Chapter 4 Part 1 - Jika Kau Mendukungku.
Tatsuya berhenti berbicara denganku keesokan harinya. Atau lebih tepatnya, Tatsuya menjadi kesepian. Dia tak pergi bersama kami dan tetap sendirian.
Ketika mata kami bertemu pagi itu, dia memalingkan muka. Aku bahkan belum menyapa, membiarkan tanganku melayang di udara. Sikap Tatsuya mengingatkanku pada kenangan saat pertama kaliku di SMA.
Dia menyapa Uta dan Hoshimiya jika mereka bersamanya, tapi dia tak berusaha untuk melanjutkan pembicaraan. Aku bertanya-tanya apakah aku harus melakukan lebih dari sekedar mempercayai kata-kata Reita. Waktu akan menyelesaikan masalah.
“Apa kamu bertanya padanya apa yang terjadi?” Ketiga gadis itu bertanya. Mereka mungkin tak tahu apa yang terjadi antara aku dan Tatsuya, tapi siapa pun bisa melihat suasana yang gelap dan suram.
Gadis-gadis itu tampak penasaran dan khawatir. Namun, Rieta tidak menjelaskan situasinya, jadi aku mengikutinya dan tetap diam. Aku tidak ingin mengatakan apapun yang mungkin melibatkan cinta Tatsuya.
“Oh. Kelas selanjutnya akan dimulai.” Kataku.
Hanya satu orang yang hilang dari grup kami, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat hari menjadi gelap. Aku segera menyadari bahwa Uta bukan satu-satunya yang ceria di grup kami; Tatsuya juga memainkan peran yang baik dalam menghidupkan suasana.
Udaranya berat. Ini menyebalkan! Itu gak lucu. Kami semua bisa merasa dibatasi tak peduli seberapa keras kami mencoba untuk berpura-pura.
Aku gak akan mengatakan ini adalah kehidupan SMA yang aku inginkan bahkan jika seseorang menodongkan pistol ke kepalaku.
***
Tatsuya makan siang sendirian dan pergi berlatih segera setelah bel sekolah berbunyi.
Kami semua pergi secara terpisah, Hoshimiya dan Nanase tetap bersama seperti biasa, dan Uta pergi sebentar untuk berbicara dengan teman-teman sekelasnya yang lain. Reita dan aku pergi untuk menonton Tatsuya.
Hal-hal berlanjut seperti itu selama akhir pekan semakin dekat. Hari-hari terasa membosankan dan sunyi. Aku bisa merasakan dunia yang hidup di sekitarku menghilang. Aku harus kembali ke skenario yang aku kenal; hari-hari kelabu itu mulai datang padaku.
“Kamu luar biasa, Natsu!” Uta berteriak sambil tersenyum. Kami sedang melihat poster di lorong tempat posisi kami untuk ujian semester sudah dipasang. Rasanya sudah lama sejak dia tersenyum seperti itu. Namun, keceriaan yang biasa dalam suaranya kurang, dan dia terdengar seperti sedang memaksakan diri.
“Oh, terimakasih.” kataku. Aku mendapat posisi pertama di tahun pertama, dengan perbedaan besar dari posisi kedua.
Nanase di posisi ke 3, Reita ke 11, dan Hoshimiya hampir tidak berhasil mencapai posisi teratas di posisi ke 49. Ketika aku melihat lagi, aku melihat bahwa Miori berhasil mencapai posisi ke 8. Nama Uta dan Tatsuya, seperti yang diharapkan, taka da di daftar.
“Bagaimana caranya, Uta?” tanyaku.
“Ehehe. Yah, aku nomor seratus, semuanya itu berkatmu!” Uta mengangkat dadanya dengan bangga. Siswa di tahun pertama kami memiliki 240 siswa, jadi lebih dari setengahnya.
Itu perstasi besar dibandingkan dengan bencana yang aku alami dulu, pikirku. Dia melakukan lebih baik dariku di yang kulakukan pertama kali, setidaknya.
“Hei, cowok di sana itu…”
“Eh? Wajahnya sesuai dengan seleraku…”
“Dia juga pintar…”
Aku bisa merasakan mata murid lain tertuju padaku saat aku berdiri di lorong. Aku menarik terlalu banyak perhatian, mungkin karena nilaiku. Untungnya, aku tidak sombong, tapi aku merasa tatapan mereka menyimpan rasa iri atau perasaan. Ada banyak gadis yang memperhatikanku.
