***
Aku bisa dengan jelas mendengar suara hujan saat aku mengeluarkan isi hatiku. Setelah aku selesai bercerita, keheningan berat menyelimuti ruangan itu sebentar. Miori dengan cepat berdiri, tetapi bahkan ini bisa menjadi masalah besar baginya untuk diselesaikan. Maksudku, lihat betapa aku sangat menderita karenanya!
Setelah beberapa saat, Miori memecahkan kesunyian dan bergumam. “Aku mengerti. Jadi itu yang terjadi.” Dia berdiri tanpa aba-aba. “Kamu benar-benar orang paling idiot!”
Dia melempar bantal ke arahku dengan keras, pandanganku sedikit kabur. Oww, hidungku!
“Aku diam dan mendengarkan, tapi ada batas seberapa bodohnya dirimu...”
“Hei! Aku mengerti ini salahku, tapi kenapa kamu-“
“Salah! Gak ada gunanya kamu murung seperti ini adalah akhir dunia!” Miori menghentikanku dan mengarahkan jarinya ke hidungku.
Aku menatapnya, terdiam. “Hah?”
“Jangan beri aku ‘hah’! Ayolah, ini salah Tatsuya gak peduli bagaimana kamu melihatnya. Terserah dirimu - dan gak ada orang lain - bagaimana kamu memutuskan untuk bertindak atau dengan gadis-gadis yang berteman denganmu!”
“Ta-tapi akar masalahnya adalah aku...” kataku lemah.
Miori menghela napas. “Aku gak percaya ini aku karena kamu terlihat tertekan.” Dia memberitahuku tanpa ampun. “Dengar. Kamu gak melakukan kesalahan apapun, jadi angkat kepalamu dengan percaya diri! Setidaknya berhenti terlihat begitu menyesal. Dan kamu juga gak perlu meminta maaf! Malahan, jangan berani-berani minta maaf padanya!”
Bagian pertama dari omelannya menyembuhkan sesuatu yang juga dikatakan Reita. Mereka mungkin benar, tapi itu tak mengubah fakta bahwa Tatsuya menjauhkan diri dari kami. Gak ada kegembiraan atau kesenangan di masa depan tanpa dia, jadi aku ingin melakukan sesuatu, pikirku.
“Natsuki, kamu sangat baik.” Miori melanjutkan, benar-benar tanpa henti. “Bagian dari dirimu itu selalu sama. Tapi cuma itu! Tatsuya-kun akan merasa lebih sengsara jika kamu meminta maaf.”
Aku hendak bertanya mengapa, tapi gak jadi. Jika itu Tatsuya, menerima permintaan maaf terasa yang terbaik dari semuanya. Aku akan menjadi yang bersalah karna orang lain tidak melakukan kesalahan apapun. Aku akan tersiksa dengan penyesalan karena membuat mereka meminta maaf kepadaku.
“Apa yang harus kulakukan?” Aku bertanya setelah omelannya sekesai. “Kamu tahu, semuanya sudah dikatakan dan dilakukan.”
Masih belum ada solusi setelah menilai kembali situasinya. Aku gak bisa melakukan apa-apa. Aku bahkan gak tahu bagaimana harus bertindak sekarang. Sambil memikirkan masalahnya, peringatan Miori sebelumnya muncul di benakku.
“Hei, bentar. Bukankah kamu mengatakan sesuatu tentang ini? Kamu memperingatkanku bahwa ada masalah dengan rencanaku.”
“Ya, tapi aku gak berpikir inilah yang akan terjadi ketika aku mengatakan itu.” Jawab Miori. Dia menyentuh bibirnya sambil berpikir. “Meskipun, itu gak keluar dari pendatan. Sepertinya kamu bersenang-senang dengan penampilanmu. Apakah kamu benar-benar senang dengan keadaan yang tetap seperti itu?”
Aku merenung saat mendengarkannya. Memang benar aku selalu dengan sengaja menghitung setiap tindakan dengan hati-hati dan kewaspadaan terbaik. Harus kuakui! Mereka pasti akan membenciku jika aku menunjukkan diriku yang sebenarnya, seperti terakhir kali…
“Aku bisa melihat seberapa keras kamu berusaha. Aku sudah lama mengenalmu, jadi tentu saja aku bisa melihatnya. Sejujurnya, kamu berusaha sangat keras sehingga gak seorang pun kecuali aku yang tahu. Apa yang aku katakan adalah kamu gak memiliki titik lemah.”
