***
Selama minggu penuh sebelum ujian, kami semua akan bertemu setiap hari di ruang kelas kosong untuk belajar dengan giat dan bersama. Aku sudah menyelesaikan semua soal latihan, jadi aku gak punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan selain mengajari Uta. Di akhir pekan, dia sudah mencapai titik di mana dia tidak akan gagal dalam mata pelajaran apapun, dan aku merasa lega dengan kemajuannya.
Sejauh yang aku tahu dari ekspresi Reita, Tatsuya dalam kondisi yang baik. Terutama mengalami kesulitan dengan matematika, musuh bebuyutannya. Selama seminggu ini, Nanase dan aku sibuk mengajar Tatsuya, tetapi dengan cepat terlihat bahwa dia akan berada dalama masalah besar saat mengikuti ujian pada tingkat pemahamannya saat ini.
Saat kami semua meninggalkan sekolah dalam kegelapan di hari Jumat, hari terakhir belajar kelompok kami sepulang sekolah, Tatsuya menggenggam kedua tangannya dan berkata dengan kepala tertunduk. “Teman-teman, tolong! Bantu aku belajar di akhir pekan juga!”
Melihat Tatsuya yang biasanya percaya diri menundukkan kepalanya seperti itu sangat mengejutkan sehingga kami semua terdiam. “Tindakan putus asa, ya?” Kataku.
“Yah, kau tahu.” Dia ragu-ragu. “Ini seperti, semakin banyak aku belajar, semakin aku sadar bahwa aku dalam masalah. Apa kau mengerti?”
“Ya, aku mengerti. Ketika kau gak tahu apa-apa, kau tidak tahu seberapa banyak yang kau gak tahu.” kataku. Ah wow, itu terdengar filosofis!
“Aku gak masalah kalau gagal, tapi itu cerita yang berbeda jika aku gak bisa latihan.” Tatsuya berhenti.”Aku akan mulai lebih memperhatikan di kelas mulai sekarang, tapi tolong bantu aku kali ini!”
“Aku hampir gak lulus juga. Kumohon teman-teman! Tatsu akan membelikan semua orang jus!” Uta juga memohon.
“Hei! Apa kamu gak akan membelikannya juga?” jawab Tatsuya.
“Oh, yah, uh, akhir-akhir ini aku sering keluar jadi aku gak ada uang…” Dia menjawab dengan malu-malu.
“Belajar sendiri sana, sialan!” Tatsuya memarahinya. Kami semua berbagi tatapan dan kemudian tertawa dengan keras melihat pemandangan itu.
“Baiklah. Kita memiliki dua hari tersisa. Siapa yang mau? Ayo kita ketemuan di suatu tempat.” Aku menyarankan. “Aku gak butuh jus atau apapun. Kalian harus meminumnya; kalian akan membutuhkan gula untuk otak kalian.” Tentu saja aku akan membantu teman-temanku ketika mereka dalam kesulitan. Aku memiliki pengetahuan dari kehidupan pertamaku, dan ini adalah cara terbaik untuk menggunakannya. Pikirku.
“Itu Natsu kita!” Uta bersemangat. “Kamu sangat baik!”
“Gak, gak juga. Tapi kita berteman, kan?” Kataku. Aku gak butuh kompensasi. Teman saling membantu. Yah, setidaknya aku rasa mereka melakukannya. Aku gak pernah punya teman sedekat ini, tapi aku akan senang jika kami semua cukup dekat untuk merasa seperti itu. Pikirku.
Utah menatapku. “Natsu, terkadang kamu mengatakan beberapa hal memalukan dengan wajah serius, kamu tahu?”
“Eh? Benarkah?” tanyaku, mulai merasa malu. Tapi itulah yang kupikirkan tentang kalian. Meskipun tampaknya mereka memikirkan ku dengan cara yang sama. “Ma-maf. Apakah itu mengerikan?” Aku meminta maaf, menjadi depresi.
“Enggak.” Uta menggelengkan kepalanya dan kemudian mendekatkannya ke kepalaku. Dia berbisik manis tepat di telingaku. “Menurutku bagian dari dirimu itu sangat keren.”
