Chapter 5 - Nostalgia perpisahan.
Enam bulan yang lalu.
Saat sekolah sedang mempersiapkan festival
budaya…
"... Aku tidak punya ibu".
Ruang klub sepulang sekolah.
Shiramori-senpai berkata ketika kami bekerja
sama saat mengedit majalah klub untuk festival sekolah.
Dia mengatakannya dengan sangat santai.
“kamu bilang, ‘Kamu tidak punya’ ?”
“Hmm, tidak juga, bukan cerita yang
suram. Dia hidup dengan normal, dan bahkan sekarang aku sering
melihatnya. Kami hanya tidak tinggal bersama.”
Dia bilang dengan ceria, sampai-sampai
terdengar tidak wajar.
Apa yang memulai masalah ini tentu saja merupakan
percakapan yang khas; ‘Sudah berapa
lama kamu membaca novel?’
Aku menceritakan episode yang cukup khas
yang tidak terlalu menarik, dan sekarang giliran Shiramori-senpai yang mulai
berbicara tentang masa lalunya.
“Ketika aku masih kecil... ketika aku
berumur empat tahun, itu adalah perceraian orang tuaku, kamu tahu? Ayahku merawatku. Aku
tidak tahu apa yang terjadi, tapi… yah, kurasa ada beberapa hal. Sesuatu
yang hanya diketahui oleh dua orang itu.”
Dia berkata dengan lancar.
Seolah-olah itu urusan orang lain.
Seolah membacakan cerita fiksi.
Sekarang aku kembali ke waktu itu... Kupikir
Shiramori-senpai sedikit lelah.
Lelah, lusuh.
Festival budaya tahun lalu membuatnya sangat
terpojok.
Itu adalah kesalahan orang-orang di
sekitarnya, tetapi juga masalah yang berakar pada dirinya sendiri.
Mungkin sekitar waktu itu... Shiramori-senpai
tiba-tiba mulai berbicara tentang masa lalu pribadinya.
Seolah berusaha menggerutu atau membuat
keluhan yang lemah, seolah mencoba menjelaskan dan berkata; “Aku menjadi seperti ini karena keadaan ini
dan itu di masa lalu.”
“Saat ini kami mempertahankan perasaan
keakraban yang biasa, dengan sendirinya aku menanganinya dengan cukup baik,
namun… pada awalnya sulit. Karena aku mencintai ibuku. Setiap malam aku
menangis dan berkata; "Aku ingin melihat ibu, aku ingin melihat
ibu"... Aku benar-benar membuat ayahku kesal."
Dia berkata dengan menyesal... meskipun
menurutku dia tidak perlu meminta maaf.
Aku pikir wajar jika seorang gadis berusia
empat tahun merindukan ibunya. Karena pada akhirnya masalah orang tua
tidak berkaitan bagi seorang anak.
“Pada saat itu ayahku sangat lelah sehingga
mudah untuk diperhatikan, bahkan untuk seorang anak …. Wajar jika aku
begitu, kan? ... Dia harus berurusan dengan semua keributan seperti perceraian
dan hak asuh, dan sekarang dia harus bekerja dan menangani masalahku."
“Tentu
saja”, aku seharusnya mengatakannya, kan?
Sepertinya Senpai bukan satu-satunya yang
mengalami kesulitan.
Ayahnya, yang mulai berjuang sendiri untuk menyeimbangkan
pekerjaan dan merawat putrinya, juga akan kelelahan karena tidak mampu
menghadapi perubahan di lingkungannya.
Kelelahan yang sangat jelas terlihat
sehingga putri kecilnya akan menyadarinya.
"Aku tidak bisa menahan
tangis... Karena ayahku tidak akan marah tidak peduli seberapa banyak aku
menangis… dan dia memiliki ekspresi yang sangat sedih, dan dia selalu meminta
maaf padaku. Itu sebabnya aku menyesalinya… Aku merasa entah bagaimana aku
melakukan sesuatu yang salah.”
Tampaknya gadis yang masih sangat kecil itu
mulai merawat ayahnya yang kelelahan.
Itu mungkin karena kebaikan dan pada saat
yang sama karena perasaan bersalah.
"Aku memutuskan untuk sepatuh mungkin agar
aku tidak akan menyebabkan terlalu banyak masalah untuk ayahku ... itu sebabnya
aku mulai membaca buku."
Kata Shiramori-senpai.
Di tengah pekerjaan pengeditan, dia membelai
majalah klub di tangannya…
“Pada awalnya itu adalah buku bergambar,
tetapi aku segera selesai membacanya, jadi aku memintanya untuk membelikan ku
buku yang secara bertahap menjadi lebih lama dan lebih sulit ... lalu aku
menghabiskan waktu membaca buku sendiri, dan ayahku sering memujiku."
“Kasumi adalah gadis yang penurut dan baik.”
“Kasumi lebih dewasa dari anak-anak lain.”
Sepertinya ayah Shiramori-senpai memujinya
seperti itu.
Aku hanya bisa membayangkan bagaimana
rasanya.
Di tengah hari di mana kau sibuk dengan
pekerjaanmu dan membesarkan putrimu, jika kau memiliki seorang putri yang tidak
mengeluh dan membaca buku dengan patuh ... seorang putri yang alih-alih membuat
keributan mengatakan sesuatu seperti; “Aku ingin pergi bermain” atau “Aku
ingin kamu membawaku ke suatu tempat”, dia menghabiskan waktunya dengan membaca
di kamarnya sendirian dan tanpa membuat keributan.
Aku yakin ayahnya pasti sangat bersyukur.
Dia benar-benar seperti putri yang ideal.
“Aku senang dia memujiku, dan selain itu aku
bisa melihat bagaimana ekspresi ayahku berubah menjadi senang. Aku berpikir; “Ya,
membaca membuat ayahku bahagia” … lalu aku segera membaca lebih banyak
buku. Di kamarku, sendirian, terus-menerus…”
Shiramori-senpai bilang sambil tersenyum,
tapi dia tampak sedikit kesepian.
Ini bukan tentang cerita mana yang lebih
buruk atau lebih menyedihkan.
Mengingat ayahnya yang terlihat sibuk,
putrinya menjadi seorang anak yang membaca buku sendiri.