Aku mulai belajar bagaimana melepaskan persepsi diriku dan mempertimbangkan bagaimana orang lain melihatku.
“Jangan salah paham, itu ada pesonanya, tetapi menjadi terlalu sempurna membuat orang sulit untuk dekat denganmu. Bahkan jika itu berbeda jauh darimu yang sebenarnya. Aku yakin Tatsuya-kun menganggapmu manusia super!”
Nah, apa yang harus kulakukan?! Aku berpikir sebelum mengakui dengan enggan. “Kurasa aku gak bisa mengubah hal lain tentang diriku. Aku sudah melakukan segalanya untuk mempertahankan citraku.”
Miori menatapku saat dia mempertimbangkan jawabanku. “Aku baru saja membuat rencana untuk memperbaikinya. Yah, itu terlalu mudah bahkan untuk menyebutnya sebuah rencana.”
“Benarkah?” tanyaku. Aku gak punya ide lain, jadi aku siap untuk terjun ke apapun yang terlintas dalam pikirannya. “Aku mohon, Miori. Tolong bantu!”
Aku berpikir jika itu berasal dari Miori - seseorang yang terkadang mengenalku lebih baik daripada diriku sendiri - mungkin masih ada harapan.
“Mudah. Tunjukkan saja seperti apa dirimu yang sebenarnya.”
Miori mengatakannya dengan lemah, begitu lembut, siapapun bisa memahaminya, tapi aku membeku, mencoba mencerna apa yang dimaksudkannya.
Itu diluar pertanyaan, pikirku. Karena aku yang sebenarnya adalah seorang penyendiri! Aku pembicara yang buruk, aku pemalu, aku gak memiliki sedikit pun keberanian untuk berbicara dengan orang lain- aku mengabaikan Miori karena iri meskipun aku benci sendirian! Aku seorang remaja yang gak berguna dari dunia kelabu. Tak ada satu orang pun di planet ini yang menyukai orang sepertiku. Itu sebabnya aku berusaha untuk berubah.
“Dengarkan baik-baik. Aku menyukaimu.” Miori tiba-tiba mengaku.
Aku berpikir dia sedang menggodaku, tetapi tatapan serius di matanya menyangkal hal itu.
“Aku menyukaimu saat kamu berusaha keras untuk berubah, tapi aku juga suka kamu yang sebenarnya.” Miori berbicara perlahan, seolah ingin membujukku. Itu memungkinkan setiap kata menembus langsung ke hatiku.
Aku bisa merasakan pipiku memerah. Mungkin dia menyadari rasa maluku karena dia secara bertahap menjadi merah juga dan mengalihkan pandangannya.
Setelah momen langka, kata Miori. “Tapi jangan salah paham. Maksudku sebagai teman. Paham? Intinya adalah, kamu gak perlu menyembunyikan apapun dariku! Katakan apa yang kamu mau!”
Aku ragu-ragu sebelum berkata dengan malu-malu. “Benarkah? Benar-benar bisa?”
“Ayolah. Natsuki, kelima orang itu adalah temanmu, kan?” Tanyanya.
Aku mengangguk. Setidaknya aku rasa mereka adalah temanku.
“Bisakah kamu benar-benar menyebut seseorang sebagai temanmu ketika kamu gak membiarkan dindingmu atau jujur dengan mereka?”
Aku gak tahu harus berkata apa. Aku gak tahu jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Namun, aku tahu apa yang dimaksud Miori persis seperti yang dia lakukan sekarang.
“Bisakah hubungan yang kamu miliki dengan orang lain benar-benar membawamu saat ini ke masa muda penuh warna yang kamu cari?” Tanyanya.
Aku benar mempertanyakan diriku sendiri. Seperti yang dia katakan. Meskipun jika aku setuju dengannya, aku akan merasa seperti menyerahkan semua upaya yang kulakukan untuk berubah. Aku takut dengan apa yang akan aku katakan, tetapi aku tetap bertanya. “Lalu apa kamu akan mengatakan semua usaha yang aku lakukan untuk berubah adalah membuang-buang waktu?”
Apa yang harus aku lakukan jika dia mengatakan ya? Aku penasaran. Bagaimana aku bisa melanjutkan jika usahaku ditolak? Keraguan tetap ada dalam benakku, membuatku stres.