Tersentak oleh kata-katanya, otakku kehilangan koneksi sesaat. Saat aku tersesat, Uta sudah kembali ke yang lain. Dia memeluk Hoshimiya dari belakang dan bergabung dengan percakapan mereka. Sepertinya dia sudah lupa apa yang dia bisikkan di telingaku.
Aku berharap dia akan berhenti bercanda dan mempermainkan hatiku seperti itu… Apakah dia semacam iblis? Aku berpikir tentang kemungkinan bahwa Uta adalah tipe gadis suka bermain-main dan menggoda orang lain.
Tatsuya muncul di belakangku dan merangkul bahuku. “Kalian berdua dekat akhir-akhir ini.”
“Bukankah dia terlihat seperti itu karena aku mengajarinya?” Jawabku. Siapa tahu? Aku gak tahu apa yang sedang terjadi, jadi aku memberi Tatsuya jawaban yang meyakinkan.
“Hei, apa kau suka Uta?” Dia bertanya dengan nada rendah.
“Hah?! Gak sama sekali, kawan. Gak sama sekali!” Jawabku, berusaha menjaga nada dan keterkejutanku di level yang sama.
“Apa? Itu gak asik. Jadi kau suka Hoshimiya? Atau itu Nanase?” Katanya.
Aku bingung bagaimana menanggapinya. Tatsuya dan aku adalah teman. Dan aku selalu ingin berbicara tentang pacar dengan teman-temanku. Aku mengakuinya. Aku memutuskan akan lebih baik untuk memperjelasnya, jadi dengan ragu-ragu aku berbisik. “Aku suka Hoshimiya.”
“Oho? Begitu ya; aku mengerti.” Tatsuya tersenyum lebar sambil mengelus dagunya.
“Baiklah, bagaimana denganmu, Tatsuya?” tanyaku.
Dia berhenti. “Aku? Hm, bagaimana menurutmu?” Dia menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Hmm.” Aku berpikir sejenak tentang perilaku Tatsuya terhadap para gadis. Itu gak mungkin Uta - mereka bertengkar seperti kucing dan anjing sepanjang waktu. Sepertinya dia juga gak menyukai Hoshimiya atau Nanase. Dia berbicara dengan mereka seperti yang dilakukan orang lain. Gagal berpikir dengan kesimpulan. Aku hanya menjawab. “Aku gak tahu.”
“Kan? Jadi katakanlah saja itu jawabannya.”
“Apa? Hei, aku bilang siapa yang aku suka. Itu kurang menarik!”
“Hei, kau sebenarnya menyukai seseorang, jadi kau gak bisa menahannya.”
Uta tiba-tiba muncul entah dari mana, menyela obrolan ringan kami. “Apa yang kalian bicarakan?”
“Oh, itu rahasia.” Kataku. Aku gak ingin semua orang tahu bahwa aku menyukai Hoshimiya karena aku gak ingin ada yang memberitahunya. Bagaimana jika dia mulai menghindariku? Aku benci itu. Memang, aku gak akan sanggup menahannya! Itu akan menjadi bentuk yang mengerikan untuk kehidupan sekolahku.
“Apaaaaa? Kenapa rahasia?!” Dia berteriak.
“Maaf, Uta. Ini terlalu cepat untukmu. Kita membicarakan hal-hal dewasa.” Tatsuya melindungiku. Sepertinya dia mengerti kesulitanku.
“Hal-hal dewasa?” Uta memikirkan artinya, mengalihkan pandangannya, lalu bertanya dengan malu-malu. “Oh, apakah kalian berbicara hal kotor?”
Aku terkejut dengan kesimpulannya dan mencoba menyangkal tuduhan itu dengan panik, tetapi Tatsuya berbicara lebih dulu. “Ya, itu benar. Terlalu cepat bagi anak kecil sepertimu untuk mendengarnya.”
“Si-siapa anak kecil?! Maksudku, tentu saja aku lebih pendek, tapi…” jawab Uta tanpa basa-basi lagi.
“Whoa, apa menurutmu itu karena tinggi badanmu?” Tatsuya meledeknya.