Sang ayah memuji putrinya yang memanggilnya
gadis yang baik, putrinya berpikir untuk memenuhi harapan dan terima kasih
ayahnya, dan terjun lebih jauh ke dunia buku.
Tidak ada kesalahan di dalam hal itu.
Aku rasa itu adalah cerita yang sangat umum
dari sebuah keluarga.
Tetapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah
tentang hal itu?
“… Oh. Tapi bukan berarti aku
memaksakan diri untuk membaca buku, oke?”
Kemudian, Shiramori-senpai menambahkan
beberapa kata seolah dia sedang mengingatnya.
“Itu hanya dorongan yang aku mulai untuk
membaca buku. Ketika aku mulai membaca buku, aku akhirnya tenggelam ke
dalamnya, jadi aku terus membaca lebih banyak buku. Kalau soal buku,
ayahku akan membelikanku sebanyak yang aku mau... selain itu... aku juga memiliki
beberapa harapan. Ada bagian dari diriku yang bermimpi. Aku berpikir
bahwa jika aku mendengarkan ayahku dan jika aku adalah gadis yang baik… Aku
yakin bahwa ibuku akan kembali suatu hari nanti. Aku percaya bahwa kami
bertiga akan hidup bersama lagi sebagai keluarga yang harmonis… itulah yang aku
impikan.”
“Sungguh konyol, bukan?” Senpai berkata sambil tersenyum.
Dia menunjukkan senyum mengejek diri
sendiri, seolah-olah dia memiliki rasa sakit yang menusuk di dadanya.
“Lalu, kamu bilang Benikawa-san adalah adik
perempuanmu…?”
"Ya. Aku memiliki beberapa
perasaan campur aduk, tetapi dapat diklasifikasikan seperti itu, aku merasa
seperti seorang kakak perempuan. Kazumi-chan adalah adik perempuanku, kami
berbagi darah di dari ibu kami. Setelah dia berpisah dengan ayahku, ibuku
menikah dengan orang lain… dan kemudian hamil Kazumi-chan.”
"...."
“Ibuku, belum setahun sejak perceraiannya
dan dia sudah menikah lagi, dan setelah itu dia hamil, kamu tahu? Maksudku…
jangan menanyakan detailnya, tapi sepertinya alasan perceraiannya adalah
hubungan ibuku dengan orang itu…”
"...."
“Ahahaha. Maaf,
mengatakan semua omong kosong kecil ini.”
"… Tidak."
Shiramori-senpai mengatakannya sambil
mencoba tertawa, tapi itu sama sekali bukan cerita lucu.
Tempat ini… ruang karaoke di depan stasiun.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada
Benikawa-san, kami pergi ke karaoke, seperti yang telah kami rencanakan
sebelumnya.
Mungkin tempat itu padat karena ini hari
libur, jadi kami dibawa ke ruangan yang agak sempit. Luasnya hanya
setengah dari ruangan yang kutempati bersama Ukyou-senpai tempo hari.
Aku sendirian bersama Shiramori-senpai di
ruangan tertutup dan sempit.
Jika itu aku yang biasa, aku akan panik
karena ketegangan dan rasa malu, tapi sekarang aku tidak bisa memikirkan semua
itu.
"Astaga. Walaupun baru pertama
kali karaokean bersama Kuroya-kun, tapi suasananya tidak sampai bernyanyi,
kan? Meski begitu, yah, awalnya kita tidak ingin bernyanyi.”
Mungkin merasa bersalah karena suasananya
menjadi berat, Shiramori-senpai mencoba bersikap ceria seperti biasanya- tidak,
dia melakukannya dengan cara yang bahkan lebih ceria dari biasanya.
“… Benikawa-san.”
“Hmm?”
“Ah, tidak… yah, dengan Benikawa-san, adikmu…
kalian memiliki hubungan yang normal, kan?”
Kazumi Benikawa.
Adik tiri Kasumi Shiramori.
Saat itu adalah waktu festival sekolah, dia
sampai pada titik memberitahuku sesuatu yang sangat pribadi seperti ibunya yang
membangun rumah dengan menikahi orang lain… tapi dia tidak tahu tentang adik perempuannya.
Sulit dipercaya bahwa dia memiliki hubungan
di mana dia bisa berbicara secara normal dengan adik tirinya.
"Aku tidak tahu apakah itu normal atau
tidak, tapi yah, kami akur."
Shiramori-senpai tersenyum canggung.
“Bahkan hari ini aku secara teratur bertemu
dengan ibuku, dan aku juga datang di keluarganya. Itu sebabnya… apakah aku
suka atau tidak, aku bertemu saudara di sana. Akan aneh untuk
menghindarinya, jadi aku mencoba memperlakukannya secara normal… tapi, yah, kamu
tahu, itu masih canggung.”
"...."
“Atau haruskah aku katakan, aku rasa itu
lebih canggung untuk Kazumi-chan daripada aku. Pasti sulit baginya untuk
mengetahui wajah seperti apa yang harus dibuat saat kami bertemu, bukan? Lagipula,
aku adalah putri dari pernikahan ibunya sebelum dia."
Jika dia mengatakannya seperti itu, kurasa
itu sama untuk Shiramori-senpai.
Putri dari
pernikahan kedua ibunya.
Tiba-tiba aku teringat pertemuan mereka
beberapa saat yang lalu.
Jika aku memikirkannya lagi... Aku rasa ada
jeda singkat di antara mereka berdua.
Setelah masing-masing menyadari kehadiran satu
sama lain, untuk sesaat ada keraguan di pihak keduanya.
Itu benar-benar seolah-olah mereka tidak
yakin apakah akan menyapa atau tidak.
“Apa kamu tahu, aku berpikir, ‘Aku yang tertua, itu tugaskku sebagai kakak, aku
harus berusaha untuk rukun’, namun, itu cukup sulit… Bagaimana
mengatakannya, aku bisa merasakan betapa tertutup dan ketakutannya dia, dan
kupikir itu menciptakan jarak yang aneh di antara kami…”
Aku rasa pendiam dan penakut juga berlaku
untuk Shiramori-senpai.