“Aku gak akan mengatakan itu. Lihat dirimu sekarang! Kamu sudah membuat beberapa teman baik” Jawab Miori. “Tapi berubah dan bersembunyi adalah dua hal yang berbeda. Aku gak mengatakan ini hal yang buruk untuk disembunyikan, tetapi aku rasa kalo semuanya terus berlanjut, teman-temanmu akan merasakan dinding yang memisahkanmu dari mereka.”
“Apakah itu alasan Tatsuya-kun menjauhkan diri darimu?” Miori melanjutkan, menunjuk ke hidungku. “Tentu, aku akan berada di sana untuk menunjukkan apa yang buruk tentang dirimu yang sebenarnya. Jadi jangan takut, dan jujurlah pada mereka!” Dia berkata dengan bangga.
Aku gak tahu apakah itu langkah yang tepat, pikirku, tapi teman masa kecilku berkata begitu, dan dia sangat mengenalku. Mungkin aku bisa mengalami masa muda yang penuh warna itu jika kau menjagaku, pikirku. Aku memutuskan untuk percaya padanya.
Aku akhirnya mengakui Miori sebagai mitraku dalam Masa Mudaku Yang Penuh Warna.
Ok, aku akan melakukannya. Aku akan menjelaskannya pada mereka.
Gak peduli seberapa menakutkannya itu - aku akan melakukannya agar kami menjadi teman baik.
***
Ketika aku tiba di sekolah di hari Senin berikutnya, aku segera pergi ke meja Tatsuya dan berdiri di depannya dengan kehadiran yang begitu besar sehingga dia bahkan gak bisa mengabaikanku.
Tatsuya menatapku dan bertanya. “Apa maumu, Natsuki?”
“Bisakah kita bicara?” Aku menggerakkan jariku ke arah pintu untuk menunjukkan bahwa kami harus keluar dari kelas.
Dia terdiam. Aku menganggap itu sebagai ya dan keluar dari kelas tanpa sepatah katapun. Tatsuya tampak bingung sesaat, tapi dia tetap mengikutiku.
Aku merasa teman-teman sekelas kami memperhatikan kami saat kami meninggalkan kelas; Aku bisa mengerti kenapa. Kelompok pertemanan kami sudah menonjol di kelas, dan anggota kami yang paling menonjol, Tatsuya, tiba-tiba berdiri. Itu telah menjadi pembicaraan. Sekarang kami akhirnya berbicara, tentu saja itu akan menimbulkan keributan. Mata Hoshimiya dan teman-temannya ada di antara mereka yang melihat.
Baik atau buruk, kami berdua sangat menonjol. Aku membawa Tatsuya ke atap saat kami akan melakukan ngobrol pribadi yang gak bisa dilakukan di ruang kelas atau lorong. Di atap itu hanya di luar jangkauan. Karena kuncinya rusak, gak ada yang bisa naik ke sana. Banyak siswa yang ke sana bahkan untuk makan siang.
Seharusnya gak ada orang di sana sekarang. Pikirku. Tatsuya dengan patuh mengikutiku di tangga. Aku membuka pintu yang rusak, berjalan ke pagar tembatas, dan berbalik.
Mata kami bertemu. Tatsuya tampak tak nyaman.
“Apa maksudnya ini?” dia bertanya padaku.
“Aku gak perlu menjelaskannya padamu. Bukankah kau teman kami?” Tanyaku langsung.
Tatsuya memalingkan muka dan ragu-ragu. “Sudah kubilang padamu. Tinggalkan aku sendiri.”
“Sampai kapan? Ini sudah seminggu.”
“Kalian mungkin lebih baik tanpa ada orang sepertiku. Jadi jangan khawatir tentang itu.”
“Kenapa kau berpikir begitu? Ini mungkin gak terlalu berarti bagimu, tapi menurutku itu gak sepenuhnya benar.”
“Tentu saja gak, aku gak berpikir begitu. Tapi hanya itu yang ada di pikiranku akhir-akhir ini. Aku jauh lebih pengecut dari yang kukira.” Tatsuya berkata dengan pahit. Gelombang energi Tatsuya yang luar biasa gak terlihat. Dia tampak sangat menyedihkan.
Dia terus menjelaskan. “Aku sudah tahu. Aku iri padamu. Perasaan itu begitu kuat bahkan berubah menjadi sesuatu yang lebih dari rasa iri. Aku gak ingin merasa seperti itu tentang temanku, jadi aku harus menjauh darimu.”