Aku dengan gugup melihat Tatsuya mengejek Uta. Dia menatapnya, tetapi ekspresinya perlahan berubah menjadi kesal ketika dia menyadari apa yang dia maksud.
Uta memeluk dirinya sendiri dan berteriak. “Mesum! Aku satu-satunya yang bisa mengatakan hal-hal seperti itu!”
“Salahku. Pokoknya, itulah yang aku dan Natsuya bicarakan. Sekarang pergi sana.” Tatsuya mendorongnya seperti sedang mengusir binatang.
Uta menatapnya lalu menatapku, dengan wajah merah, lalu dia berlari bersama Hoshimiya dan teman-temannya yang berjalan di depan. Aku merasa seperti terjebak dalam perselisihan… pikirku.
“Yah, jika aku harus membuat daftar, itu adalah Hoshimiya, Nanase, dan papan setrika yang gak bisa disentuh- Uta. Benar kawan?” Tatsuya bertanya.
“Ya. Gak, tunggu, hei…” Aku mendapati diriku mengatakan Ya, tetapi kemudian mencoba menariknya kembali.
“Idiot, tentu saja kita akan membicarakannya. Kita laki-laki! Benar kan, Reita?”
“Nanase punya sendiri. Sekilas dia terlihat rata-rata karena tubuhnya yang ramping pada, tapi menurutku dia adalah tipe yang terlihat kurus. Dan tentu saja, Hoshimiya luar biasa.” Reita menambahkan dua poinnya dengan wajah datar.
Aku gak tahu kapan, tapi dia meninggalkan Hoshimiya dan Nanase di depan untuk bergabung dengan kami. Masuk akal. Jalanan gak terlalu besar untuk kami semua berjalan berdampingan, jadi kami harus berbicara dalam kelompok maksimal dua atau tiga orang- bentar, itu gak penting. Apa yang dia katakan dengan wajah datar itu?
“Hmm? Natsuki, apakah kau gak tertarik dengan hal-hal seperti itu?” Reita bertanya.
“Gak, gak, gak, yahh iya, tapi…” Aku berhenti, gak yakin harus berkata apa.
“Oi, Natsuki, bisakah aku memberitahu Reita?” Tatsuya bertanya.
Memberitahunya? Aku bertanya-tanya sejenak dan kemudian menyadari bahwa dia berbicara tentang Hoshimiya yang kusukai. Aku berpikir sejenak dan lalu berkata. “Selama kau gak memberi tahu gadis-gadis itu. Kau gak akan memberitahunya, kan?”
“Percayalah. Jangan khawatir, kawan.” Kata Tatsuya.
“Aku tahu apa yang dibicarakan gadis-gadis itu. Jangan khawatir.” Reita meyakinkanku. “Aku sudah menutup bibirku. Meskipun aku gak paham Tatsuya.”
“Aku terikat jika Tatsuya gak bisa menjaga rahasia.” Gumamku.
“Dengar, Reita. Ni orang mengincar dada besar Hoshimiya.”
“Benarkah? Begitu yaa. Pasangan itu adalah impian semua cowok, jadi aku mengerti perasaanmu.” Kata Reita.
“Teman-teman, aku menyukai Hoshimiya bukan karena payudaranya, kalian tahu.” Saat aku mencoba membela diri, aku merasakan tatapan dingin dan keras pada kami.
Gadis-gadis yang berjalan di depan kami menatap kami dengan mata dingin. Kami berbicara dengan pelan, jadi gak mungkin mereka mendengar kami. Oh, aku yakin Uta memberitahu mereka tentang apa yang diklaim Tatsuya sebagai topik pembicaraan kami.
Hoshimiya menggembungkan pipinya dan membelakangi kami dengan cemberut. “Mereka seharusnya tidak membicarakan hal-hal seperti itu!”
“Jangan salahkan cowok-cowok. Hikari besar, siapa yang tidak tertarik pada mereka? Aku memikirkan hal yang sama tentang mereka.” Kata Nanase.
“Yuino-chan?! Bisakah kamu enggak mengatakan hal-hal gak senonoh seperti itu tanpa rasa malu?!” Hoshimiya menegurnya, terkejut.