Bagiku, jelas aku akan menjadi yang pertama karena ini adalah percobaan keduaku di SMA; Namun, mereka yang dekat dengan ku tidak tahu aku telah melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, jadi tentu saja itu tak adil bagi mereka. Aku belum memahaminya sampai sekarang.
Orang yang sempurna, ya? Aku tak bisa melihat julukan itu cocok untukku, pikirku. Lagi pula, jika aku benar-benar sempurna, aku gak akan melakukan kesalahan seperti itu. Segalanya gak akan berubah seperti ini, dan aku gak akan terlalu menyesalinya. Aku gak akan pernah ingin mengulang masa mudaku sejak awal.
“Hei, Natsu? Ayo kita pergi keluar di hari Sabtu dengan semua orang. Aku bebas di sore hari.” Uta akhirnya berkata sambil menarik lengan bajuku. Kata-katanya menggoda.
Tapi sekarang, aku sudah menemukan jawabannya. Uta mungkin menyukaiku. Itulah alasan utama kenapa Tatsuya cemburu padaku. Tapi aku gak punya kendali atas itu. Di saat yang sama, itu adalah emosinya, jadi Tatsuya juga gak bisa mengendalikan perasaannya. Itu pasti sebabnya dia menjauhiku.
Kalo begitu, pikirku, itu masalah Tatsuya, bukan masalahku. Aku gak perlu khawatir.
Jika kami semua pergi keluar di akhir pekan, kami akan merasa mood kami kembali dan bersenang-senang. Lalu ketika kami masuk ke sekolah di hari Senin, suasana gelap akan berangsur-angsur membaik. Semuanya akan diselesaikan jika kami semua menikmati kebersamaan satu sama lain sekali lagi- bahkan jika Tatsuya gak ada di sana.
Manusia pandai beradaptasi ketika lingkungan berubah. Apa yang disarankan Uta adalah langkah pertama menuju masa depan itu.
Aku ragu-ragu dan kemudian berkata. “Maaf, Uta. Aku ingin sendirian di akhir pekan ini.” Aku menggelengkan kepala, gak, meskipun aku tahu itu akan menjadi solusi termudah.
Aku gak akan pernah menerima masa depan seperti itu. Tentu, jika aku menempuh jalan itu, aku bisa menuju ke masa muda yang lebih bahagia daripada yang aku lakukan di masa lalu, terlepas dari kesalahan. Tapi kesalahan ini fatal. Membiarkan itu terjadi berarti rencanaku telah gagal. Aku gak bisa membiarkannya! Lagipula, aku kembali ke masa ini agar aku bisa menjadi teman Tatsuya.
***
Aku berjalan pulang sendirian hari itu. Meskipun Hoshimiya biasanya pulang sendirian hari itu juga, aku gak mengajaknya pulang bersama. Aku tak merasa ingin berbicara dengan siapa pun.
Kereta bergetar dan berguncang saat membawaku pulang, perjalanan panjang seperti biasanya. Hujan turun saat aku turun di stasiun terdekat dengan rumahku.
Hujan ringan berangsur-angsur berubah menjadi hujan deras. Beritanya gak mengatakan akan turun hujan pagi ini, pikirku. Aku gak bawa payung. Tanpa banyak pilihan, aku langsung berlari pulang di tengah hujan deras itu. Gak butuh waktu lama sebelum aku basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Rumahku berjarak lima menit berjalan kaki dari stasiun. Aku berlari ke depan dengan pakaian basahku; Itu sedingin suasana hatiku saat ini.
“Mengulangi masa mudaku, ya?” Gumamku. Aku berhati-hati karena kesalahan terakhirku, tetapi aku gak percaya aku mengacau kali ini karena terlalu sempurna. Satu-satunya hal yang menanti pria abu-abu sepertiku adalah dunia yang sama abu-abunya.
Aku berhenti berjalan dan menatap langit yang gelap. Hujan turun membasahiku.
“Apa yang harus kulakukan?” teriakku. Tapi gak ada yang memberi aku jawaban. Aku merasa bahwa aku hanya akan mencapai jalan buntu gak peduli jalan mana yang gak coba ambil sekarang.
“Kalau itu akan menjadi seperti ini...” Aku berkata dengan keras dan kemudian suaraku berubah menjadi bisikan. “Akan lebih baik jika aku gak mendapat kesempatan kedua.”
Atau aku seharusnya tetap berada di jalan yang sama dan berjalan di jalan yang mengerikan seperti sebelumnya. Ada tempat di mana semua orang berada, pada akhirnya, hanya itu yang bisa aku jangkau.