Aku menarik napas, menjernihkan keraguanku, lalu aku bertanya. “Apakah ini karena Uta dan aku dekat?” Lagipula, apa lagi yang bisa kulakukan selain melanjutkan semuanya?
“Jadi kau sudah tahu.” Dia menjawab setelah jeda.
“Gak. Reita memberitahuku tentang itu.” Aku menjawab dengan jujur.
“Begitu. Ya, itu benar. Itu adalah cinta tak terbalas. Aku menyukainya sejak SMP.” Wajah Tatsuya memerah. Dia berjalan disampingku, menyandarkan bahunya di pagar, dan melihat pemandangan. “Aku terkejut aku bisa begitu cemburu. Aku gak bisa memikirkan cara untuk mengambil kembali perasaan Uta karena itu. Aku gak bisa menang dalam hal apapun ketika kau adalah lawanku. Satu-satunya hal yang aku kuasai adalah bola basket… dan kau dengan mudah mengalahkanku meskipun aku sudah mengerahkan segalanya.”
Aku ingin memberitahunya bahwa itu bukanlah kemenangan yang mudah, tapi mendengarnya dariku gak akan meyakinkan Tatsuya. Selain itu, aku mungkin akan menang setiap saat jika kami bermain. Itulah perbedaan besar di antara kita.
“Kau tahu, Tatsuya-“
“Jangan minta maaf.” Katanya, mengetahui jawabanku selanjutnya. “Aku yang salah di sini. Gak ada yang harus kau tanggung, jadi jangan minta maaf.” Dengan itu, Tatsuya puas dengan pembicaraan kami dan mulai berjalan kembali ke pintu. “Cukup omong kosong ini. Ayo kembali ke kelas.”
“Oi, Tatsuya.” Kataku lagi.
“Apa lagi yang kau mau?” Dia berbalik, bingung.
“Kau pikir aku akan meminta maaf? Jangan bercanda, tolol. Aku datang ke sini untuk memberimu sedikit isi pikiranku.” Kataku.
Dia tampak terkejut. “Hah?”
Aku memutuskan untuk jujur, jadi aku akan memberitahunya apa yang sebenarnya aku pikirkan, lakukan! Maksudku, ayolah, jika aku memikirkannya dengan tenang, aku gak perlu meminta maaf. Dia iri padaku karena aku begitu sempurna. Benar-benar omong kosong… Oke, yah, aku juga iri pada orang lain karena alasan bodoh. Terserahlah! Aku mengerti mengapa Miori menyebutku idiot. Kau dan aku, Tatsuya, adalah pasangan idiot.
“Kau terus menyebut dirimu pengecut dan semacamnya, tapi kau hanya idiot.”
Dengan ragu dia bertanya. “Apa maksudnya? Tentu, karna aku di matamu-“
“Kau pasti buta. Gunakan otakmu; gak mungkin ada manusia yang sempurna.” Kataku sambil menunjuk jariku ke arahnya.
“Tapi itu benar.” Tatsuya menjawab, kurang jujur.
“Ya. Mungkin benar dari sudut pandangmu, aku gak mengerti kenapa kau menganggapku begitu. Jadi dengar dan pikirkan untuk pertama kalinya! Aku sudah menahan sejak upacara masuk. Aku sudah memikirkan setiap gerakan dengan gugup, gak peduli seberapa kecil itu. Tentu saja kau akan menganggapku sempurna.”
“Kau gugup?” Tatsuya menatapku dengan ragu. “Berhentilah bercanda.”
“Aku gak bercanda. Aku sudah berusaha keras; tetapi itu tak terlihat. Gak ada alasan bagimu untuk iri dariku.” Dia menatapku. “Jangan lari dariku, Tatsuya. Hadapi aku secara langsung.”
“Aku gak percaya satu kata pun yang kau katakan. Aku gak melihat itu di dalam dirimu. Semua yang kau lakukan terlihat semudah bernapas. Sial, bahkan ekspresi santai di wajahmu juga berteriak ‘Aku bahkan gak berkeringat’!”
“Itu kalimatku, bajingan populer! kau berteman dengan semua orang dengan mudah, dan kau menjalani masa mudamu tanpa peduli dengan dunia. Ketika aku mencoba, aku merasa energi mentalku terkuras.”
“Hah?”
Percakapan berlanjut dan aku merasa kesal. Kenapa cowok idaman populer sepertimu merasa iri padaku? Jika ada yang harus iri, itu aku!
“Aku akan memberitahumu, Tatsuta, jadi perhatikan. Aku akan menghancurkan semua ilusi yang kau miliki tentangku.” Dipenuhi kesombongan, aku mengarahkan jariku ke arahnya.
Ketika aku membayangkan apa yang akan dia katakan, aku sudah bisa merasakan pipiku memerah. Tapi aku telah memutuskan untuk jujur. Aku gak peduli apakah itu harus dibayar dengan rasa malu.
“Namaku Haibara Natsuki! Aku seorang otaku suram dan ansos sebelum debut SMA ku! Senang bertemu denganmu lagi!”
Kata-kata menyedihkan itu terasa seperti lahar panas saat aku berusaha terlihat hebat. Tatsuya tampak terkejut. Yang bisa dia katakan hanyalah “Hah.”
Yuo, aku tahu itu akan terjadi. Pikirku.
“Aku gak berbohong. Jika kau ingin bukti, inilah penampilanku saat SMP!” Aku memperlihatkan ponselku pada Tatsuya. Ada diriku di layar untuk melihat foto diriku yang dulu, penuh lemak dan berkacamata, seperti wujud stereotip pecundang di kelas. Aku sangat menjijikkan, aku ingin nangis!
“Bwahaha! Ada masalah dengan ini?!” Aku menambahkan dengan agresif.
Tentu, aku sedang dalam mood yang buruk, tapi biarin begitu! Rahasia yang aku sembunyikan sejak awal tahun ajaran telah terungkap oleh tanganku sendiri. Kau bahkan bisa mengatakan itu adalah diriku yang sebenarnya.
“Uh, enggak, aku enggak...” Kata Tatsuya sambil melihat ponselku. “Apa itu benar-benar kau?”
“Apa kau pikir aku berbohong? Perhatikan baik-baik bahwa itu memiliki wajah yang sama.”
Tatsuya melihat ponsel. “Sungguh? Apa? Ya?” Lalu dia mulai melihat-lihat foto-fotoku, memperlihatkan koleksi gadis-gadis 2D ku.
“Idiot! Berhenti melihat waifuku tanpa izin!” Aku marah padanya.
“Aku gak mempercayaimu, tapi setelah melihat semua ini, aku percaya sekarang.” Tatsuta akhirnya mengakuinya.
“Jangan menganggap semua otaku sebagai pecundang. Itu gak benar akhir-akhir ini.”
“Hei, kau gak pernah mengatakan kalo kau menyukai hal-hal otaku.”
“Sudah kubilang aku berhati-hati…” Aku membuang muka. “Karena aku ingin terlihat keren.”
Menjelaskan bahwa aku telah memakai topeng membunuhku- aku ulangi- Ini membunuhku! Hukuman macam apa ini?! Aku sudah melakukan semuanya untuk si bebal ini. Astaga, aku mulai kesal! Kau pasti bercanda.
Untuk pertama kalinya hari ini, Tatsuya tersenyum- penuh semangat. “Kaulah yang menyembunyikannya, bukankah itu berarti kaulah yang menganggap otaku pecundang?”
“Diam kau! Jangan mulai memasuki ke dalam hati yang dalam dari pikiran otaku yang suram!”
Tapi, mungkin dia benar. Aku secara alami menyukai novel ringan dan anime karena aku sendirian. Dan aku telah menyembunyikan hobiku karena aku gak berpikir seseorang di kelompok itu akan menyukainya, tetapi itu hanya alasan. Alasan sebenarnya kenapa aku menyembunyikannya adalah karena aku melihatnya sebagai hobi pecundang, meskipun ada banyak murid populer yang menyebut diri mereka otaku!
“Oho. Itu hobimu? Dan itu kau. Huh.” Tatsuya berkata sambil terus melihat-lihat foto-fotoku, bahkan setelah aku menyuruhnya berhenti. “Apa yang terjadi pada otaku yang menyedihkan ini menjadi dirimu yang sekarang? Apa yang kau lakukan?”
“Diam! Wajahku selalu bagus. Teman masa kecilku akan menjamin bahwa itu adalah aku. Aku terlihat seperti itu karena aku gemuk, dan aku gak peduli dengan penampilanku. Itu saja. Aku berolahraga sepanjang liburan musim semi!”
“Semua untuk debut SMA mu?” dia bertanya.
“Itu benar. Aku mengagumi orang-orang sepertimu.”
“Kau mengagumiku?” Tatsuya menatapku. Wajah bahagianya membuatku kesal.
“Itulah yang kukatakan padamu selama ini.” Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya dan melihat. “Yang iri itu aku. Kembalikan padaku! Memiliki seseorang yang aku kagumi iri padaku seperti seember air dingin, jadi berhentilah! Semua gerakan yang aku lakukan adalah menjadi cowok populer sepertimu dan Reita.”
“Yah, kalimat gila yang kau katakan itu benar-benar ansos.”
“Berhentilah menghinaku di setiap kesempatan hanya karena kau tahu tentang debut SMA ku!” Aku berteriak marah.
Tatsuya menghela nafas berlebihan. “Wow, kamu sungguh menyebalkan.”
“Kau yang menyebalkan! Aku gak ingin mendengar itu darimu! Kau membuatku melakukan ini karena kau pecundang! Hentikan omong kosong itu dan ayo kita kembali!” Aku menatap matanya. “Mereka menunggu kita.”
Aku bisa melihat keraguan dalam ekspresi Tatsuya. Dia benar-benar cowok yang tampan. Aku berpikir dan lalu aku menekannya. “Jangan lari, Tatsuya. Jika kau sangat menyukai Uta, maka curi dia. Apa kau malu takut sama penipu sepertiku? Akulah yang takut denganmu!”
Apa yang aku katakan? Aku hampir tak mengerti apa yang keluar dari mulutku sendiri. Ini terlalu berlebihan! Tapi aku gak biarkan semuanya begitu saja. Aku akhirnya berbicara dengan hati. “Uta gak akan pernah melihatmu jika kau terus melarikan diri. Kau gak akan pernah mengalahkanku jika kau terus seperti ini!”
“Aku gak suka caramu meremehkanku. Sangat menjengkelkan mendengarnya dari murid baru SMA.”
“Menurutmu begituuu? Upsss, benar.” Kataku. “Kau benar. Maaf soal itu.”
“Apa kau secara perasaan gak stabil?!” Kata Tatsuya.
“Diam! Aku harus membocorkan perasaanku yang sebenarnya, jadi aku gak tahu bagaimana harus bertindak sekarang!”
“Jadi kau hanya akting.” Katanya dengan heran.
“Yup, itu benar! Gak sepertimu, gak ada yang menyukaiku yang dulu, jadi aku melakukan apa yang harus kulakukan! Inilah aku pada akhirnya; Aku jauh dari sempurna! Jadi berhentilah menyebalkan dan lari dari orang sepertiku!” Aku berteriak.
“Kau gak bertingkah seperti Tatsuya yang aku harapkan.” kataku.
Angin bertiup di atap, mengenai rambut pendek Tatsuya kesana kemari. “Ya, baiklah.” Katanya lalu ragu-ragu. “Apa yang harus aku katakan pada mereka? Aku gak bisa kembali tanpa penjelasan.”
“Penjelasannya terserah kau. Katakan saja pada mereka, ‘Aku benar-benar menyukai Uta-chan, tapi akhir-akhir ini dia semakin dekat dengan Natsui-kun, jadi aku buta karena cemburu. Terlebih lagi, aku gak bisa mengalahkannya dalam hal apapun, jadi aku kabur seperti bocah yang paling menyedihkan!’” Aku mencibir.
“Apa kau harus mengatakannya seperti itu?!” Jawabnya.
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya!”
“Aku gak ingin mendengar ‘kebenaran’ darimu! Baiklah, itu adalah kebenaran! Tapi aku gak ingin orang lain mendengarnya! Aku juga gak ingin Uta mengetahuinya!”
“Tsk. Sungguh pengecut. Itu sebabnya cintamu bertepuk sebelah tangan sampai sekarang. Aku kecewa.”
“Hei! Bahkan jika itu benar, bukankah menurutmu kau terlalu kejam?!”
“Kau tahu, dulu aku takut padamu, tapi sekarang aku tahu kau tak perlu ditakuti.” Aku mengangkat bahu dan mulai berjalan kembali ke kelas. “Ayo. cepat.”
Sudah hampir waktunya untuk kelas pagi kami dimulai, dan aku gak berniat melewatkannya untuk bocah seperti dia.
“Sialan... apa yang terjadi?” Tatsuya menggeram sambil mengikutiku.
Sepertinya kau gak perlu khawatir lagi. Aku bertanya-tanya bagaimana dia akan menjelaskan ceritanya kepada yang lain, pikirku sambil tersenyum saat membuka pintu.
“Ah, hei?!”
“A-apaaaa?!”
“Hikari?! Hei, jangan tarik!”
Ketiga gadis itu berteriak dan jatuh ke lantai seperti kartu domino dengan BRUK yang keras!
Hah? Apa-apaan ini? Otakku berhenti bekerja. Aku melakukan dua kali lipat - bukan tiga kali lipat. Gak peduli berapa kali aku melihat, ketiganya di lantai pastilah Uta, Hoshimiya, dan Nanase. Oh, ayolah! Kau juga, Nanase?!
Aku melihat ke luar pintu lagi untuk menemukan Reita berdiri di sana dengan senyum masam. “Aku mencoba menghentikan mereka, kau tahu, tetapi mereka benar-benar ingin mendengarkan.” Jelasnya.
Kesadaran perlahan datang. Dengan cara mereka bertiga jatuh, hanya bisa diasumsikan bahwa mereka bersandar di pintu - agar mereka bisa mendengar apa yang terjadi di sini di atap. Begitulah yang terjadi.
Sekarang roda gigi di kepalaku berputar, akhirnya aku berbicara. “Itu berarti kalian mendengar pembicaraan kami?”
“Ya…” Mereka semua mengaku bersalah. Yang paling tak nyaman adalah ekspresi Uta.
Aku menoleh untuk melihat Tatsuya, yang terlihat lebih kaget dariku. Aku pernah mendengar bahwa orang menjadi tenang ketika mereka melihat seseorang yang lebih gelisah daripada mereka, dan itu tampaknya benar.
“U-um, kami mendengar semuanya. Maaf sudah menguping!” Uta tampak tak yakin apa yang harus dilakukan, tetapi memulai dengan permintaan maaf.
Aku belum pernah melihatnya begitu sedih. Kurasa itu karena masalah yang rumit. Pikirku.
Uta, sedikit tersipu, menatap Tatsuya dan berkata. “Um, yah, maafkan aku? Tatsu… A-aku hanya bisa melihatmu sebagai teman.”
Uh, dia kesini hanya untuk memberikan pukulan terakhir?! Bahkan aku, yang secara sosial gak kompeten, terkejut oleh oportunismenya yang mengerikan. Tapi sekarang bukan waktunya untuk menyesal! Aku dengan gugup melihat ke arah Tatsuya. Aku tahu dia akan segera menyerah.
“He-hei! Tatsuya! Sadarlah!” Aku meraih bahunya dan mengguncangnya, tetapi kepalanya terayun-ayun tak bernyawa. Dia bahkan tak merasa untuk melawan dirinya.
“Hehehehe…” Tatsuya tersenyum lesu. “Aku gak peduli lagi...”
Oh tidak, apa yang terjadi dengan ini bocah! Aku menyerahkan Tatsuya yang mematung ke Reita dan berbisik ke Uta. “Apa-apaan itu? Tepat ketika aku akhirnya mendapatkannya kembali!”
“Oh, uh, maafkan aku! Aku sangat terkejut kalau itu keluar!”
Dia hanya bisa melihat Tatsuya menerima kerusakan ekstra dari kata-kata ceroboh Uta. “Kamu berisik sekali!” Aku memarahinya.
“Aaah, maaf! Er, aku minta maaf, yaa, Tatsu? Tapi, uh, bagaimana aku mengatakannya? Aku… gak pernah memikirkanmu seperti itu sebelumnya, jadi ketika aku mendengarmu mengatakan itu, aku hanya binggung, kamu tahu…Tapi aku menghargai perasaanmu.” Dia tergagap.
“Uta, jangan katakan lagi. Tatsuya sudah gak tahan lagi.” Reita membungkamnya dengan ekspresi masam.
“Aku penasaran apa yang terjadi, tapi ini semua untuk sesuatu yang sangat sepele.” Kata Nanase sambil menghela nafas. Tatsuya semakin hancur.
“Yu-Yuino-chan, kamu seharusnya tidak mengatakannya seperti itu.” Kata Hoshimiya dengan malu-malu.