Seolah-olah mereka berdua merasakan
kewajiban satu sama lain, yang membuat mereka berdua bertindak dengan cara yang
tertutup dan takut.
Aku merasa bahwa aku bisa melihat sifat
sebenarnya dari perasaan jarak dan ketegangan yang aneh di antara mereka
berdua.
"... Apakah kamu lega bahwa kamu tidak
bertemu ibumu?"
Tanyaku. Aku akhirnya menguluarkan
pertanyaan itu. Aku tidak tahu seberapa jauh boleh ikut campur, tetapi
sebelum aku menyadarinya, aku sudah membuka mulut.
"Aku mengatakan ini karena dia ada di
tempat itu beberapa saat yang lalu."
"… Hmm. Yah, aku sudah mengatakannya
sebelumnya, itu karena kami akan bertemu bulan depan. Dan kami bertemu
setiap tahun di liburan musim panas.”
"Tapi tetap saja-"
Seolah mencoba menyela kata-kataku,
Shiramori-senpai melanjutkan…
“Juga… hari ini… mentalku belum
siap. Sulit bagiku untuk melihat ibuku, jika aku tidak melakukan membangun
mental terlebih dahulu."
"...."
Aku merasakan angin dingin bertiup menusuk
dadaku.
Persiapan mental?
Membangun mental?
Apakah hal seperti itu diperlukan sebelum kau
melihat ibu kandungmu?
Dengan kata lain, orang tuanya seharusnya
adalah orang yang paling dapat kau percayai dan berurusan lebih secara terbuka,
lebih dari siapa pun di dunia ini, bukan? Setidaknya begitulah bagiku. Aku
tidak mempersiapkan pikiranku sebelum melihat ibuku.
Tapi sepertinya apa yang "Normal"
hanya masuk akal di dunia pribadiku yang sempit.
“… Bukannya aku membenci ibuku, oke?”
Senpai melanjutkan seolah memberikan
penjelasan.
"Aku rasa ibuku punya alasan sendiri
untuk bercerai dan menikah lagi, dan aku berpikir tidak tepat bagiku untuk
mengatakan apa pun tentang itu."
Dia mengatakannya dengan nada
pengertian. Seolah mengatakan jawaban yang patut dicontoh.
Bagaimana mengatakannya… Aku pikir itu
adalah jawaban yang cukup dewasa.
“Aku tidak menyimpan dendam padanya… hanya
saja terkadang aku sedikit bingung bagaimana aku harus menghadapinya. Saat
aku melihatnya bersama dengan Kazumi-chan... Mau tak mau aku
memikirkannya. Aku berpikir; “Ohh,
orang ini bukan ibuku lagi. Dia memiliki pasangan yang bukan ayahku, dia
memiliki seorang putri yang bukan aku, dia telah memiliki keluarga baru dan
menjadi ibu baru.”
Setelah perceraian, dia sering melihat
putrinya.
Kurasa itu adalah haknya sebagai seorang
ibu, dan juga semacam kewajiban.
Sebagai ibu kandung, dia mencoba berhubungan
dengan Kasumi Shiramori.
Tapi Senpai bingung dengan posisinya.
Dia menderita karena tidak dapat menemukan
jawaban atas pertanyaannya sejauh mana dia harus memperlakukan wanita itu yang
sudah memiliki baru sebagai seorang ibu.
"Aku tidak berpikir itu pertanyaan tentang
di mana kamu harus menyalahkan seseorang."
Senpai melanjutkan seolah sedang melakukan
soliloquy.
“Aku tidak berpikir bahwa ayah atau ibuku telah
melakukan kesalahan... tentu saja Kazumi-chan tidak melakukan kesalahan apapun. Setiap
orang berusaha dengan keadaan mereka sendiri… tetap saja, aku tidak bisa
menelan semuanya, aku merasakan tidak nyaman…”
"...."
“Ahahahaha. Aku
mungkin akan merasa lebih baik jika ada yang benar-benar buruk. Jika ada
orang yang bisa aku tuding dengan ‘Itu
penjahatnya’, aku mungkin bisa menjernihkan perasaanku lalu aku bisa
menyalahkannya, membencinya, mengutuknya, dan menyerangnya…”
Dia menceritakannya seolah-olah itu adalah
cerita lucu, tetapi suaranya dan wajahnya menyampaikan kekosongan tertentu dan
kesedihan yang mengerikan.
Berbeda dengan sejarah fiksi dengan cerita
orang baik dan orang jahat, pada kenyataannya tidak mudah untuk mengetahui
orang jahat.
Kau akan jarang menemukan penjahat dan kau
akan dapat menghajarnya dan menceramahinya, dan merasa lebih baik.
Kita semua berusaha untuk menjalani hidup
kita sambil berurusan dengan kecanggungan kita ... akibatnya adalah ada kalanya
kita bisa berakhir dengan menyakiti orang lain tanpa sedikit pun kebencian dan
niat.
Roda gigi yang tidak cocok dengan yang lain
menyebabkan disonansi biasanya, menyebabkan distorsi dalam hubungan manusia… Aku
yakin ada contoh semacam ini di seluruh dunia.
Dalam cerita Shiramori-senpai... tidak ada
penjahat yang mudah ditebak.
Tidak ada orang yang berpikir untuk memutuskan
hubungan mereka dengan niat buruk.
Dalam artian yang bisa dibilang cukup
beruntung.
Tetapi dunia dan manusia tidak dapat membuat
hal-hal menjadi begitu sederhana.
Tidak apa untuk membalas kebencian dengan kebencian.
Jika kau telah disakiti oleh kebencian,
potong sumber kebencian itu. Dan jika kau tidak bisa mengalahkan kebencian,
kau bisa menyeimbangkan pikiranmu dengan membenci dan menyalahkan orang lain.
Namun…
Apa yang harus kau lakukan ketika kau terluka,
tetapi tidak ada kebencian di duniamu?
“… Maaf, aku sudah mengacaukan
suasana. Padahal ini kencan pertama kita.”
Sambil menundukkan kepalanya,
Shiramori-senpai mengatakan itu, dengan nada ceria yang sepertinya sengaja
dibuat.
Bahkan di saat seperti ini dia mengkhawatirkanku.
Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku tidak tahu kata-kata apa yang harus
diucapkan padanya ketika dia menunjukkan senyum pura-pura itu untuk menunjukkan
kekuatan padaku.
Meskipun aku sering membaca buku... meskipun
aku seorang penulis profesional dengan buku yang diterbitkan, aku tidak bisa
memikirkan satu kata pun yang tepat untuk diucapkan.
Aku benci ketidakberdayaanku.
Bukan karena pikiranku kosong.
Kata-kata itu muncul berturut-turut, tetapi
tidak keluar dari mulutku.
‘Kata-kata
ini bukan penghibur’, ‘Aku
tidak tahu seberapa jauh aku harus masuk ke urusan pribadimu’, … itulah
satu-satunya pikiran yang aku miliki, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah
tetap diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku sangat membenci diriku sendiri karena
keras kepala yang hanya teori.
Aku tidak bisa mengatakan apapun.
Pada akhirnya itu bukan urusanku, aku hanya
seorang Kohai di sekolah... bahkan jika aku menyebut diriku pacarnya, itu hanya
untuk percobaan, aku tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan apapun.
Itulah kenapa…
Justru itulah kenapa...
Setidaknya…
"… Eh."
Shiramori-senpai terkejut dan mengangkat
suara bingung.
Ini alami.
Karena pria di sebelahnya tiba-tiba
memeluknya.
Aku melingkarkan tanganku di bahunya dan
memeluknya erat.
Menempatkan kekuatan di tanganku yang
gemetar, dan penuhi hatiku dengan tekad.
“Ku-kuroya-kun…?”
Shiramori-senpai dalam pelukanku berkata
dengan panik.
“Aku bisa mendekatimu kapanpun aku mau,
ingat?”
Suaraku juga bergetar.
Aku begitu tegang dan cemas hingga aku
merasa jantungku bisa keluar dari mulutku kapan saja. Aku sangat ingin
untuk melarikan diri dari tempat ini segera, tetapi aku menelannya dengan keras
dan terus mengirimkan kekuatan ke lenganku.
"...."
Tidak ada respons.
Tapi dari tubuh Shiramori-senpai, aku
merasakan kekakuannya perlahan mencair. Dia tidak menolakku… kurasa. Aku
ingin percaya bahwa itu benar.
Lambat laun kegugupan mengambil alih
kekuatan yang kuletakkan di lenganku.
Ini bukan pertama kalinya aku memeluknya.
Bulan lalu saat dia datang ke rumahku… aku melakukannya
di tempat tidur dengan memeluknya erat-erat untuk menghindari kecelakaan ketika
ibuku pulang… namun, saat itu aku sangat tidak sabar hingga aku tidak punya
ruang untuk mengaktifkan indraku.
Tapi sekarang berbeda.
Alasanku sangat jelas, dan panca inderaku bekerja
dengan ketajaman yang tidak dapat aku pahami.
Seluruh tubuhku mencoba merasakannya.
Dengan lenganku, aku bisa merasakan
tubuhnya, kelembutan dan kehangatan yang bisa aku rasakan bahkan melalui
pakaiannya. Dari rambutnya yang panjang dan berkilau, aroma manis tercium
di udara. Aroma Shiramori-senpai, aroma yang hanya bisa aku rasakan secara
samar sampai sekarang. Dan sekarang aku bisa merasakannya sangat dekat.
Aku merasa kepalaku akan mendidih pada suhu
dan bau tubuh itu.
"...Shiramori-senpai."
Kataku.
Aku hanya pacarnya dalam masa percobaan, aku
tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan apapun.
Aku tidak dalam posisi untuk bisa berbicara
tentang masalah keluarga orang lain, aku juga tidak bisa menemukan solusi luar
biasa yang bisa memperbaiki keadaan.
Tapi…
Aku akan tetap mengatakannya...
Bahkan jika aku tidak memenuhi syarat, aku
akan mengatakan apa yang ingin aku katakan.
Aku hanya akan mengatakan apa yang ingin aku
katakan kepada orang yang aku cintai dan yang kupegang dalam pelukanku.
“Kau sangat baik, kamu tahu?”
“… Baik?”
"Kamu mengatakannya sebelumnya, kamu
tahu? Bahwa kamu akan merasa lebih baik jika ada orang jahat.”
Jika ada orang jahat.
Jika ada orang untuk menunjukkan dengan
jelas.
Seseorang yang harus disalahkan dan dibenci
agar dia bisa menyeimbangkan pikirannya.
“Tapi... kamu mungkin berpikir bahwa ‘Tidak
ada orang jahat’, bahwa kamu mungkin berpikir bahwa ‘Tidak ada orang yang
jahat’, itu karena Senpai adalah orang yang baik hati.”
"...."
"Baik dan jahat itu tergantung pada yang
melihat."
Apakah pihak lain itu orang jahat atau orang
baik... tergantung pada posisi yang melihat, dan itu berubah sesuai dengan
keadaan dan sifat manusianya.
Misalnya, jika kau dilemparkan ke dalam
situasi yang sama seperti Shiramori-senpai, perasaan akan berbeda untuk setiap
orang.
Kemungkinan ada orang yang menyalahkan,
membenci, dan mengutuk, baik satu orang tertentu atau semua orang di sekitar
mereka.
Jika aku berada dalam situasi yang sama… Aku
akan membenci ibuku yang egois, iri pada adik tiriku, dan mengumpulkan
kebencian terhadap ayahku yang tidak berguna.
Aku akan mati-matian membenarkan diriku sendiri,
menolak semua orang di sekitarku.
Tapi Senpai mengakataan bahwa tidak ada
orang yang jahat.
Itu tidak membenci siapa pun, juga tidak
menyangkal siapa pun untuk membenarkan dirinya sendiri.
“… Aku, baik hati?”
Setelah keheningan singkat, senyum pahit
dengan perasaan campur aduk muncul di wajah Shiramori-senpai.
“Aku pikir itu berbeda dari bersikap
baik. Aku tidak berpikir ada orang yang penuh perhitungan dan licik
sepertiku, kamu tahu?”
"Bukan seperti itu."