“A-a-aku… aku minum susu setiap hari, oke?!” Teriak Uta.
Tatsuya, Reita, dan aku bertukar pandang dan tersenyum. Aku gak percaya karena Tatsuya membuatku ke dalam kesalahpahaman ini, tapi aku akan melupakannya karena ini terasa seperti pengalaman masa muda. Aku juga ingin membangun stamina untuk berbicara kotor dengan para cowok. Aku gak memiliki pengalaman berbagi hal-hal itu dengan teman-temanku, jadi rasanya memalukan untuk berbicara tentang cewek dengan mereka.
***
Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Aku membuka pintu Cafe Mares dan bel berbunyi menandakan aku masuk.
“Oh, kamu di sini. Semua orang sudah datang.” Kata Kirishima sambil berjalan dan menunjuk ke kursi di belakang kafe. Aku melihat ke arah itu ketika Uta memperhatikan ku dan mulai melambai dengan liar ke arahku.
Kami sudah menghabiskan beberapa waktu untuk mendiskusikan di mana tempat terbaik untuk belajar. Lokasi yang mungkin adalah rumah seseorang, restoran keluarga, dan perpustakaan, tapi pada akhirnya, aku telah memutuskan bahwa Cafe Mares adalah yang paling ideal.
Lima orang masuk ke rumah seseorang untuk sesi belajar, itu terasa seperti ruang kosong. Sebuah restoran keluarga di akhir pekan mungkin penuh dan mungkin gak akan ada cukup kursi, dan kami gak bisa berbicara dengan bebas di perpustakaan. Dan karena Nanase dan aku bekerja di Cafe Mares, kami pikir itu akan sempurna karena kami bisa memesan tempat duduk terlebih dahulu.
Aku sudah memberitahu manajer tentang ide itu terlebih dahulu, dan dia dengan senang hati memberi kami izin. Tampaknya, itu gak terlalu sibuk selama musim ujian karena siswa gak datang untuk belajar. “Pastikan saja kau memesan minuman.” Dia berkata sambil tersenyum.
Aku pergi ke tempat yang lain duduk. Hmm? Bukankah terlalu banyak orang?
“Yo, Natsuki. Kau terlambat.” Tatsuya menyapaku sambil memutar pensil.
“Maaf. Kereta berhenti ketika- Tunggu, kenapa kamu di sini?” Aku menghentikan penjelasanku.
“Ada apa? Bukankah seharusnya aku ada di sini?” Miori tertawa dan tersenyum jahat. Dia begitu sering muncul saat ini sehingga aku bertanya-tanya apakah takdir yang kejam sedang bermain. “Itu kebetulan. Aku juga datang untuk belajar. Kan?”
Miori dan gadis pirang dengan tindikan yang pernah bersamanya saat lihat-lihat klub sedang duduk di meja disebelah Tatsuya dan temannya, Si pirang memberiku sapaan lesu. “Ya, ya. Moiri, kamu punya banyak teman, ya?”
“Dia dari SMP yang sama denganku, dan sayangnya aku gak bisa menghindarinya.” Jawab Miori.
Selama obrolan mereka, aku duduk di meja kami. Kursi yang tersedia hanya di sisi jendela- tepat di antara Uta dan Miori, yang duduk di meja kami. Apakah mereka mencoba untuk mengawasi kami atau apa?
“Natsu, kamu teman masa kecil Miorin, kan? Itu sebabnya kami menyisakan kursi ini untukmu!” Kata Uta dengan tangan disilangkan dengan bangga.
Ah, terserah! Dan juga kau sudah memberikan nama panggilan yang aneh untuk Miori. Pikirku. “Yah, itu gak perlu.”
“Kenapa?!” Jawabnya, terkejut.
Serius, aku gak ingin ada hubungannya dengan Miori saat orang-orang ini ada. Aku gak peduli seberapa banyak dia membantuku; itu memalukan baginya untuk melihatku sekarang ketika dia bisa membandingkan ku dengan diriku yang dulu.
“Hm?” Miori mengeluh dengan suara nakal.