“Benarkah? Jika aku berada di posisi mereka, aku akan sangat membencinya jika semua orang membuat keraguan di sekitarku.” Nanase tersenyum dan menoleh ke arahku. “Bukankah itu benar, Tuan Debut SMA?”
Ya… aku mengerti, jadi itulah yang dia maksud. Beginilah jadinya sekarang setelah semua orang mendengarnya! Ya-yah, aku menyemangati diriku untuk kata-kata itu ketika aku memutuskan untuk memberitahu Tatsuya!
Mataku melayang dan menemukan mata Hoshimiya. Dia menatapku dengan canggung dan dengan senyum samar dia bertanya. “Uh uh, bukankah seharusnya kita membicarakannya?”
Tertunduk, bahuku merosot dan aku berhasil memjawab. “Gak, gak masalah. Aku berpikir untuk memberitahu semua orang pada akhirnya.”
Nanase mendekatiku dengan senyum penuh curiga yang terlihat jelas di wajahnya. “Kalau begitu aku ingin melihat foto yang kamu tunjukkan pada Naigura-kun sekarang.”
Dia melihat ponselku, jadi aku menyembunyikannya di belakang punggungku dengan panik. Menunjukkan diriku yang dulu terlalu berlebihan bagiku. Aku menunjukkannya pada Tatsuya karena dia adalah temanku, tapi menunjukkannya pada cewek akan lebih dari yang bisa diterima hatiku!
“A-aku ingin melihat juga!” Kata Hoshimiya, menambahkan pendapatnya ke yang lain. Dia bersiul dengan polos, tapi mencuri pandang ke ponselku.
“Kamu juga, Hoshimiya?!” seruku. Aku gak bisa menunjukkannya kepada orang yang aku sukai, gak!
Saat aku melarikan diri dari gadis-gadis itu, aku melihat Tatsuya sedikit pulih. Dia berdiri sendiri, berbicara dengan muram, dan berkata. “Gak ada yang perlu ditakuti lagi.”
Sepertinya dia telah kehilangan banyak kepribadian aslinya. Ya, dia melempar omong kosong kearahku, tapi wajahnya terlihat sangat buruk, pikirku. Uta dan Reita melihat perubahan kepribadian Tatsuya dengan mata khawatir.
Tatsuya menatapku dan menyatakan. “Natsuki, aku gak akan pernah memaafkanmu!”
“Hei, bukankah ini semua salahmu sejak awal! Apa kau harus menyeretku bersamamu?!” Jawabku.
“Kau menabur apa yang kau tanam.”
“Bukankah itu kalimatku?!”
Reita menengahi antara Tatsuya dan aku. “Oke, oke, ayo kita berhenti di sini!”
Aku melihat jam dan itu seperti yang dikatakan Reita - kami hanya punya waktu beberapa menit sebelum kami harus kembali. Jika kami gak mulai berlari sekarang, kami akan terlambat masuk. Kami semua menjadi panik. Gak bisa mengatasi pemikiran untuk terlambat, Nanase adalah yang pertama menuruni tangga dengan Reita berlari gak jauh di belakang.
Uta hendak mengikuti mereka, tapi Tatsuya menghentikannya. “Uta.”
Hoshimiya dan aku berada di lantai atas, jadi kami melihat semuanya.
“Hmm? Ada apa?” Uta bertanya.
“Aku gak akan menyerah.” Tatsuya menyatakan dengan serius dan berlari.
Untuk seorang pengecut yang menyimpan cinta bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun, sepertinya kau bisa melakukannya jika kau mencobanya, Tatsuya. Pikirku sendiri.
Uta berdiri terpaku, wajahnya memerah.
Hoshimiya mengeluarkna sedikit kegembiraan, menyebabkan Uta semakin tersipu. Kemudian Hoshimiya bertemu dengan tatapanku dengan bintang di matanya. Aku tahu romansa sangat membuatnya terpesona.
“Enaknya! Rasanya benar-benar seperti cerita kehidupan SMA.” Hoshimiya sangat bersemangat.
Aku merasakan hal yang sama, aku menghela nafas dan mengangkat bahu. “Ya, itu bagus. Ini benar-benar terasa seperti cerita kehidupan SMA.”
Dan yang bersemangat. Kurasa memang benar pelangi setelah hujan itu indah, pikirku.