“Ada apa, Tuan Peringkat Pertama?” Sebuah suara berkata dari belakangku dan hujan tiba-tiba berhenti. Gak, itu gak berhenti. Itu baru saja berhenti jatuh padaku. Aku mendongak untuk melihat payung terbentang di atasku. “Kalo sesuatu terjadi, maka teman masa kecilmu akan meminjamkan bahunya untuk mendengarkanmu.”
Aku menoleh ke belakangku dan melihat Miori berdiri di sana. Seberapa buta aku terhadap sekelilingku hingga dia mendekatiku tanpa ku sadari, hujan atau tanpa hujan?
Miori sangat dekat sehingga bahu kami bersentuhan, dan kami berbagi payung.
“Untuk apa. aku sudah basah kuyup; gak ada gunanya menggunakan payung sekarang.”
“Ahaha, benar. Lalu aku akan berhenti. Kamu sangat logis bahkan ketika kamu gak terbuat dari apapun.” Miori berjalan menjauh dariku tanpa ragu-ragu dan hujan deras turun menimpaku sekali lagi.
“Oh, apakah kamu setidaknya ingin aku membawa tasmu? Buku-bukumu rusak jika kamu biarkan basah. Aku adalah dewi yang penyayang!” Kata Miori dan mengambil tasku dariku tanpa menunggu jawabanku.
Kau gak bisa bilang kau meminta izin jika kau bahkan gak memberiku waktu untuk mengatakan tidak, pikirku.
“Lalu? Apa yang terjadi?” Miori bertanya sambil tersenyum sambil memutar-mutar payung.
Cara dia masuk ke hatiku tanpa mempertimbangkan perasaanku membuatku kesal. “Ini gak ada hubungannya denganmu.”
“Yep itu benar. Karena aku mitramu dalam rencana Masa Muda Penuh Warna, bukan?”
Oh ya, kami sepakat tentang itu. Aku akan membantu Miori lebih dekat dengan Reita sebagai imbalan atas bantuannya dari rencanaku. Dan di hari itu ketika kami secara resmi menyepakati rencana itu, Miori telah memperingatkanku. ‘Aku melihat ada masalah besar dengan rencanamu. Masalahnya sudah muncul.’
Kereta sampai di stasiun tepat setelah dia mengatakan itu, dan kemudian orang tuanya datang menjemputnya. Tapi aku bisa saja menelponnya atau mengirim pesan padanya di RINE jika aku benar-benar ingin tahu.
Sebaliknya, aku sangat optimis dan mengabaikan kata-katanya. Memang, aku mengalami kesulitan sampai sekarang. Gak mungkin gak ada masalah, pikirku.
“Kalau gitu mitra kita berakhir sekarang.” Kataku tanpa basa-basi lagi.
Ini salahku karena gak mendengarkan peringatannya, tapi sudah terlambat untuk itu. Rencana itu sudah kacau dan berakhir.
***
Sesampainya aku di rumah, aku melepas seragamku dan langsung mandi. Setelah mengeringkan diri, aku mengenakan baju santai yang nyaman dan kembali ke kamarku.
“Yo! Selamat datang kembali.” Miori sedang berbaring di tempat tidurku menyapaku.
“Hei! Sudah kubilang pulang.” Aku geram.
“Ya, ya, jangan katakan itu!” Dia melihat sekeliling kamarku, masih berbaring di tempat tidurku. “Tapi hei, kamarmu gak berubah sama sekali.”
Berhentilah berjalan seperti orang gila di rumah orang lain! Juga, apakah kau lupa bahwa aku cowok? Berhentilah terlihat begitu tak berdaya. aku menghela nafas. “Gak? Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?”
“Yup, ketika kita masih Tk. Bentar, kamu gak ingat? Payahhh!”
“Itu cerita lama. Siapa yang mengingat hal-hal dari Tk?” Kataku. Serius! Yah, secara mental, aku berada di tahun keempat kuliahku, karna itu? Gak, bahkan ketika aku secara mental di SMA, aku rasa aku gak ingat banyak dari sekarang. “Pokoknya, gak mungkin kamarku akan sama seperti saat Tk.”
“Yah, kamu takut punya lebih banyak buku. Dan ada lebih banyak barang otaku juga.” Komentarnya.
Aku suka ke novel ringan tahun pertama Smp ku, jadi aku akhirnya membelinya. Miori sedang melihat sampul cabul di tempat tidurku dan tertawa.
“Woweee! Kamu cowok.” Katanya.