"Aku tidak baik... Aku hanya membaca suasana. Aku
hanya ‘Menangani berbagai hal dengan dewasa’ karena aku terlalu takut terlibat
konflik dengan orang lain, karena aku tidak ingin mengungkapkan emosiku, karena
aku tidak ingin menimbulkan perselisihan. Bertingkah seperti orang dewasa…
itu hanya salah satu caraku mencoba menutupi banyak hal. Aku menjaga
orang-orang di sekitarku, tetapi kenyataannya adalah aku hanya memikirkan
diriku sendiri.”
“… Bahkan jika itu masalahnya, aku
menganggap Senpai sebagai seseorang yang baik hati. Aku berkira begitu...
Egoismeku sendiri yang melakukannya.”
Kataku.
"Tolong jangan mengatakan sesuatu yang
lebih buruk dari itu tentang pekerjaan yang aku sukai."
"...."
"Bahkan jika penulis sendiri menolaknya,
apa yang dia pikirkan tentang karya itu tergantung pada pemikiran egois
pembaca."
---- Jangan mengatakan sesuatu yang lebih buruk tentang karya
yang aku sukai.
---- Orang yang memutuskan karya mana yang kusuka… itu
aku.
---- Aku tidak peduli apa yang orang lain katakan.
---- Bahkan jika penulis sendiri menolaknya… Kalau aku
merasa itu sesuai dengan keinginanku, itu akan menjadi karya yang aku sukai.
Tahun lalu.
Aku berada dalam kegelapan, tenggelam dalam
mimpi-mimpi frustrasi.
Masa lalu yang membuatku tersiksa, yang aku
anggap memalukan, yang aku coba anggap tidak berguna dan tidak berarti…
kata-kata Senpai yang menegaskannya.
Dia baik tetapi tegas, namun sangat hangat
dan berani.
Secercah cahaya putih masuk melalui hati
yang telah kehilangan warnanya dan menjadi hitam.
Sejak hari itu hatiku kembali berwarna.
Sekali lagi aku berpikir untuk mengejar
impianku.
Saat aku jatuh dalam keputusasaan,
Shiramori-senpai telah menghadapiku secara langsung.
Itu sebabnya aku juga ingin menghadapinya.
Bahkan jika aku tidak bisa mengatakan
sesuatu dengan benar, aku ingin memberikan pendapatku yang sebenarnya kepada
orang yang aku cintai, tanpa menggunakan hiasan.
“… Puff. Ahahahaha.”
Segera Shiramori-senpai tertawa dengan keras.
“Menyentuh. Astaga…
kamu bertindak begitu dewasa untuk seorang kohai.”
"... Kupikir kohai bukan cara untuk
memanggilku saat ini."
"Benar. Sekarang kamu bukan Kohaiku,
kamu adalah pacarku."
“… Hanya dalam percobaan.”
“… Fufufu. Itu benar.”
Shiramori-senpai tertawa bahagia, lalu
meletakkan tangannya di punggungku dan memelukku.
Dia membalas pelukan dengan kekuatan yang
sama atau lebih kuat dariku.
Perbuatan tiba-tiba yang membuat jantungku berdebar
kencang... Seakan berusaha menghalangi gerakanku, dadaku menempel ke dada
Shiramori-senpai.
Tingkat kedekatan antara tubuh kami jauh
lebih tinggi dari sebelumnya.
Pelukan penuh gairah yang membuat pelukanku
terlihat seperti permainan anak-anak yang sederhana.
"Tunggu…"
"Baik, ya."
Mengabaikan keadaan panikku,
Shiramori-senpai menggumamkan itu seolah mengatakan pada dirinya sendiri.
Dengan suara yang manis dan mempesona...
"Luarbiasa. Ketika Kuroya-kun
memberitahuku, sepertinya itu benar bagiku."
Seiring dengan kata-kata itu, pelukan itu
semakin kuat.
Aku tidak tahu harus berkata apa padanya…
jadi untuk saat ini aku hanya memeluknya lagi.
Kami berpelukan dalam diam.
Mungkin aku tidak seharusnya mengatakan ini
sebagai seseorang yang berniat untuk debut kembali sebagai penulis profesional,
tapi… Aku merasa bahwa kehangatan yang disampaikan olehnya menghubungkan hati dengan
lebih fasih daripada kata-kata apapun.
Kami terus berpelukan seperti ini sampai
terdengar suara dering yang tidak memberitahu kami tentang sepuluh menit yang
tersisa.
Meskipun ini pertama kalinya kami di
karaoke, kami tidak menyanyikan satu lagu pun.
Tapi aku merasa bahwa bagi kami itu adalah momen
yang tak terlupakan, momen yang sangat memuaskan.
〇 〇 〇
[Maaf, Kasumi. Ibu tidak akan bisa tinggal bersamamu lagi.]
[Aku benar-benar minta maaf.]
[Jangan menangis… Ini bukan perpisahan.]
[Kamu akan bisa melihat Ibu di masa depan.]
[Ibu juga mencintai Kasumi.]
[Jadi, dengarkan ayahmu dan jadilah gadis yang baik.]
Ibuku meninggalkan kata-kata perpisahan itu,
dan di depanku dia menghilang.
Sebagai seorang anak, aku dengan mudah memahaminya
untuk diriku sendiri, berpikir; ‘Jika
aku gadis yang baik, ibu akan kembali suatu hari nanti’, tapi bukan itu
masalahnya.
Saat aku melihat ibuku bersama Kazumi-chan…
aku terpaksa mengerti bahwa… Ibu
tidak akan kembali lagi.
[Kasumi adalah gadis yang baik dan penurut.]
[Kasumi lebih dewasa dari anak-anak lain.]
[Kasumi adalah seorang gadis yang mendengarkan apa yang mereka katakan
padanya, betapa beruntungnya aku.]
[Hei, Kasumi, aku membelikanmu buku lain yang kamu suka.]
[Maaf, aku tidak bisa bermain denganmu sepanjang waktu...]
[... Begitukah? Terima kasih.]
Ayahku memujiku seperti itu.
Itu membuatku senang dipuji dan juga sulit
melihat ayahku merasa bersalah karena tidak bisa merawatku… itulah kenapa aku
mulai melakukan semuanya sendiri.
Aku berusaha keras untuk menjadi seorang
gadis yang mematuhi ayahnya.