Lihat?! Dia selalu memilikiku di dalam penglihatannya. Biarkan aku bernafas! Aku mengabaikan tatapannya dan membuka buku catatanku. “Uta, aku merangkum poin-poin penting yang akan ada di ujian dan soal yang mungkin perlu kamu pahami di sini.”
“Huh?! Apa? Itu luar biasa!” Mata Uta melebar saat dia membolak-balik buku catatan.
“Benar, kan? Aku melakukannya tadi malam. Meskipun aku gak banyak tidur.” Aku menguap saat aku berbicara.
Menulis catatan-catatan itu pada dasarnya adalah mengapa aku terlambat dan sangat lelah hari ini. Setelah mengajarinya selama seminggu penuh, aku mulai memahami dengan baik apa kelemahan Uta dari ujian yang akan datang, jadi aku menuliskan semuanya dengan cara yang mudah dimengerti. Aku begitu tenggelam dalam pekerjaanku sehingga di saat aku menyadarinya, jam sudah lewat jam 2 pagi.
Hoshimiya dan Reita melihat buku catatan itu dengan penuh minat. “Bisakah aku melihatnya?” Keduanya bertanya.
“Ya, tentu saja. Aku berencana memberikannya kepada Uta.” Kataku.
“Eh? Benarkah?!” Seru Uta.
“Ya. Catatan itu dibuat khusus untukmu.”
Hoshimiya dan Reita membolak-balik buku catatanku.
“Woah… Ini bagus. Ini benar-benar mudah dimengerti.” Kata Hoshimiya.
“Benarkah? Kau gak bisa menulis ini kecuali kau memahami materi pelajaran dengan baik.” Kata Reita.
Mereka berdua memberikan pujian, tapi aku hanya menggaruk kepalaku. Pujian membuatku bahagia, tetapi aku gak tahu bagaimana harus bereaksi. Apa yang bisa kukatakan? Dalam hidupku, aku belum banyak disanjung atau dipuji. Hahaha…
“Apakah ada satu yang dibuat untukku?” Hoshimiya bertanya.
Aku mengguncang pikiran gelapku untuk menjawabnya. “Haruskah aku membuatnya?” Aku mengatakan itu, tapi aku rasa aku gak diharuskan, aku menganggapnya sebagai perhatian. Hoshimiya pandai bahasa Jepang dan Inggris, tetapi buruk dalam matematika dan fisika. Itu layak untuk seseorang di klub sastra, tetapi masih memiliki dasar sains dan matematika.
“Ahaha, hanya bercanda. Itu akan menghabiskan banyak waktumu. Natsuki-kun, kapan kamu akan belajar jika kamu melakukan lebih banyak?”
“Ya, itu benar. Tanganku sudah penuh untuk mengurus Uta.” kataku.
Mendengar itu, Uta menjadi tertekan dan bergumam. “Maaf… terimakasih.”
Itu seharusnya menjadi lelucon, tapi sepertinya aku menyentuh titik sensitif. Kurasa dia khawatir bahwa dia telah mengambil waktu belajarku. Aku biasa membuat buku catatan itu sepanjang waktu ketika aku menjadi tutor, jadi tidak butuh waktu lama bagiku.
“Aku lebih baik memberikan hasil yang baik setelah semua usaha yang telah kamu lakukan untukku, Natsu!” Uta mengepalkan tinjunya di depan dadanya, mengeluarkan teriakan tekad, lalu pergi belajar.
“Apakah kamu sepandai ini saat SMP?” Miori bertanya padaku dengan suara rendah.
“Diam! Aku berusaha sangat keras untuk lulus ujian masuk.” Aku bergumam kembali.
“Benarkah? Cukup bagimu bisa mengajar orang lain, ya?” Miori bertanya. “Aku mengerti; Aku mengerti.”
Ragu-ragu. “Ada masalah?”
“Gak juga. Aku hanya berpikir itu menarik.”
Kami berdua saling bergumam agar tidak mengganggu yang lain. Namun, Reita berkomentar dengan senyum masam. “Ya kalian dekat, ya?”
Miori menjauhkan wajahnya. Hei, jangan mendorong wajah orang dengan tanganmu!
