Chapter 1 Part 1 :
Kehamilan dan Memberitahukan
♥
Pagi seorang ibu tunggal dimulai
lebih awal.
Aku harus bangun pagi, menggosok
mataku yang mengantuk dan menyiapkan makanan setiap pagi untuk putri SMA-ku.
Begitulah keseharianku.
Rutinitas harian seseorang dalam
3X tahun hidupnya.
… Dan aku seharusnya terus
seperti ini, tapi…
“Ah. Selamat pagi, Bu."
Saat itu pukul 7 pagi.
Aku bangun tanpa tergesa-gesa dan
pergi ke ruangan di mana aku menemukan sarapan yang disajikan di atas
meja. Miu berada di dapur mengenakan seragam sekolahnya.
Hari ini juga, dia sudah bangun
sebelum aku dan membuat sarapan.
"Kamu bisa tidur sedkit lebih
lama."
"Aku tidak bisa tetap di
tempat tidur selamanya, kan?" Kataku dan duduk di meja.
2 minggu telah berlalu semenjak aku
kembali dari Tokyo.
Dan Miu sudah seperti ini,
akhir-akhir ini.
Dia bangun sebelum aku dan
membuat sarapan untuk kami berdua.
Dia juga mencuci pakaian, bersih-bersih,
berbelanja, dan banyak lagi.
Dia telah aktif membantu
pekerjaan rumah.
Dia selalu menjadi gadis yang
sangat pintar dan bisa melakukan semua pekerjaan rumah dan memasak, tetapi
sampai sekarang, tidak peduli seberapa banyak aku menyuruhnya melakukannya, dia
tidak mau membantuku.
Yah, ketika aku sakit, dia selalu
melakukan segalanya... tetapi ketika aku sehat, dia bahkan tidak mau mengangkat
satu jari pun.
Entah dia malas atau aku terlalu
memanjakannya.
Bagaimanapun juga.
Miu sekarang mengurus semuanya yang
ada di rumah.
Dan alasannya… yah, itu cukup
jelas.
“Beberapa orang mengalami
kesulitan tidur selama kehamilan. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk
bangun pagi ketika kamu lelah. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Tak malasah, kamu tidak perlu
khawatir. Kemarin aku tidur jam 8.”
“Baiklah, kalau begitu. Ini,
kopi," kata Miu santai, meletakkan cangkir di atas meja.
Namun, itu bukan kopi biasa.
Itu adalah kopi dandelion,
sejenis minuman berbahan dasar dandelion. Itu tidak memiliki biji kopi,
jadi itu bukan benar-benar kopi.
Karena ini adalah minuman tanpa
kafein, aman untuk diminum oleh anak-anak dan wanita hamil.
……
Ya.
Wanita hamil.
Ada bayi di dalam rahimku
sekarang.
Aku pergi menemui dokter
kandungan dan mengetahui bahwa aku hamil 3 bulan.
Memang belum begitu terlihat,
tapi perutku membesar sedikit demi sedikit.
“… Fufu.”
“Ada apa, Bu? Kenapa kamu
tiba-tiba tertawa?
“Tidak… Bukan apa-apa. Aku
hanya senang," jawabku sambil tersenyum. “Karena kamu tiba-tiba
menjadi sangat bisa diandalkan.”
“……”
“Apakah karena kamu telah
menyadari bahwa kamu akan menjadi kakak perempuan sekarang? Kurasa
begitu. Karena akan ada anak yang lebih kecil, sekarang kamu harus lebih
bertanggung jawab. Lakukan yang terbaik, Onee-chan,” kataku,
mencoba memujinya.
Aku ingin mengucapkan selamat
kepadanya atas perilakunya baru-baru ini.
Tapi Miu menganggapnya sebagai
ejekan.
“…Yah, ya, aku harus bertanggung
jawab,” katanya, sambil cemberut. “Karena seseorang terlalu bersemangat
tentang kehidupan bersama mereka sehingga mereka melakukan sesuatu yang tidak
direncanakan. Jadi setidaknya aku harus bertanggung jawab.”
“……”
Setelah jawaban itu, aku tidak
punya pilihan selain tetap diam.
Karena… yah, memang benar.
Itu benar-benar tidak
direncanakan.
Aku, Ayako Katsuragi, aku berusia
3X tahun.
Sudah lebih dari 10 tahun sejak aku
merawat putri kakakku dan suaminya, yang meninggal dalam kecelakaan.
Setelah melalui banyak lika-liku,
aku mulai berkencan dengan tetanggaku, Takumi Aterazawa-kun, seorang mahasiswa
yang 10 tahun lebih muda dariku.
Note
: Njirr, Ane kok keinget temen Nyokap, yak. Sama ama ni cerita, istri lebih tua
10/11 thn.
Setelah itu, banyak hal lain
terjadi dan kami berdua tinggal bersama di Tokyo selama 3 bulan penuh.