[Aku tahu, Shiramori-san adalah seseorang yang bisa dipercaya.]
[Kamu bisa tenang jika menyerahkannya di tangan Kasumi-chan.]
[Shiramori-san sangat bisa diandalkan, dia seperti orang dewasa,
bukan?]
[Jika Kasumi ada, kamu bisa merasa aman.]
[Shiramori-san berbeda dari kita, kamu tahu?]
[Hebatnya, kamu bisa langsung bergaul dengan siapa saja.]
Teman-teman di sekitarku menilaiku seperti itu.
Mereka memujiku dengan mengatakan ‘Aku
seperti orang dewasa’ karena menjalani hari demi hari di mana aku membaca suasana
dan tidak mengganggu orang lain, karena bertindak sesuai dengan harapan orang
lain, dan bergaul dengan baik dengan siapa pun. Bukannya itu tidak
membuatku bahagia… tapi untuk beberapa alasan aku tidak bisa merasakan kebahagiaan
yang jujur.
Aku tidak bisa tidak merasa kosong.
Aku bertindak untuk memenuhi harapan mereka,
dan kinerjaku menghasilkan harapan.
Sebuah siklus yang berulang.
Seharusnya tidak ada masalah.
Diasumsikan bahwa jika aku adalah
"Gadis yang baik" dan "Dewasa", hidupku akan berjalan
mulus.
Tapi…
Kenapa aku merasa begitu kosong?
Kenapa warna duniaku terlihat begitu pudar?
Kenapa aku sendiri merasa begitu tidak
berarti?
Kenapa, kenapa, kenapa...
Jauh di buluk hatiku ada semua pikiran tak
berujung.
Tidak peduli berapa banyak aku mencoba untuk
menghilangkannya, mereka tidak hilang, kekosongan tetap melekat di sudut
hatiku.
Itu benar…
Sampai aku bertemu dengannya.
Stasiun Sendai.
"… Ah. Keretanya sudah jalan".
Kami naik dan turun beberapa anak tangga ke
peron, tapi kereta sudah berangkat saat itu.
"Sedikit lagi padahal."
"Yang berikutnya ... datang dalam dua
puluh menit."
Kata Kuroya-kun, di sebelahku, dengan ponsel
di satu tangan.
Tampaknya dia sedang mecari kereta
berikutnya.
Kecepatan tindakannya mungkin karena fakta
bahwa dari awal dia berasumsi bahwa kami tidak akan tiba tepat
waktu. Apakah dia pria yang selalu siap? Atau apakah dia seorang pria
yang memutuskan dengan cepat?
“Jadi, bisakah kita duduk sambil menunggu?”
Kami duduk bersebelahan di bangku di peron.
Tidak ada orang di sekitar, mungkin karena
kereta baru saja berangkat.
Lingkungan dipenuhi dengan kebisingan orang
dan kereta api, tetapi di peron tempat matahari terbenam masuk, suasana
ketenangan yang terasa.
“… Kita akan tiba lebih lambat dari yang direncanakan. Bagaimana
kalau kita makan sesuatu ketika kita sampai?”
“Kedengarannya bagus… tapi apa kamu yakin
itu baik-baik saja?”
“Ya, jika aku meneleponnya tidak akan ada
masalah. Dan Kuroya-kun?”
"Kurasa tidak juga."
“Begitukah?”
"Ya…"
Tidak lebih dari itu, dan percakapan itu
selesai.
Uhh... canggung.
Sudah seperti ini sejak kami meninggalkan
karaoke.
Aku merasa telah melakukan sesuatu yang
sangat memalukan.
Aku tidak berharap kami mengalami pelukan.
Dan bagi Kuroya-kun untuk menunjukkan padaku
sisi jantan seperti itu.
Hanya mengingatnya saja sudah membuat
wajahku hangat.
Tapi sepertinya itu sama untuk
Kuroya-kun. Dia tidak pandai dalam hal itu, dia tampak lebih malu dan
tidak nyaman daripada aku. Sejak kami meninggalkan karaoke, dia tidak
pernah melakukan kontak mata sekali pun.
Jelas bahwa dengan ekspresi murung itu dia
berusaha mati-matian untuk menyembunyikan bahwa dia sekarat karena kesakitan
dan malu, dan melihatnya seperti itu membuatku merasa sedikit lebih tenang.
"...."
Dengan kepalaku sedikit lebih dingin
sekarang, aku mulai memikirkan percakapan kami di karaoke.
Baik.
Kuroya-kun memujiku seperti itu.
Aku bersyukur, tapi kupikir Kuroya-kun
menganggapku baik hanya karena dia sendiri adalah orang yang baik.
Baik.
Kuroya-kun sangat baik.
Baik hati, sensitif dan emosional. Dia
biasanya bersikap dingin dan terus terang, tapi sebenarnya dia adalah pria
dengan hati yang sangat hangat.
Akku tiba-tiba teringat.
Novel yang dia tulis… “Kamu, seorang kulit putih, di dunia hitam.”
Sangat sulit untuk menjelaskan isinya dalam
beberapa kata.
Sebuah cerita tentang anak-anak canggung
yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik di sekolah dan masyarakat, dan membawa
kecanggungan mereka, mereka berjuang dan berusaha mati-matian untuk maju.
Jika aku dipaksa untuk memasukkannya dalam
genre, kurasa itu akan menjadi "Remaja".
Orang yang sama mengatakan bahwa tidak ada
yang terjual… sejujurnya aku bisa mengerti alasannya. Itu tidak memiliki isi
komersial, dan judul serta sinopsisnya tidak menarik.
Jika bukan karena fakta bahwa itu adalah
buku dari seorang kenalan, aku rasa aku tidak akan berpikir untuk membeli dan
membacanya juga. Sebenarnya, aku bahkan tidak tahu bahwa buku itu dijual.
Itu adalah buku yang tidak laku, jadi sulit
untuk mengatakan bahwa isinya sesuai dengan selera siapa pun. Di beberapa
bagian, kekurangan dalam penulisan dan skenario karya terlihat, bahkan dengan tembakan
terakhir, banyak orang akan merasa kecewa dan berpikir; “… Eh? Ini akhirnya?" Itu
adalah buku yang tidak akan kau rekomendasikan kepada orang lain.
