalinya, aku memiliki sesuatu yang ingin kulakukan sendiri. Inilah."


Aku melihat mainan piano dan Yayoi-chan secara bersamaan. Aku mencoba untuk mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata gak bisa keluar dari mulutku.


“Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku gak bisa. Suara piano Fukase-kun di festival masih bergema di hatiku. Saat aku melihatmu bermain, aku berharap bisa bermain seperti itu. Jadi aku juga ingin…”


Lalu dia memotong kata-katanya dan menyelipkan rambutnya di belakang telinganya.


Entah bagaimana, aku mengerti apa yang Yayoi-chan coba katakan padaku.


Aku mencoba membuka diri dengan piano. Aku pikir aku bisa jujur.


Itu adalah suara harapan Yayoi-chan.


Yayoi-chan mengeluarkan bunyi bip dan suara "la".


"Ini semua karena...... ini semua karena Fukase-kun, oke?"


Wajah Yayoi-chan memerah, matanya menyipit, bibirnya lembut, dan senyumannya mekar seperti bunga matahari.


Itu bukan senyum kejam yang kulihat tempo hari, tapi senyum yang sangat alami dan indah.


Saat itulah aku menemukan Yayoi-chan yang sebenarnya.


“Kinoshita-san…”


Yayoi-chan akhirnya terbuka padaku, dan aku diliputi rasa bahagia.


"Aku akan membuatmu mendengarkanku saat aku sudah lebih baik... Aku gak mengira kamu akan datang ke rumahku hari ini."


“Ma-maaf…”


Aku gak pernah berpikir kalo piano ini adalah alasan Yayoi-chan gak masuk sekolah.


Bermain piano untukku, apakah itu…?


"Aku tahu aku buruk dalam hal itu, tapi aku akan melakukan yang terbaik, oke?" 


Yayoi-chan tersenyum manis dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.


Dia meletakkan jari-jarinya di tuts piano kecil dan menatapku.


"Aku akan mulai, oke?"


Yayoi-chan menarik napas dalam-dalam dan mulai memainkan piano.


Dia memainkan melodi dengan kedua tangan seolah memeriksa setiap nada.


Itu adalah "Canon" Pachelbel.


Nada-nadanya telah diubah untuk pemula dan dia sangat lambat, tapi bisa dibilang dia udah banyak berlatih selama tiga hari ini.


Itu memang gak terlalu mahir, tapi piano yang dimainkan Yayoi-chan penuh dengan emosi.


Itu adalah jenis musik yang dimainkan untuk orang lain….


"Ummmm?"


Permainannya terhenti. Seakan-akan dia lupa partiturnya, dan tangan kanannya melayang di udara.


"Berikutnya adalah 'Re'."


"Oh, itu benar. Terima kasih!"


Yayoi-chan, yang kesulitan mengikuti partitur, bermain lagi. Setelah itu, mungkin dia sudah terbiasa dengan musiknya, atau mungkin karena dia gak gugup lagi, tapi dia memainkan lagu itu dengan lancar sampai akhir.


"Kamu berhasil!"


Yayoi-chan tampak malu, tapi aku bertepuk tangan untuknya.


"Kamu melakukannya dengan sangat baik! Aku gak percaya kamu baru bermain piano selama tiga hari!"


“Aku bahkan absen dari sekolah untuk berlatih!”


Dia mengatakannya dengan bercanda, tapi itu benar, jadi itu gak lucu.


Kemudian Yayoi-chan berbalik dan meluruskan punggungnya ke arahku, duduk di tempat tidur.


Mata kami bertemu, dan Yayoi-chan berkedip dua kali.


"Aku gak taku salah, okay?"


Pipi Yayoi-chan bahkan lebih merah dari sebelumnya, mungkin karena rasa pencapaian yang dia rasakan setelah menyelesaikan pertunjukannya.


"Aku gak takut karena Fukase-kun mendengarkanku."


Yayoi-chan menatapku dengan senyum malu-malu dan aku menatap matanya.


"Fukase-kun, kamu yang terbaik."


Yayoi-chan menatap mataku dan berbicara dengan senyum tegas dengan wajah yang tak tergoyahkan.


“Kinoshita-san…”


“Jadi jangan takut, Fukase-kun! Kegagalan festival sekolah bisa jadi kenangan berharga untukku dan Fukase-kun!"


Yayoi-chan memegai lututnya dengan kedua tangan dan matanya basah.


Inilah yang Yayoi-chan ingin lakukan dan apa yang ingin dia katakan padaku.


Pemikiran yang dia tuangkan ke dalam penampilannya beberapa saat lalu tersampaikan melalui melodi.


"Kinoshita-san. Bagiku…"


Itu sebuah amanat bagiku yang trauma akibat kegagalan yang kualami.


Yayoi-chan memainkan piano dan memberitahuku kalo dia gak takut gagal.


Kegagalan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti.


Kau gak bisa bergerak maju jika kau takut gagal.


"Terima kasih."


Sekarang aku mengerti mengapa Yayoi-chan menganggapku sangat keren saat dia mendengarku bermain di festival.


Jadi inilah artinya ketika suara mencapai hati. Ini adalah pertunjukan untuk seseorang yang spesial.


"Terima kasih banyak."


Aku menggigit bibirku dan mengucapkan terima kasih berulang kali.


"Terima kasih untuk itu."


Yayoi-chan memberiku senyum terindah yang bisa dia berikan.


Lalu kami tertawa dengan keras.


Akhirnya aku menemukan Yayoi-chan yang sebenarnya.



Dia sangat hebat, sangat normal, dan sangat bahagia. 

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset