Chapter 1 - Minase.
Aku ingat ketika aku masih kecil aku
selalu ingin menjadi seorang dewasa, tapi sekarang aku, ternyata sangat
membosankan dan rumit.
Singkatnya, aku tidak bangga menjadi
orang dewasa.
Aku berpendapat bahwa orang dewasa
adalah bentuk evolusi dari anak-anak, di mana semua
statistiknya secara keseluruhan akan meningkat, tetapi itu tidak benar sama
sekali. Sekarang aku pikir hal terbaik adalah menjadi anak-anak, karena kau
dapat menolak melakukan hal-hal yang tidak bau sukai, karena kau tidak
menetapkan tujuan atau keputusan, karena kau tidak harus memenuhi harapan dari
orang lain.
Hal yang sama berlaku untuk berteman.
Andai saja aku murni dan polos seperti
anak-anak, mungkin hubungan ku dengannya akan lebih sehat.
Aku bisa menjadi seseorang yang merasa bangga
dan dengan itu kami bisa membangun hubungan yang indah di mana kami berdua akan
menjaga jarak yang tepat dan mengeluh tentang bos kami, bermain game bersama,
dan menonton film yang ingin kami tonton berdua.
Lalu kita bisa menikah, hidup bahagia
dan saling mencintai selamanya.
Bagaimana aku berharap memiliki
hubungan seperti itu dengannya.
♦♦♦
Jika aku tidak terburu-buru, aku tidak
akan bisa mendapatkan apa pun untuk makan siang.
Dengan mengingat hal itu, aku mulai
membeli makan siangku, setidaknya seminggu sekali di foodstand.
Di gedung tempat perusahaan tempatku bekerja,
beberapa foodstand diatur dengan benar untuk makan siang, yaitu pada siang
hari, dan karena beberapa perusahaan beroperasi di gedung yang sama, pakaian
orang-orang yang mengantri ke toko makan beragam.
Di barisan, beberapa orang mengenakan
pakaian olahraga dua potong yang terlalu ketat. Sekilas, orang mungkin
mengira itu adalah kebijakan pelecehan dari perusahaan olahraga tempat mereka
bekerja. Di sisi lain, orang lain mengenakan pakaian elegan, seolah-olah
mereka akan pergi ke restoran untuk makan siang.
Jika kau melihat-lihat, jelas orang-orang
terakhir di barisan itu milik perusahaan yang sama, karena pada kartu kerja
yang digantung di leher mereka, mereka memiliki logo perusahaan yang sama.
Aku juga berada dalam situasi yang
sama, namun, alih-alih pergi ke restoran, aku terlihat seperti pergi 'Hanya ke
toko kecil'.
Saat aku berdiri di ujung barisan
dengan wajah bersemangat karena akan mencicipi sepiring daging sapi panggang
dan nasi, aku merasakan seseorang mendekat dari belakangku. Mungkin itu
seorang wanita.
Keingintahuan membuatku membalikkan
tubuhku sedikit untuk bisa melihat siapa itu, dan kemudian kulitku merinding
dan jantungku hampir berhenti ketika aku menyadari siapa dia.
"Minase?"
"Eh? Fu-fuyu-kun?”
Aku melihat kembali ponselku dan
mengangkat wajahku, tapi Minase masih berdiri di sana.
Dia juga terkejut melihatku, begitu
lama hingga kami berdua langsung melihat kartu kerja masing-masing.
Logo perusahaan konsultan arsitektur
tercetak di kartu kerja Minase. Itu adalah perusahaan yang sama yang aku
dengar pada pertemuan terakhir yang aku hadiri dengan teman-teman klub kampusku
sebelum aku lulus.
"Jadi... perusahaan tempatmu
bekerja juga berlokasi di gedung ini, Minase."
“Kamu juga Fuyu-kun? Aku bahkan
tidak menyadarinya."
“Kami pindah ke gedung ini bulan
April.”
"Ahh! Sekarang aku mengerti
mengapa jumlah orang yang berpakaian santai meningkat dari bulan lalu!"
Meskipun dia tidak senang melihatku
lagi, Minase menunjukkan senyum tulus di wajahnya. Perasaan nostalgia
menyerbu tubuhku, keinginan untuk menangis mengambil alihku dan jelas senyum
halus muncul di wajahku.
Minase mengenakan blus dan di atasnya
ada rompi kotak-kotak, juga rok. Rambut cokelatnya diikat dengan karet
gelang, juga, riasan yang dia kenakan memberi kesan lebih lembut dari
sebelumnya.
Dan ketika aku menghargainya,
giliranku untuk memesan makan siangku datang, jadi aku memutuskan untuk mengundangnya
makan siang.
"Mau makan siang
denganku? Bagaimana kalau kita pergi ke bangku di sana?”
"Oh, maaf, aku sudah membuat
janji makan siang dengan rekan kerja ..."
Lalu, dia mengarahkan pandangannya ke toko
makan yang ada di sebelah kami. Sepertinya rekan kerjanya ada di barisan
itu.
Agar tidak menunjukkan betapa
kecewanya perasaanku, aku mencoba memaksakan senyum yang berarti aku mengerti
situasinya, tapi Minase memberitahuku.
“Tapi karena sudah lama kita tidak
bertemu, bagaimana kalau kita pergi minum? Apakah kamu bebas hari
ini?"
Segera setelah aku mendengar ajakannya
yang tak terduga, aku menjawab dengan: 'Tentu, ayo pergi!', namun, tepat saat
dia akan pergi makan siang.
"Ah, tapi sekarang aku ingat...
hari ini aku harus bekerja lembur. Bagaimana kalau kita pergi lain hari?"
"Baiklah, kalau begitu----“
Dan tentunya, aku berjanji untuk pergi
minum dengan Minase.
Lalu, kami berpisah untuk pergi makan
siang masing-masing.
Aku sangat senang bahkan ketika Minase
melambaikan tangannya untuk mengucapkan selamat tinggal, aku masih tetap
tersenyum.
Di dalam lift, banyak perasaan yang
bercampur dalam tubuhku, seperti senang dan terkejut hingga akhirnya aku
tenang.
Memahami semua ini, aku rasa tidak
benar berpakaian seolah-olah aku akan membeli di toko serba ada jika aku akan
pergi minum dengan mantan pacarku.
♦♦♦
Aku, Fuyu Yamase mengakhiri hubunganku
dengan Minase Ito tiga tahun lalu.
Itu sedikit sebelum musim panas tahun
keempatku saat kuliah.
Kami adalah teman sekelas yang juga
bagian dari klub penelitian fiksi ilmiah dan telah berpacaran selama tiga tahun
sejak musim panas tahun pertamaku di kampus.
Minase adalah simbol hari-hari
kebahagiaanku di kampus, dan terlebih lagi, dia juga orang yang aku sukai
karena dia adalah cinta terindah dan murni dalam hidupku.
Namun, setelah beberapa saat, kami
mati-matian mencari pekerjaan sesuai dengan profesi kami yang berbeda dan
ketika kami mendapatkannya jadwal kami hampir tidak memungkinkan kami untuk
bertemu satu sama lain dan begutulah kami akhirnya kelelahan, jadi kami
akhirnya kami putus. Namun, aku tidak pernah membenci Minase atas semua
yang terjadi, sebaliknya, untuk mencegah hal-hal menjadi lebih buruk, aku
memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Jadi, reuni ajaib ini membuatku sangat
bahagia dan karena aku tidak melihat Minase merasa tidak nyaman, aku harus
berasumsi bahwa dia juga menganggap reuni kami luar biasa.
Sudah tiga tahun sejak Minase dan aku
belum pergi minum sendirian.
Kami berdua berusia dua puluh empat
tahun dan sekarang kami semua sudah dewasa, jadi harapan untuk pertemuan ini
terlalu tinggi.
Meski sejujurnya, aku tidak bisa
menyingkirkan motif tersembunyiku.
Tapi tidak ada yang aneh tentang
beberapa mantan pacar yang pergi minum, jadi tidak apa-apa untuk memiliki
ekspektasi pada pertemuan tersebut.
Dan lalu, aku menunggu Minase di depan
stasiun sambil menyembunyikan keinginanku sementara itu celanaku berusaha
menyembunyikannya.
"Maaf sudah membuatmu menungguku,
Fuyu-kun!"
Minase muncul di tengah kerumunan
mengenakan sweater rajutan tangan putih dengan rok cokelat. Tak perlu
dikatakan, cara dia berpakaian dan warna yang dia pakai jauh lebih dewasa
daripada saat kami berkencan.
“Oh, jadi ayo kita pergi ke restoran
ikan. Aku harus berasumsi bahwa sake mereka enak, bukan?"
"Aku rasa itu akan memenuhi
harapanmu."
“Tolong biarlah begitu
Yamase-kun. Aku memiliki ekspektasi yang tinggi padamu."
"Apa kamu tidak tahu siapa
aku?"
Mungkin karena ini Jumat malam atau
dia masih suka minum, tapi sepertinya Minase sedang bersenang-senang.
Sekarang, jika kita mengesampingkan
pakaian dewasa yang dia kenakan, yah, cara bicaranya tidak berubah sama sekali,
namun, aku harus menunjukkan kepadanya bahwa aku telah berubah.
Untuk saat ini, aku sudah memesan
tempat di restoran paling tenang dan terbaik yang bisa aku temui, tetapi
berbeda dengan itu, kepalaku berada di awan dan tubuhku sangat gugup bahkan aku
terkejut.
"Hmm! Enak sekali!"
Minase telah menggigit daging dan
segera senyum muncul di wajahnya, lalu dia mengangkat gelas sakenya.
Kami berada di sebuah restoran Jepang
di mana kau dapat menikmati ikan segar yang enak disertai dengan sake. Di
sisi lain, meskipun semua kursi sudah penuh, tidak ada yang mengeluh tentang
kebisingan yang dibuat oleh para pengunjung, karena semua orang cukup menikmati
sake pada Jumat malam.
“Kamu tahu restoran ini? Apakah kamu
datang dengan staf perusahaanmu ke tempat ini?
"Itu benar, aku datang dengan
orang-orang dari perusahaan... tapi, lihat, sekarang kamu tahu tempat
ini."
Pertanyaan itu sangat mudah dijawab
karena jika aku tidak datang dengan seseorang dari perusahaan, lalu siapa lagi?
Meskipun ada saat ketika aku datang
dengan seorang gadis yang aku temui melalui aplikasi kencan, tetapi tidak perlu
mengatakan padanya. Aku ingin tahu apakah gadis itu, yang nama belakangnya
bahkan tidak aku ketahui dan kehilangan kontak dengannya, setelah dia membayar
semua makanan mahal yang dia makan malam itu, dia baik-baik saja dalam
hidupnya.
Ahh, hari itu aku adalah seorang
idiot.
“Bagaimana perusahaanmu? Apa yang
kamu lakukan sekarang?"
"Aku asisten manajer dari sebuah
game baru."
Setelah mengungkap tentang game, Minase
berkata dengan suara bersemangat 'Wow!'
“Aku pernah mendengarnya! Itu
muncul di iklan TV, Sungguh luar biasa!
“Yah, tidak juga, karena sebagai
asisten aku harus berkoordinasi dengan semua orang. Itu benar-benar
sesuatu…”
Kenapa aku menceritakan kisah yang
menyedihkan seperti itu padanya?
Tidak ada yang menarik untuk
dikeluhkan tentang pekerjaanku, jadi lebih baik aku tutup mulut dan mengganti
topik pembicaraan.
"Tapi yang lebih penting dari
itu, apakah kamu pernah melihat orang-orang dari klub lagi?"
"Ya, sering. Terkadang aku
bertemu dengan Omii dan Harukucho.”
"Oh, jadi hubungan ketiga
gadis itu tidak berubah."
“Bukan begitu. Apa yang terjadi
adalah kami jarang bertemu satu sama lain karena kita semua rukun dengan pacar kita.”
Pacar!
Aku mencoba untuk tetap tenang saat
kata khusus itu keluar dari mulutnya, tapi tiba-tiba Minase mulai berbicara
lebih cepat.
“Dan kamu, Fuyu-kun? Apa kamu pernah
bertemu seseorang dari klub?” Dia melakukannya lagi.
Dia menyentuh topik itu lagi.
Kenapa dia melakukannya?
"Kami jarang bertemu... tapi
setiap tahun Uchida-san, Ueki-san, dan Yamada-san berkumpul dan melakukan
perjalanan."
"Wow! Terdengar
menyenangkan! Betapa indahnya!" Aku tidak peduli dengan topik
pembicaraan ini.
"Berbicara tentang
Yamada-kun."
Aku tidak tertarik untuk mengetahui
apapun tentang Yamada.
Aku melihat bahwa sekarang kau punya
pacar dan kau merasa bahagia karena itu, bukan?
Berapa banyak orang yang kau kencani
sejak kita putus?
Aku ingin menyentuh topik itu, tetapi aku
tidak dapat menemukan cara untuk melakukannya.
Tidak, hal terakhir yang aku katakan
terdengar buruk.
Apa kau mengajakku keluar hanya karena
kau punya waktu luang malam ini?
Yah, jika dia hanya menganggapku
sebagai teman, itu mungkin tidak masalah.
Tidak, tidak, tidak, aku tidak bisa hanya
berteman, karena aku mantan pacarnya.
Tidak, tidak, tidak, jika aku lengah,
dia mungkin menangkapku dalam 'hanya hubungan fisik' yang terkadang digunakan
wanita.
Pikiran yang didorong oleh naluri
rendahku berputar-putar di kepalaku.
Aku menemukan diriku terganggu dan tidak
bisa mengatakan sepatah katapun.
Aku merasa seperti terjebak di dalam
angin puyuh yang tidak dapat dihentikan dan mataku sangat merah sehingga aku
mencoba mencari cara untuk mengembalikannya menjadi normal.
Hingga, rasa sakit yang tajam menghantamku
secara tak terduga.
"Ah!"
"Ada apa, Fuyu-kun?"
"Maaf, maaf, bukan apa-apa, hanya
saja akhir-akhir ini aku merasakan sakit yang hebat di belakang mataku."
Rasa sakit itu menjalar dari mata ke
otakku dan ini karena aku melihat layar monitor komputer setiap hari.
Ini telah terjadi beberapa kali dalam
seminggu terakhir, tetapi itu tidak menggangguku sampai sekarang, namun,
mendengar apa yang aku katakan, Minase bereaksi secara tidak terduga.
"Apakah kamu baik-baik
saja? Itu karena matamu kelesahan, apakah kamu mengistirahatkan matamu
dengan benar?”
"Jangan khawatir, itu akan
berlalu. Biasanya hilang ketika aku tidur."
“Tapi bukankah berbahaya jika rasa
sakitnya terus menerus? Ambil ini".
Dengan tatapan cemas, Minase memberiku
masker penghangat sekali pakai untuk mataku.
Aku terkejut bahwa dia jauh lebih
khawatir daripada yang aku kira, namun, ketika itu terjadi, aku tiba-tiba
teringat sesuatu.
Apa? Apakah Minase seperti ini
saat kami berkencan?
Apa yang paling dia nikmati saat kami berkencan?
Aku memiliki banyak kenangan khusus
dengannya, tetapi tiba-tiba, satu-satunya hal yang aku ingat saat ini adalah
percakapan tidak berarti yang kami lakukan saat mengobrol di telepon.
Tapi sekarang, kami memiliki
percakapan yang benar dan menyenangkan.
Tanpa diragukan lagi, aku suka sisi
Minase ini.
Juga, aku baru ingat bahwa pada suatu
kesempatan, alih-alih memberiku satu Financiers, pada akhirnya dia memberiku tiga,
meskipun aku tidak begitu yakin itu terjadi.
Meski begitu, yang penting pertemuan
kami saja sudah memunculkan berbagai topik pembicaraan antara dia dan aku.
Selain itu, kisah hubungan bahagia
kami yang berlangsung selama tiga tahun terdiri dari percakapan santai antara
kami berdua.
Tapi kenapa aku jadi bersemangat
sekarang?
Mengapa hanya aku yang memiliki
jantung berdebar kencang?
Aku pasti telah membuat serangkaian
kesalahan sejak kami bertemu lagi, jadi aku harus berubah.
"Ada banyak kasus di mana
penyebab kelelahan mata adalah hasil dari stres."
"Benarkah?"
"Ya, dan itu membuatku
khawatir. Kamu tahu betul bahwa kita sudah lama tidak bertemu. Apakah kamu
benar-benar beristirahat, Fuyu-kun…?”
"Apakah kamu benar-benar
khawatir?"
"Tentu saja. Itu sebabnya aku
bertanya-tanya apakah kamu baik-baik saja, selain itu, penting juga untuk
memiliki seseorang yang dapat kamu keluhkan dan dengan begitu kamu melepaskan
stres.”
Jika dia begitu peduli satu sama lain,
tetapi bagaimana jika itu disalahartikan sebagai lelucin?
Namun, saat aku melihat wajah khawatir
Minase, tiba-tiba aku tidak bisa membantahnya.
Apalagi, sejak kami bertemu lagi,
Minase selalu memiliki ekspresi khawatir di wajahnya.
Karena, menyadari hal itu, kakiku langsung
menyentuh tanah, dan setelah sekian lama aku merasa sangat malu.
Apa yang sedang terjadi?
Kenapa dia bertingkah seperti itu?
Apa yang dia cari?
Apa yang aku pikirkan tentang mantan
pacarku, yang mengkhawatirkanku?
Memalukan! Aku ingin bunuh diri sekarang!
“Ada apa, Fuyu-kun? Apa masih
sakit?"
"Jangan khawatir. Mataku
terasa lebih baik. Aku hanya... Aku sedikit bahagia."
Meskipun aku malu, aku merasakan
perasaan bahagia yang tak terlukiskan.
Minase selalu sangat peka terhadap
emosi orang lain, karena dia bahkan bisa merasakan sakit yang tidak bisa dia
ungkapkan dengan kata-kata.
Seperti biasa, Minase sangat baik.
Meskipun, aku akan merasa jauh lebih baik
jika dia mengatakan kepadaku bahwa ‘Aku tidak punya pacar'.
“Kehidupan seperti apa yang kamu
jalani… jika kamu merasa bahagia hanya untuk diperlakukan dengan sedikit
kebaikan?”
Minase merasa malu dengan menjawabku dengan
bercanda.
“Bukan itu Minase. Aku tidak tahu
bagaimana mengatakannya… tapi aku hanya tahu bahwa aku senang bisa berbicara
denganmu”.
"Mou, jangan mengatakan hal-hal
aneh."
"Berbicara denganmu seperti mendapatkan
angka tujuh dalam permainan kartu."
"Apa? Bagaimana jika kamu mengeluarkan
tujuh? Aku sembilan wajik!”
“Aku tidak lupa bahwa lima tahun lalu kita
diam-diam pergi ke 'Pameran Makhluk Menjijikkan' sendirian. Yah, meskipun
aku menerimanya karena aku ingin berkencan denganmu.”
“Dan begitulah! Itu sebabnya aku
bukan sembilan wajikmu!! Maksudku, kamu selalu menceritakan kisah itu!!”
Tepat ketika suara kami akan naik
sedikit lebih tinggi, kami berdua saling menatap dan menjadi tenang seolah-olah
kami setuju untuk itu dan pada akhirnya, kami akhirnya tertawa satu sama lain
untuk menenangkan suara kami.
“Lalu bagaimana denganmu,
Fuyu-kun? Apakah ada alasan mengapa kamu merasa seperti ini?
"Ya, seperti yang aku katakan
sebelumnya. Menjadi asisten sutradara dari game itu terasa seperti aku
tidur di ranjang jarum… dengan kata lain, aku adalah karung tinju semua orang.”
"Ahhh... tetapi kalau kamu merasa
seperti itu, kamu tidak akan bertahan, kan?"
"Memang benar apa yang kamu katakan. Tim
manajemen dan tim desain hanya memikirkan diri mereka sendiri. Di sisi
lain, atasanku sibuk dengan proyek baru sambil berpura-pura tidak melihatku. Rabu
lalu, setelah bertemu denganku lagi, sutradara memberitahuku: 'Senang
memilikimu sebagai asisten'…”
"Auch, sekarang aku mengerti kenapa
beberapa waktu yang lalu sepertinya kamu akan mati." Setelah itu,
keluhanku tentang pekerjaan terus mengalir seperti bendungan yang jebol.
Sudah cukup lama sejak kami bertemu
lagi, meskipun kami menghadapi ikan yang lezat dan sake yang enak, aku hanya
mengeluh tentang pekerjaankku.
Ini seharusnya tidak terjadi.
Namun, Minase bersikap baik saat dia
mendengarkanku dengan penuh perhatian. Dia bersimpati padaku dan terkadang
mengatakan satu atau dua hal yang baik, menciptakan suasana yang memudahkanku untuk
mengungkapkan keluhanku.
Jadi, saat dia membuatku merasa
nyaman, aku lupa menanyakan apakah dia masih berkencan dengan pacarnya.
Tapi aku jadi berpikir bahwa hubungan
seperti ini yang Minase dan aku miliki saat ini, mungkin yang terbaik.
Anehnya aku tidak lagi peduli apakah
aku tampak hebat atau tidak di depannya.
Mantan pacar, mantan pacar, hal
terbaik adalah kami memiliki persahabatan di mana kami dapat mengatakan semua
yang kami inginkan tanpa takut menyembunyikan sesuatu.
Mengeluh tentang atasan kami, bermain
game bersama, dan menonton film yang ingin kami berdua tonton.
Lalu kita bisa menikah, hidup bahagia
dan saling mencintai selamanya.
Itu adalah hubungan yang selalu aku impikan
dengan Minase.
Tiba-tiba aku terbangun dan ketika aku
membuka mataku bisa melihat langit-langit yang sudah tidak asing lagi, di
tempat tidur yang nyaman ditemani bantal lembut.
Meskipun aku sadar kembali, aku merasa
agak tidak nyaman.
Saat aku berbalik, aku melihat tubuh
yang ada di sebelahku bernapas dengan lembut.
Seperti dulu, Minase ditutupi oleh seprai. Kakinya,
lehernya, dan payudaranya, yang menonjol dari seprai, begitu putih sehingga
seolah-olah akan pecah jika disentuh sedikit saja.
"Ah!"
Segera setelah aku menyaksikan pemandangan
seperti itu, bagian belakang mataku menderita sakit yang luar biasa.
Rasa sakit itu terasa seperti ditusuk,
begitu sakit hingga perasaan itu muncul di otakku.
"Ahhh..."
Minase juga bangun dan segera menutupi
payudaranya dengan seprai dan perlahan melihat sekeliling untuk memastikan apa
yang terjadi. Kemudian dia membuat wajah seolah berkata:
'Oh, Astaga'.
Lalu aku memegangi kepalaku dan
kemudian membenamkan wajahku ke bantal.
Aku tidak bisa lagi melihat wajah
Minase, apalagi menghadapi kenyataan.
Namun, aku berbisik dengan suara
rendah agar tidak terdengar olehnya.
“Kenapa aku melakukan hal bodoh ini…?”
Perasaan yang datang dari lubuk hatiku
adalah penyesalan yang begitu menyedihkan sehingga aku ingin mati sekarang.
Aku yakin Minase dan aku, ini adalah pagi terburuk yang pernah ada.