“Gak mungkin! Tapi apa kamu tahu, aku ingin lebih dekat denganmu, Reita-kun. Oh, benar! Aku gak mengerti bagian ini di sini. Maukah kamu menjelaskannya padaku jika kamu punya waktu?” Miori memindahkan kursinya lebih dekat Reita, yang ada di depanku.
Aku terkesan dengan betapa proaktifnya dia! Dia mengetakan dengan baik bahwa dia ingin lebih dekat dengannya. Pikirku. Miori bertanya kepada Reita tentang masalah yang seharusnya gak dia mengerti sementara bahunya menempel.
“Bukankah kamu seharusnya pintar?” Kataku. Apakah dia selalu masuk sepuluh besar saat SMP?
“Hmm? Yah, aku rasa aku lebih pintar darimu.” jawabnya.
“Apa kamu benar-benar tidak mengerti pertanyaan itu?” Aku melihat soal yang dia minta bantuan, dan sepertinya soal matematika biasa. Memang, itu sekilas terlihat rumit, tetapi sebenarnya itu adalah masalah sederhana yang bisa diselesaikan dengan menerapkan rumus yang tepat. Tidak ada yang menantang tentang hal itu.
“Ehh, tentu saja aku gak mengerti. Untuk apa lagi aku bertanya?” Jawab Miori, tapi tekanan luar biasa yang dia pancarkan memberikan sesuatu yang berbeda. “Tanyakan lagi padaku, dan aku akan membunuhmu.”
Aku memutuskan akan lebih baik untuk tidak melanjutkan topik itu lebih lanjut. Untungnya-atau mungkin karena nasib buruk-Reita sedang sibuk menyelesaikan masalah yang ada, jadi dia tidak memperhatikan pembicaraan kami.
Miori sedang berbicara dengan kelompokku, jadi aku merasa kasihan dengan si pirang yang datang bersamanya. Aku melihat ke samping untuk menemukan bahwa dia sedang belajar, bertentangan dengan apa yang kau asumsikan berdasarkan penampilannya. Sepertinya sulit untuk berbicara dengannya sekarang. Aku bisa mengerti kenapa Miori bergaul dengan kami… Ya, yah, itu lebih karena Reita.
“Aku sangat menghargainya, Reita-kun. Terimakasih banyak!” Miori mengucapkan terimakasih dengan senyum dan lalu kembali ke posisi semula.
Dia tampak sangat bahagia dengan dirinya sendiri sehingga aku tidak bisa tahan untuk bertanya. “Hei, apakah semua itu hanya kebetulan?”
“Berisik! Itu kebetulan. Aku gak tahu kalian disini.” Dia berbisik.
“Ya, kurasa kamu gak tahu ini.”
“Terserah, apakah kamu tidak akan membantuku? Lakukan sesuatu agar aku bisa berbicara lebih banyak dengan Reita-kun.”
“Bukankah akan lebih cepat bagimu untuk memulai percakapan daripada rencana pendekatan aneh yang kubuat?”
“Dia akan pergi jika aku melakukan semuanya.”
“Terlambat untuk itu! Kamu sudah melakukan semuanya.”
“Mangkanya. Itu sebabnya aku menyuruhmu untuk melakukan sesuatu agar aku bisa bergabung.”
“Itu permintaan yang gak masuk akal.” Aku mengeluh. Bagaimana kau menanyakan hal itu kepada seseorang yang baru saja debut di SMA?
“Hei, Natsuki, bisakah aku minta waktu sebentar?” Reita memanggilku dengan tatapan serius-
Berbicara seperti iblis atau sesuatu. Pikirku. Jadi aku bertanya. “Ada apa?”
“Yah, kamu tahu lah. Aku tidak yakin bagaimana mengatakannya.” Reita berjuang untuk mengeluarkan pikirannya.
Aneh rasanya melihat Reita gak bisa berbicara. Ini berbeda, pikirku.
Dia melanjutkan setelah dia memikirkannya. “Kurasa aku gak pandai mengajari orang.”
“Oh, yah, sulit untuk mengatakannya.” Aku mencoba meyakinkannya.
“Berdasarkan jawaban itu, kurasa kamu juga berpikir begitu.” Rieta menghela nafas. Dia terlihat sangat kesal karena itu.