Tidak mungkin sesuatu tidak
terjadi pada pria dan wanita dewasa yang tinggal serumah... Dia dan aku secara
ajaib terikat. Itu adalah pengalaman pertama kami, meskipun kami harus
melalui banyak hal sebelumnya, tetapi entah bagaimana kami berhasil membawa
hubungan kami selangkah lebih maju.
Lalu.
Yah ... apa yang bisa aku
katakan?
Lebih dari satu langkah, kami
mengambil sekitar sepuluh langkah lebih jauh.
“Jujur, itu sedikit
menggangguku,” kata Miu saat sarapan.
Kata-katanya menusuk hatiku.
"Sedari awal, untuk apa ibu
dan Taku-nii pergi ke Tokyo?"
“……”
“Untuk bekerja, kan? Kalian
pergi ke sana untuk bekerja, kan? Kamu ingin mengerjakan adaptasi anime
dari Novel yang kamu pimpin. Dan Taku-nii ingin mendukungmu dan
mendapatkan pengalaman kerja sebagai pekerja magang.”
“……”
“Yah, aku mengerti bahwa kalian
tidak ingin berpisah. Kalian berdua baru saja mulai berkencan dan sedang
menjalani waktu terbaik dalam hubungan kalian. Oinomori-san juga mengerti,
jadi dia mempersiapkan segalanya agar kalian bisa hidup bersama.”
“……”
“Aku yakin dia
mempercayaimu. Aku pikir kamu tidak akan terbawa oleh kehidupan bersama
yang tiba-tiba dan akan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadimu dengan
baik.”
“……”
“Itulah mengapa aku juga tidak keberatan
kamu pergi… karena aku mempercayaimu. Kamu akan pergi untuk pekerjaanmu dan
Taku-nii untuk mendapatkan pengalaman untuk masa depannya ... dan kemudian kalian
berdua akan kembali setelah matang. Sebagai anggota masyarakat dan sebagai
pasangan, kalian akan kembali lebih dewasa. Karena aku percaya itu, aku
tinggal di sini sendirian.”
“……”
"Namun," kata Miu.
Dia menatapku dengan takjub dan
menghela nafas panjang.
"Aku tidak berharap kamu
kembali dengan bayi yang tidak direncanakan."
Pandanganku berjalan kemana -mana.
Aku merasa seolah-olah sebuah pisau
telah menikam jauh ke dalam diriku.
"Yah, aku sudah SMA, jadi
aku siap untuk kalian memiliki hubungan seperti itu... Aku tahu bahwa hidup serumah
secara alami akan mengarah ke sana... tapi, bayi adalah cerita yang sama sekali
berbeda, bukan?"
"... Ugh."
“Aku tidak ingin terdengar
terlalu kuno di era Reiwa ini… tapi kamu tahu, ada urutan tertentu dalam berbagau
hal. Baru beberapa bulan sejak kalian resmi mulai berkencan, dan meskipun masalah
pernikahan belum disinggung... kamu sudah hamil?"
“… U-ugh.”
"Bu, mungkin kamu tidak
pergi bekerja, tapi sedang berbulan madu?"
“… U-u-uwaaaa. Sudah
cukup! Berhenti mengolok-olokku!” Aku tidak tahan
lagi. "Bukan seperti itu! Aku pergi ke sana tidak untuk
bersenang-senang! Aku melakukan pekerjaanku! Aku melakukan apa yang
harus kulakukan!"
“……”
“Tapi, um, yah… pa-pada malam
hari aku juga melakukan apa yang harus kulakukan, dan ternyata apa yang
terjadi…”
Be-betapa sulitnya ini!
Sulit untuk membuat alasan.
"...Tapi jika kamu telah
melakukan segalanya sebagaimana mestinya, tidak akan ada yang tidak terduga, atau
apakah aku salah?"
“Ugh…!”
Semua argumenku hancur.
Aku benar-benar dikalahkan oleh
putri SMA-ku.
Aku tidak bisa membalas apapun.
Jika kau bertanya kepadaku apakah
aku telah melakukan segala kemungkinan untuk tidak hamil… Aku tidak akan bisa
setuju dengan hati nurani yang bersih. Di suatu tempat di pikiranku, aku berpikir
dengan tidak peduli, "Yah, itu tidak mungkin terjadi."
Eh?
Ini aneh.
Bukankah pendidikan seks semacam
ini adalah sesuatu yang harus aku lakukan, sebagai ibunya, harus ajarkan kepada
putriku?
Jadi kenapa dia yang mengajariku?
Wow, putriku benar-benar telah
menjadi bertanggung jawab, bukan?
“… U-u-ugh. Berhentilah
mengolok-olokku, Miu… Orang tuaku sudah menceramahiku tanpa henti tentang hal
ini…”
Ketika kami kembali dari Tokyo,
hal pertama yang kami lakukan adalah memberitahu orang tua kami.
Tidak ada cara untuk
menyembunyikan masalah ini.
Detail tentang ini… terlalu besar
untuk dibicarakan.
Itu bisa dimengerti.
Lebih mudah dengan orang tua
Ta-kun karena mereka tahu tentang hubungan kami... tapi dengan orang tuaku, itu
sebaliknya, itu sangat sulit.
Pertama aku harus memberi tahu
mereka tentang hubungan kami.
Seorang ibu tunggal berusia 30-an
secara tidak sengaja memiliki bayi dengan seorang mahasiswa berusia 20 tahun
yang sangat cocok untuk putrinya.
Sebuah peristiwa yang
mengejutkan.
“Yah, yang penting semuanya
berakhir dengan baik. Kamu akhirnya bisa mengungkapkan hubunganmu dengan
Taku-nii kepada mereka.”
"… Itu …"
Mungkin benar… tapi tetap saja, aku
pikir ada cara yang lebih baik untuk memberitahunya.
"Kakek dan Nenek akhirnya memahami
dan menyatakan dukungan kalian."
"... Yah, kami akan punya
bayi."
Mungkin karena dampak kehamilan
terlalu kuat, tidak ada banyak waktu untuk membahas topik ‘pacarku adalah
seorang mahasiswa’.
Suasananya seperti tidak ada lagi
untuk dilakukan.
Seolah pasrah bahwa apa yang
dilakukan, sudah terjadi.
Aku minta maaf karena kehamilan
menjadi alasan untuk persetujuannya... tapi kurasa aku bisa mengatakan bahwa
itu adalah hasil akhir yang bisa diterima.
“… Kakek dan nenek sangat
senang.”
"Eh?"
“Mereka mengkhawatirkanmu. Kamu
memiliki anak perempuan yang besar sepertiku dan kamu belum menikah… kamu tahu,
pernikahan adalah hal biasa pada masanya.”
“……”
Itu… kurasa benar.
Mereka mengatakan bahwa mereka
telah menyerah padaku bahwa aku akan memiliki bayi.
Mereka tidak sering
mengungkapkannya, tapi… Kurasa mereka memiliki pemikiran mereka sendiri tentang
kurangnya komitmen ku untuk menetap di usia tuaku yang baik.
Saat ini, pernikahan bukanlah
segalanya dalam hidup.
Ada banyak orang yang belum
menikah.
Tapi di masa orang tuaku, banyak
orang percaya bahwa kebahagiaan seorang wanita adalah menikah dan memiliki anak.
“Itu mungkin terjadi dalam urutan
yang berlawanan, tetapi pada akhirnya putrinya yang berusia 30 tahun bisa
hamil. Daripada ingin mengeluh, aku rasa mereka sangat senang dan lega.”
“Miu…”
Aku merasakan kehangatan menyebar
di dadaku.
Tetapi pada saat yang sama aku
ingin membalas sedikit.
"Kamu bereaksi
berlebihan. Kamu belum cukup usia di mana kamu harus khawatir tentangku."
"Apa yang kamu
bicarakan?" Dia menjawabku dengan nada singkat. “Memiliki bayi
pertama di usiamu membuatmu menjadi ibu tua, tahu?”
“……?!”
I-ibu tua…?!
Oh, betapa jahatnya mendengarannya!
Secara umum, kami berbicara
tentang "kehamilan terlambat" atau "ibu tua" ketika ibu
berusia di atas 35 tahun pada awal kehamilan.
Dan aku berumur 3X tahun… Ya.
Yah, um… mari kita biarkan bagian
yang ambigu itu.
"Ka-ka-ka-kamu salah, Miu...
aku masih muda... aku baru saja di garis start dipanggil begitu... serius, Kamu
tidak tahu apakah aku di luar atau di dalam urutan itu."
“Betapa sulitnya bagimu untuk
menerima kenyataan,” kata Miu dengan tatapan tajam. “Kamu tidak bisa lari
dari usiamu, jadi tolong akui itu dengan benar. Aku yakin risikonya lebih
tinggi bagimu daripada orang berusia 20-an, jadi akui dan hadapilah."
“I-iya.”
“Dan, bahkan jika kamu mengatakan
bahwa kamu hamil, kamu harus berhati-hati karena kamu belum dalam masa
stabil. Ingatlah bahwa tubuhmu bukan lagi milikmu sendiri. Kamu
menjadi sangat riang, Bu, jadi kamu harus lebih bertanggung jawab.”
"Ya."
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain mengangguk.
Miu benar-benar mulai lebih
bertanggung jawab setelah kehamilanku.
Dia sudah menjadi kakak perempuan
yang hebat.
Atau lebih tepatnya... sekarang
dia terlihat seperti ibu mertuaku.