Tapi…
Itu menggerakkanku secara emosional.
Aku sangat terkesan dengan kebaikan
ceritanya.
Itu bertentangan dengan prinsipku untuk
berbicara bersama tentang kemanusiaan penulis dan isi karyanya… namun, jika kau
mengenal penulisnya, tidak mungkin kau tidak akan mencampurkan karya dan
penulisnya.
Aku berpikir buku itu memancarkan
kemanusiaan dan kebaikan yang hangat yang dia miliki.
Tidak mudah untuk memahaminya dan tembakan
terakhir tidak membantunya.
Jika itu bukan cerita sederhana tentang
orang baik dan orang jahat, tidak akan ada latihan yang intens dan menyegarkan.
Tapi tetap saja, bagaimana mengatakannya,
itu tidak bisa dengan mudah diungkapkan dengan kata-kata, tapi… Aku berpikir
itu adalah kisah tentang “Pernyataan”.
Itu bukan kisah penyangkalan, itu adalah
kisah bagimu untuk menegaskan kembali dirimu sendiri.
Sebuah cerita di mana seseorang yang canggung
tidak menjadi pintar, tetapi maju dengan kecanggungannya.
Sebuah cerita yang tidak berusaha mengoreksi
orang yang mencoba bergerak di jalan yang salah, tapi mengatakan; “Semua orang bilang itu salah, tapi jalan itu
sepertinya menarik juga, bukan?”, sebuah cerita yang mendorongmu.
Itu tidak memaksakan padamu apa yang benar
dan normal.
Itu tidak memaksakan rasa nilai dan akal
sehat padamu.
Itu tidak terlalu mengagungkan perubahan dan
pertumbuhan.
Sebuah kisah tentang bocah yang agak berbeda
yang bergerak maju sambil tetap berbeda.
Aku berpikir itu adalah karya seperti dia.
Aku berpikir itu adalah karya yang baik
seperti dia.
Jika aku memikirkannya sekarang ...
Sejak aku membaca buku itu, aku...
"... Shiramori-senpai."
Sebuah suara membawaku kembali ke kenyataan
ketika aku tenggelam dalam pikiranku.
“Hmm? Ada apa?”
Aku berbalik, tapi Kuroya-kun tidak melihat
ke arahku.
Meskipun dia berbicara padaku, dia melakukan
yang terbaik untuk melihat ke arah lain.
"… Ini."
Katanya singkat sambil menyerahkan sesuatu dengan
bungkusan kecil.
“Eh? … A-apa ini?”
Aku bingung saat menerimanya.
"… Hadiah."
Kata Kuroya-kun dengan suara yang
mati-matian berusaha menahan rasa malu.
Aku merasa semakin bingung.
“Huh? Eh? Hadiah?... Kenapa?”
"Tidak ada alasannya... emm, yah, sudah
sekitar sebulan sejak kita berpacaran... jadi itu untuk merayakannya."
"...."
“… Eh, … ma-maafkan aku. Aku tahu itu, tolong
kembalikan. Ini aneh, bukan? Ini baru sebulan, konyol untuk merayakannya...
itu mengganggumu, kan?”
“Aahh, ti-tidak, bukan seperti itu! Itu
tidak menggangguku! Aku hanya terkejut!”
Kuroya-kun sepertinya telah salah memahami keheninganku,
dan sekarang dia memintaku untuk mengembalikannya dengan ekspresi seperti dia
akan menangis, jadi aku segera menggelengkan kepalaku.
Aku sangat terkejut.
Aku sangat terkejut hingga aku tidak bisa mengucapkan
kata-kataku.
“… Astaga, kamu mengejutkanku. Aku
tidak pernah membayangkan bahwa Kuroya-kun akan menyiapkan hadiah
untukku."
Sekali lagi aku menatap tas kecil yang aku
terima.
“Bolehkah aku membukanya sekarang?”
"… Silakan. Ja-jangan terlalu
banyak berharap. Sebenarnya, itu bukan hal besar…”
Aku membuka tas sambil melihat ke samping ke
arah Kuroya-kun, yang bertingkah sangat sederhana.
“… Wah!”
Di dalamnya ada gantungan kunci beruang
putih.
Itu adalah berbentuk wajah beruang dengan
bentuk mirip medali putih.
Itu lucu tapi tidak berlebihan, misalnya
tidak akan terlalu mencolok jika diletakkan di tas sekolah, aku rasa itu desain
yang cocok.
"Imutnya".
“… Yah, sepertinya itu adalah gantungan
kunci dengan motif beruang dan reversi. Aku pikir akan lebih baik jika itu
adalah sesuatu yang berhubungan dengan kita."
Begitu.
Sekarang setelah dia menyebutkannya, tentu
saja wajah beruang itu menyerupai batu putih reversi.
Memang, permainan papan hitam putih itu
adalah elemen yang sangat terkait dengan kami.
“… Hmm? Reversi?”
Permainan papan hitam dan putih.
Apa yang aku terima adalah beruang putih.
"Um, jangan bilang itu ..."
“…”
Diam-diam dan tampak canggung, dia mengambil
gantungan kunci dari sakunya.
Desainnya hampir sama dengan milikku...
hanya warnanya yang berbeda.
Dia adalah wajah beruang hitam.
Warna berbeda dari yang aku terima.
“Mereka cocok!?”
"...."
“Hee hee. Aku terkejut, aku tidak
menyangka Kuroya-kun akan memberiku hadiah seperti ini.”
Aku pikir dia adalah tipe orang yang
membenci pakaian pasangan yang serasi dan hal-hal yang serasi.
"… Maaf. Tolong
kembalikan. Lupakan saja, ini aneh, bukan? Gantungan kunci yang sama dan
itu…”
“Bukan seperti itu, sudah kubilang aku tidak
terganggu! Aku senang!”
Astaga!
Kenapa kau begitu gugup?!
Apa kau tidak sadar betapa bahagianya aku?!
"Aku sangat senang, terima kasih
Kuroya-kun."
"... Sa-sama-sama."
“Namun, maafkan aku. Aku tidak memberikan
apapun….”