Aku mendengar sedikit penjelasannya ketika dia mencoba mengajari Tatsuya. Aku gak akan berbohong, tetapi itu gak mudah untuk dipahami, dan jelas gak terlalu mudah bagi pemula. Reita gak menjelaskan masalah yang dia ajarkan pada Miori bagaimana cara menyelesaikannya. Dia dengan cepat mengetahuinya sendiri tanpa banyak penjelasan. Yah Miori baik-baik saja karena dia tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya. Menurutku, Reita adalah seorang jenius. Dia memiliki perasaan intuitif untuk mencari bagaimana menyelesaikan sesuatu. Dia sangat pintar, yang hebat dari dia, tapi ...
“Serius, aku gak mengerti apa yang Tatsuya gak mengerti. Apa yang membuatmu bingung? Semuanya terlihat mudah. Aku tahu dia jenius, tapi aku gak pernah berpikir itu akan menjadi perbedaan yang sangat besar... Perbedaan antara kecerdasan Tatsuya dan kecerdasanku sangat besar sehingga aku gak bisa membantunya.” Kata Reita.
“Apakah kau harus mengatakannya seperti itu?!” Keluh Tatsuya, kagum pada betapa mudahnya Reita melemparkan kesalahan padanya sambil mengkhawatirkan kelemahannya.
“Sialan! Kenapa aku sangat pintar?!” Reita berteriak frustasi.
“Oh, suhsss! Lihat saja bajingan itu yang takut sukses.” Kataku.
Hoshimiya tertawa. “Itulah sisi lain dari Reita-kun. Menyenangkan untuk dilihat!” Kata-katanya menenangkan ketegangan suasana.
“Dia tampan dan bisa dipercaya.” Bisik Miori. “Aku ingin menjadikannya milikku! Tolong, satu untuk dibawa…”
Aku pura-pura gak mendengarnya. Apa yang mau kau ambil?
“Ngomong-ngomong, itu sebabnya aku minta maaf menanyakan ini padamu, tapi Natsuki, jika menurutmu Uta baik-baik saja, bisakah kau membantu Tatsuya juga?” Reita bertanya.
Dia mungkin gak bisa bertanya pada Nanase karena dia sangat fokus dengan pelajarannya. Pensilnya tidak berhenti bergerak sehingga dia bisa memasuki percakapan kami. Dia memiliki konsentrasi yang luar biasa.
“Tentu, tidak masalah bagiku. Serius, aku punya waktu.” Aku sudah mempelajari semua mata pelajaran di rumah, jadi itu benar-benar bukan masalah. Meskipun, aku gak percaya aku buruk dalam mengajar… Itu adalah kelemahan tak terduga yang datang dari seseorang yang sesempurna seperti Reita.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku. Aku akan meneruskannya ke Miori, pikirku. “Baiklah, ayo pindah tempat duduk, Reita.”
“Hmm? Oh, benar. Apapun yang terbaik bagimu.” Reita setuju.
Akan lebih mudah mengajari Tatsuya jika aku duduk di sisinya. Juga, dengan begitu Reita akan duduk di sebelah Miori, dan akan lebih mudah baginya untuk berbicara dengannya.
Miori menatapku, memberiku "Bagus" diam-diam dengan matanya.
Aku tersenyum dan bersiap untuk berdiri, tapi Tatsuya menghentikanku. “Aku baik-baik saja, Natsuki. Reita sudah banyak membantuku. Aku akan bertahan dengan sisanya dari sini. Tentu, itu gak mudah untuk dipahami, tetapi aku gak akan mengeluh ketika dia meluangkan waktu untuk mengajariku.” Dia hanya berkata dan kembali belajar.
Apakah dia mempertimbangkan Reita? Tatsuya terlihat bertekad untuk berusaha keras sendiri, jadi aku duduk. Uh-oh, Miori gakk senang! Tapi apa lagi yang harus dilakukan? Reita dan aku bertukar pandang dan tersenyum satu sama lain sebelum kembali ke belajar kami.
Setelah beberapa saat, Uta menyampaikan. “Aku mau ke toilet!” Dan dia meninggalkan tempat duduknya. Ketika dia melakukannya, Miori mendekat ke arahku dan berbisik di telingaku. “Hei, hei.”