“Oh, diamlah. Dan berhenti melihatnya.” Aku berjalan ke Miori dan mengambil buku itu. Dengan melakukan itu, aku akhirnya berdiri di atasnya, yang menyebabkan dia menggerakkan kakinya dengan main-main dan berteriak dengan bercanda. “Aaah! Aku diserang!”
“Hei, apa kamu benar-benar ingin aku menyerangmu?!”
“Seolah-olah kamu punya nyali untuk melakukan itu! Jangan memaksakan diri, Virgin-kun.” Miori menusuk hidungku dan turun dari tempat tidurku.
Ya, aku masih perjaka! Apa kau punya masalah dengan itu? Hei bentar, bukankah Miori juga virgin? Pikirku, tetapi kemudian sesuatu datang padaku. Huh! Itu seriusan? Gak, gak mungkin - apakah siswi SMA akhir-akhir ini bergerak secepat ini? Aku ingin tahu, tetapi aku gak ingin tahu yang sebenarnya, jadi aku akan membiarkan topik itu.
Miori berjalan ke pintu dan menggunakan ponselnya untuk memfoto kamarku. “Hm. Tata letaknya hampir sama, kecuali rak buku tambahan. Mungkin.”
“Yah, itu benar…” Aku berhenti. “Hei, kenapa kamu ngefoto? Sebaiknya kamu jangan mempostingnya di Minsta!”
Akan buruk jika Uta mengetahui bahwa aku bersama Miori tepat setelah aku mengatakan padanya bahwa aku ingin sendirian. Mereka dari klub yang sama, jadi mereka pasti berteman di Minsta.
“Aku gak akan mempostingnya; Aku gak ingin Reita-kun salah paham. Ini adalah kenangan masa lalu yang indah.”
“Apa maksudmu?” Aku memiringkan kepalaku, heran, lalu sesuatu menghantamku. Bentar bentar! Miori ada di tim bola basket bersama Uta. Uta pergi ke klub seperti biasa hari ini, jadi dia seharusnya latihan hari ini. Mengapa aku bertemu Miori saat perjalanan pulang?
“Hei, bukankah kamu ada latihan hari ini?” Tanyaku.
“Hmm? Aku melewatkannya.” Dia menjawab tanpa basa-basi.
“Hah?”
“Aku gak seserius Uta tentang basket.” Katanya dengan aura main-mainnya yang biasa.
“Kenapa kamu melewatkannya?”
“Karena aku lelah, meski aku menikmatinya, kupikir itu akan mengganggu. Gak bisakah aku santai sesekali?”
“Tapi kamu belum berlatih selama seminggu.” Jelasku.
“Itu berbeda. Aku harus belajar sepanjang waktu. Aku berusaha sangat keras dan bahkan gak tidur semalaman untuk belajar, tetapi aku hanya berhasil mencapai posisi kedelapan. Aku merasa SMA ini berada di level yang berbeda. Itu sebabnya aku terkejut melihat kamu di tempat pertama. Apa yang menyebabkan perubahan mendadak itu?”
Aku ragu-ragu sebelum berkata. “Yah, kamu tahu, aku banyak bekerja. Dengan caraku sendiri.”
“Maksudku debut SMA mu, Rencara Masa Muda Penuh Warnamu?” Miori bertanya.
Aku mengangguk, yang dia jawab. “Begitu, masuk akal.” Dan dia duduk di tempat tidurku. “Tapi itu hanya 20% dari alasannya.”
Untuk sesaat, aku bertanya-tanya apa maksudnya, tetapi akhirnya aku menyadari bahwa dia telah kembali ke topik bolos latihan. Percakapan selalu tentang apa pun yang berbicara dengan Miori. Semuanya datang dan pergi. Dia benar-benar melakukan apa yang dia suka.
“Bagaimana dengan 80% sisanya?” tanyaku.
“Uta bertingkah aneh akhir-akhir ini. Menurutku ada sesuatu yang terjadi, jadi aku bertanya padanya, tetapi gak ada jawaban. Uta juga gak tahu apa yang salah, jadi aku mencarimu.” Miori menodongkan pistol ke arahku dan berpura-pura menembakku. “Bang!”
“Ah, begitu. Jadi itu sebabnya kamu begitu gigih.” Kataku. Wajar jika ingin melakukan sesuatu jika temanmu terlihat murung. Semuanya salahku. Lebih baik kuberitahu detailnya, pikirku.
“Gigih? Salah. Apakah aku bukan mitramu?”