Meskipun aku sadar bahwa kami telah berpacaran
selama sebulan, ide untuk menyiapkan hadiah kejutan tidak muncul di benakku.
"Tidak, jangan khawatir. Itu hanya
sesuatu yang aku lakukan sendiri."
Dia mungkin mengatakan itu padaku, tapi aku
terus merasakan perasaan yang campur aduk.
Sekarang aku merasa tidak enak.
Aku memiliki perasaan bersalah, dan aku juga
merasa sangat frustrasi.
Hmm.
Dia telah mempermainkanku sepenuhnya.
Itu sangat pintar.
Jantungku berdetak sangat cepat.
Aku akan jatuh cinta padanya sekali
lagi!
Kenapa? Dia selalu tidak bisa
diandalkan dan kurang inisiatif, tapi saat momen kebenaran tiba dia tidak
segan-segan bertindak keren, kenapa
kau seperti ini!?
Rasannya seperti pelukan di karaoke!
Dia keren hanya ketika di momen penting!
Astaga! Aku tak tahan lagi~~~~!
“… Yah, setidaknya aku akan mengembalikannya
padamu, oke?”
Kataku dengan suara lembut berusaha untuk
tidak membiarkan jantungku yang berdebar kencang dan kegelisahanku terlihat.
Aku perlahan mengulurkan tanganku dan
menyentuh wajahnya.
Aku dengan lembut menyentuh pipinya.
"Hanya ini yang bisa kulakukan
sekarang."
“… Huh? Apa?”
Dia ada di tanganku, dan dia kaget, matanya
berputar dari hitam ke putih karena terkejut.
Aku memejamkan mata dan perlahan mendekatkan
wajahku, dan berpura-pura meletakkan bibirku.
Lalu... menusuk pipinya dengan lembut.
Seperti yang kulakukan hari itu di ruang
klub.
"Gosok, gosok, gosok."
“…”
"Gosok, gosok, gosok."
“… A-apaapan ini?”
“Hmm? Kamu bilang 'Apa’? … Pijatan
yang penuh dengan cinta.”
Kataku.
Dengan nada seolah menempatkan tanda hati di
akhir kalimat.
“... Hentikan.”
Kuroya-kun membuat ekspresi lelah.
“Eh? Kamu terlihat kecewa, apakah kamu
mengharapkan sesuatu yang lebih?”
“… Tidak, tidak ada.”
Katanya terlihat kesal saat aku dicengkeram
pipinya, dia entah bagaimana terlihat sangat imut.
… Lihat aku, aku menerima hadiah kejutan dan
itu membuatku merasa frustasi, itu sebabnya aku akhirnya menggodamu seperti
ini, dia mungkin melihatku sebagai gadis yang sangat egois, tapi aku tidak bisa
mengendalikan keinginanku.
Maafkan aku
Kuroya-kun.
Meskipun aku pikir ini salah ... aku tidak
bisa menghentikannya.
"... Gosok, gosok, gosok."
“He-hentikan,
berapa banyak yang akan kamu lakukan?”
"Hei, coba katakan buku kelas."
“Tak akan, aku tidak mengatakannya!”
Dia berteriak keras dan menarik wajahnya ke
belakang.
Sambil menyentuh pipinya….
“Astaga… Shiramori-senpai, kamu bertingkah
kekanak-kanakan dari waktu ke waktu.”
Kata Kuroya-kun.
Tiba-tiba aku tertegun.
Butuh beberapa saat bagiku untuk memahami
arti dari kata-kata yang dia tujukan padaku.
Mungkin ini pertama kalinya dia
memberitahuku.
"… Kekanak-kanakan? Aku?”
"Ya, sangat kekanak-kanakan."
“Meskipun semua orang sering mengatakan
padaku bahwa aku dewasa, kamu tahu?”
"Bukankah semua orang tertipu oleh
penampilan dan suasanamu? Dari waktu ke waktu kamu membuat lelucon kecil
dengan selera yang buruk, kamu menikmati dan menertawakan seseorang ketika
mereka mengalami kesulitan… kamu benar-benar seorang gadis kecil.”
Kata Kuroya-kun dengan ekspresi malu dan
terlihat kesal.
Mungkin tidak ada niat yang
mendalam. Dia frustrasi karena aku bercanda, dia hanya kesal karena omong
kosong dan mencoba untuk membantah.
Tapi justru karena itu adalah kata-kata yang
begitu biasa… kata-kata itu jujur dan tanpa hiasan, dan itulah sebabnya
kata-kata itu menembus jauh ke dalam hatiku.
Kata-kata yang awalnya tidak bisa kupahami
perlahan larut, menyebar ke seluruh hatiku.
"… Begitu, ya. Mungkin seperti itu."
Aku tersenyum tanpa sadar.
“Kemungkinan hanya di depan Kuroya-kun aku akan
bertingkah kekanak-kanakan.”
“… Apa maksudnya?”
"Ada beberapa."
Saat aku mengatakannya, Kuroya-kun membuat
ekspresi penasaran.
Mungkin karena aku tidak bisa terlihat lebih
bahagia.
Sejak kecil aku selalu seperti orang dewasa.
Aku ingin menjadi seperti orang dewasa, dan
orang-orang di sekitarku mengharapkan aku menjadi seperti itu.
Aku telah hidup dengan pemikiran untuk
berperilaku seperti orang dewasa, meskipun itu memaksaku untuk tumbuh
dewasa.
Aku tidak berpikir aku akan salah untuk
hidup seperti itu.
Bukannya aku tidak senang ketika orang-orang
di sekitarku memujiku seperti orang dewasa, dan aku pikir aku sama sekali tidak
salah dalam bereaksi secara dewasa terhadap keadaan keluarga yang sulit.
Tapi…
Sepertinya ada bagian kekanak-kanakan dalam
diriku.
Kuroya-kun telah menemukan bagian dari
diriku yang bahkan tidak aku sadari. Atau itu baru lahir setelah bertemu dengannya?
Aku menjalani hidupku seperti orang dewasa,
tetapi di ruangku bersama dengan Kuroya-kun aku seperti gadis kecil.
Seorang gadis biasa, seorang gadis yang menggodanmu karena kau
adalah pria yang aku suka.