Menanyakan apa yang dia inginkan, aku menoleh untuk melihat bahwa dia sedang memperhatikan Uta pergi.
“Apa kamu tahu? Akhir-akhir ini, yang dibicarakan Uta hanyalah kamu.” Miori berbisik pelan agar gak ada orang lain yang bisa mendengarnya.
“Oh benar, kalian berdua ada di tim basket putri.” Jawabku.
“Yup, kami juga berjalan pulang bersama setelah latihan. Aku merasa seperti itu memberikan getaran yang berbeda akhir-akhir ini, kamu tahu. Mungkin dia menjadi gadis yang sedang jatuh cinta. Aku gak tahu trik apa yang kamu buat untuk melakukannya!”
“Berhentilah bercanda denganku.”
“Tapi aku gak lagi bercanda denganmu.”
Kami sudah bergaul, tapi aku gak ingat melakukan apapun untuk membuat seseorang jatuh cinta padaku… Gak, gak mungkin, tapi Uta adalah tipe orang yang dekat dengan orang. Miori melebihkan hal-hal di luar proporsinya! Dia hanya berbicara omong kosong. "Mungkin dia berubah menjadi gadis yang sedang jatuh cinta," itu gak masalah. Itu sama gak bisa dipercaya seperti ketika sebuah perusahaan menanggapi lamaranmu dengan, "Kami akan menghubungi anda setelah kami meninjau lamaran anda."
“Aku hanya mengatakan ini, sebagai sesama rekan, kamu dan Uta akan menjadi sesuatu yang besar jika kamu bergerak sekarang. Apa yang akan kamu lakukan? Bukankah Uta suka denganmu?” Bisikan Miori menggoda seperti nyanyian siren.
Aku terdiam. Sakura Uta imut. Dia pasti salah satu dari lima gadis tercantik di kelas kami. Dia sadar diri tentang tinggi badannya dan tubuhnya yang kekanak-kanakan, tapi menurutku itulah yang menggemaskan darinya. Selain itu, kepribadiannya yang energik dan lincah layak untuk ditonton. Aku yakin dia akan senang jika kita berkencan.
“Natsu?” Uta menyebut namaku, menyadarkanku dari ilusiku.
Aku sedikit terkejut ketika orang yang dimaksud muncul. “A-apa, Uta? Kamu kembali.”
“Kamu banyak bicara dengan Miori. Apa yang kalian bicarakan?” Jawab Uta, sedikit lebih pendiam dari biasanya. Nada bicaranya lebih tenang dari biasanya.
Apa yang harus aku katakan? Aku gak bisa memberitahunya apa yang sedang kami bicarakan. Gak, mungkin, aku bisa? Aku memutuskan untuk jujur. “Err, kami sedang membicarakanmu, Uta.”
“A-aku?”
“Ya. Aku bertanya-tanya seperti apa kamu selama latihan.” Kataku. Aku bisa melihat dari sebelahku bahwa Miori mengacungkan jempol untuk beberapa alasan, tapi aku mengabaikannya.
Saat aku mengatakan itu, Uta berhenti cemberut dan berbalik. “Hmm, begitu. Jadi tentang itu. Gak masalah.”
Wajah ekspresif Uta selalu mudah dibaca, tapi aku gak tahu saat dia memalingkan muka, pikirku. Untuk saat ini, aku kembali ke mode mengajar dan bertanya. “Oke, kamu butuh bantuan apa?”
“Ah, benar. Di Sini. Kamu menulisnya di buku catatanmu, tapi…”
Setelah Uta menunjukkan padaku soal-soal fisika yang membuatnya kesulitan, aku mulai menjelaskannya padanya. Fakta bahwa dia dapat menyelesaikannya sejauh ini menunjukkan bahwa dia benar-benar memahami dasar-dasarnya. Itu cukup baik, mengingat di mana itu seminggu yang lalu. Jika dia sejauh ini dengan fisika-mata pelajaran yang paling tidak disukainya-maka aku yakin gak ada yang perlu aku khawatirkan.
***