Untuk sesaat, aku gak mengatakan apa-apa. “Sudah kubilang. Rencanaku sudah hancur.”
“Ya, aku mengerti kamu berpikir begitu. Tapi ayo kita bicara dulu.” Miori dengan lembut menyemangatiku.
Oke, aku akan bicara, pikirku. Tapi mulutku menjadi kering dan menolak untuk membuka. Melihatku ragu, Miori menepuk kepalaku.
“Sepas. Aku bukan anak kecil.” Kataku memecah kesunyian.
“Tapi bukankah itu caraku menghiburmu ketika kita masih kecil?]” Tanyanya.
Sebuah kenangan dari masa lalu terbang melalui pikiranku. Oh ya, itu masalahnya. Lalu aku geram. “Ya, yah, itu masa lalu. Aku gak berpikir kita sedekat itu sekarang.”
Kami berteman dari Tk hingga SD. Aku adalah orang yang menghindari Miori di SMP dan membuat jarak di antara kami. Aku iri dengan betapa ramahnya Miori, bagaimana dia mengelilingi dirinya dengan teman-teman, dan bagaimana dia selalu menjadi pusat perhatian. Itu adalah keegoisanku.
Miori telah menyadari apa yang aku lakukan dan menyerah untuk mendekatiku. Begitulah caraku menjadi penyendiri.
“Kamu cowok yang pengecut. Apa yang terjadi di SMP masih mengganggumu?” Miori menatapku, tapi aku memalingkan muka. Aku akan berbohong jika aku mengatakan itu gak menggangguku. “Maaf aku gak bisa membantumu.” Dia meminta maaf dengan serius, membuatku lengah.
“Soal apa?” tanyaku. “Akulah yang pergi. Kamu gak perlu meminta maaf!”
Itulah mengapa aku mencoba untuk berubah; aku gak ingin iri pada Miori. Aku ingin kami menjadi sama dan berada di panggung yang sama. Itu sebabnya aku akhirnya melakukan debut SMA untuk pertama kalinya - semua untuk menjalani hari-hari SMA yang cerah yang aku rasakan. Itu adalah kesempatan pertamaku untuk mengubahnya.
“Banarkan? Aku juga berpikir begitu.” Katanya. “Memang, aku engak melakukan kesalahan apapun. Serius, beri aku waktu! Aku bertingkah seperti ini sekarang, tapi aku benar-benar terluka saat itu, tahu? Pikirkanlah dari sudut pandangku: teman masa kecilku yang hebat tiba-tiba mulai membenciku, semua karena dia iri padaku. Tidakkah menurutmu itu gak masuk akal?”
Aku terdiam, tak berani menggeram. Kalau begitu jangan minta maaf dulu, pikirku, tapi aku tahu Miori telah memukul kepalanya. “Bagaimana kamu tahu? Bahwa dia iri padamu, maksudku.”
“Karena kamu menaruh hatimu di debut SMA. Aku pikir kamu membenci yang ceria dan populer, jadi aku mencoba untuk mempertimbangkannya, tahu?” Dia menambahkan. “Oh, hei, tebakanku benar!”
“Apakah itu tebakan? Kamu membohongiku!”
Miori menatapku dengan pahit. Dia kemudian berubah menjadi duduk bersila di tempat tidurku dan tersenyum ceria.
Kalau dipikir-pikir, cerita itu terdengar seperti apa yang terjadi antara aku dan Tatsuya sekarang... Aku ingin tahu apakah dia merasakan apa yang kurasakan.
“Dilihat dari raut wajahmu, kamu melakukan sesuatu, kan?” Dia bertanya.
Sialan! Sial, aku gak bisa menentang tuduhannya.
“Seperti yang aku katakan, aku mengerti bahwa kamu gak ingin mengacaukannya. Mungkin itu kesalahan yang memalukan. Tapi aku sudah lama mengenalmu. Aku tahu seperti apa dirimu sebelum debut SMA mu. Aku tahu sisimu yang gak keren dan menyedihkan - aku bahkan tahu kamu payah saat ngobrol. Aku tahu segalanya! Tentu saja aku juga tahu bahwa rencanamu gak akan berhasil pertama kali.” Kata Miori sambil menggulir foto-foto diriku yang menjijikkan di ponselnya.
“Jadi kamu gak perlu bersikap jantan denganku.” Jelasnya. “Kamu gak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya.”
Keringat keluar dari mataku karena alasan yang aneh. Aku menolak untuk mengakui bahwa itu adalah air mata, jadi aku menyalahkan hujan deras tadi.
***